MAKALAH
Istilah-Istilah dalam Do’a
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tarekat Suluk”
Dosen Pengampu :
Ahmad Syauqi, S.Ag,
M.Pd.I
Disusun Oleh:
1.
Amidana Hikmah : (2833133005)
Fakultas Ushuluddin
Adab dan Dakwah (FUAD)
Jurusan Tasawuf
Psikoterapi (TP) 5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena
berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tarekat Suluk”ini dengan
lancar.Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman
Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
1. Dr. Mafthukin,
M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu
di IAIN Tulungagung ini.
2. Ahmad Syauqi, S.Ag, M.Pd.I selaku
Dosen Pembimbing matakuliah Tarekat Suluk Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini
dapat terselesaikan.
3. Semua pihak yang
telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada
pembaca pada umumnya.
Tulungagung,14Oktober2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL ....................................................................................... i
KATA
PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.....................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.....................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah................................................................................
1
C. Tujuan
2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Istilah-Istilah dalam Do’a.................................................................... 3
B. Penjelasan
istilah-istilah dalam do’a.................................................. 3
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 16
DATAR
PUSTAKA......................................................................................... iv
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Doa merupakan memohon kepada Allah SWT secara langsung untuk memperoleh karunia dan
segala yang diridhoi-Nya dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan atau bencana
yang tidak dikehendakinya. Menurut para sufi, doa merupakan lambang kefakiran.
Hal ini karena doa senantiasa menunjukkan bahwa mereka yang berdo’a merasa
benar-benar tidak berdaya. Mereka membutuhkan kemurahan allah sebagai dzat yang
Maha Agung sebagai tempat untuk meminta.
Dalam pembahasan mengenai do’a, dikenal
beberapa istilah yang harus kita ketahui, misalnya dzikir, wirid, istighosah
dan yang lainnya. Istilah-istilah itu memiliki kesamaan dengan do’a, baik dari
segi tujuan, manfaat, dan adab-adabnya. Misalnya dengan melakukan dzikir,
wirid, dan istighosah mereka mengharap keridhoan allah, kasih sayang allah, dan
hal-hal lainnya yang diinginkan seorang hamba. Selain dzikir, wirid, dan
istighosah, terdapat beberapa iistilah lain, misalnya isti’anah, isti’adzah,
munajah, maunah, juga lain sebagainya.
B. Rumusan
Masalah
- Apa
saja istilah-istilah dalam do’a?
- Jelaskan
pengertian-pengertian
(a)
Mantra dan sugesti
(b)
Sihir
(c)
Hikmah dan ahli hikmah
(d)
Isti’anah
(e)
Istighosah
(f)
Munajah
(g)
Istiadzah
|
(h)
Muhasabah
(i)
Dzikir
(j)
Wirid
(k)
Mu’jizat
(l)
Karomah
(m)
Ma’unah
(n)
Istidroj
|
C. TUJUAN
1.
Untuk mengetahui apa saja
istilah-istilah dalam do’a
2.
Untuk mengetahui tentang
:
(a)
Mantra dan sugesti
(b)
Sihir
(c)
Hikmah dan ahli hikmah
(d)
Isti’anah
(e)
Istighosah
(f)
Munajah
(g)
Istiadzah
|
(h)
Muhasabah
(i)
Dzikir
(j)
Wirid
(k)
Mu’jizat
(l)
Karomah
(m)
Ma’unah
(n)
Istidroj
|
BAB II
Pembahasan
A. Istilah-Istilah dalam Do’a
Menurut bahasa Do’a berasal dari Bahasa
Arab الدعاء yang merupakan bentuk masdar dari mufrad داعى yang memiliki
bermacam-macam arti. Sedang menurut istilah Do’a berarti memohon kepada Allah
SWT secara langsung untuk memperoleh karunia dan segala yang diridhoiNya dan
untuk menjauhkan diri dari kejahatan atau bencana yang tidak dikehendakinya.
Menurut para sufi doa juga adalah lambang
kefakiran spiritual. Menurut mereka, semua orang seluruhmya membutuhkan
bimbingan dan petunjuk-nya. Bahkan seluruh kehidupan ini pun berasal dari dan
selalu perlu bimbingannya.[1]
Beberapa istilah yang ada dalam doa yaitu
Mantra dan sugesti, Sihir sebagai do”a yang dilarang dalam agam. Hikmah dan
ahli hikmah, Isti’anah, Istighosah, Munajah, Istiadzah, Muhasabah, Dzikir,
Wirid, Mu’jizat, Karomah, Ma’unah, Istidroj merupakan hal yang diperbolehkan.
Beberapa istilah itu mempunyai tujuan yang sama, yaitu ingin mendapatkan
sesuatu. Hanya saja pada proses dan subjek yang melakukannya yang tidak sama.
B. Pengertian-Pengertian Istilah dalam
Do’a
1. Mantra dan Sugesti
(a) Pengertian Mantra
Mantra adalah sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan
irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun
atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Mantra juga dikenal masyarakat indonesia sebagai rapalan untuk
maksud dan tujuan tertentu (maksud baik maupun maksud kurang baik). Dalam dunia
sastra, mantra adalah jenis puisi lama yang mengandung daya magis. Setiap
daerah di Indonesia umumnya memiliki mantra, biasanya mantra di daerah
menggunakan bahasa daerah masing-masing.[2]
(b) Hukum Mantra
Sunan Abu Daud 3388: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku
Mu’awiyah dari Abdurrahman bin Jubair dari Ayahnya dari ‘Auf bin Malik ia
berkata, “Pada masa jahiliyah aku pernah melakukan penjampian, lalu aku
berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda mengenai hal tersebut?”
Beliau menjawab: “Perlihatkan jampi kalian kepadaku! Tidak mengapa dengan jampi
selama bukan perbuatan syirik.”[3]
2. Sihir
(a) Pengertian Sihir
Sihir adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada setan dengan
bantuan setan tersebut.[4]
Sihir dalam
bahasa Arab tersusun dari huruf ر, ح, س (siin, kha, dan ra), yang
secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh
karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang
sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak
samar dan “remang-remang”.
Seorang
pakar bahasa, Al Azhari mengatakan, “Akar kata sihir maknanya adalah
memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada seorang menampakkan
keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan sesuatu dalam tampilan yang
tidak senyatanya maka dikatakan dia telah menyihir sesuatu”.
(b) Hukum Sihir
Sihir termasuk dosa besar. Abu hurairoh r.a berkata bahawa
rosulullah saw. Bersabda, “jauhilah 7 perkara yang membinasakan. Ada yang
bertanya, apa itu ya Rasulullah. Beliau menjawab, syirik kepada Allah, sihir
membunuh jiwa yang Allah haramkan melainkan (dengan alasan) yang benar, makan
harta anak yatim, makan riba, berpaling dari medan perang dan menuduh wanita
beriman yang baik-baik (dengan zina).” (hadist muttafaq alaihi).[5]
3. Hikmah dan Ahli Hikmah
(a) Pengertian Hikmah dan Ahli Hikmah
Dalam kosa
kata bahasa Indonesia, kata Hikmah mempunyai beberapa arti. Pertama, kebijaksanaan dari Allah. Kedua, sakti atau kesaktian (kekuatan
ghaib). Ketiga, arti atau makna yang dalam. Keempat, manfaat.
Menurut
kamus bahasa Arab, al-Hikmah mempunyai banyak arti. Di antaranya,
kebijaksanaan, pendapat atau pikiran yang bagus, pengetahuan, filsafat,
kenabian, keadilan, peribahasa (kata-kata bijak), dan al-Qur'anul karim.
Sedangkan
Imam al-Jurjani rahimahullah dalam kitabnya memberikan makna al-Hikmah secara
bahasa artinya ilmu yang disertai amal (perbuatan). Atau perkataan yang logis
dan bersih dari kesia-siaan. Orang yang ahli ilmu Hikmah disebut al-Hakim,
bentuk jamaknya (plural) adalah al-Hukama. Yaitu orang-orang yang perkataan dan
perbuatannya sesuai dengan sunnah Rasulullah.".[6]
Ahli hikmah ialah orang yang
mengetahui ilmu syara' dan mengamalkan ilmunya atau dalam istilah yang lebih
umum disebut orang yang shaleh, sholeh lahir dan bathinnya. Diluar Syara' tidak
memberi keleluasaan kepada siapapun untuk diberi predikat AHLI HIKMAH bila ia
tidak memiliki kriteria yang telah disebutkan.
(b) Hukum
Hikmah dan Ahli Hikmah
Ahli
Hikmah, pada dasarnya apabila ahli hikmah dimaknai secara standar hukum syara'
tentunya merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mengusahakan dirinya
menjadi seorang ahli himah (Ibnu Katsir, Juz 1 QS: 02:269, Syarah Tailimul
Muta'alim, Hal 19), karena sebagaimana diketahui himah merupakan kata lain dari
ilmu dan amal (ilminnafi'), namun demikian yang sering jadi permasalahan ialah
seseorang yang sengaja mendatangi orang yang dianggap sebagai AHLI HIKMAH
dengan maksud meminta bantuan, do'a, dan sebagainya dengan motif dan tujuan
masing-masing.
Dalam
pandangan hukum syara', sesungguhnya tidak ada larangan untuk do'a kepada
siapapun selama apa yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan syara', atau
meminta petunjuk selama jalan yang ditempuhnya sesuai dengan kaidah-kaidah
syara'. dalam hal ini, kaitannya dengan mengharap khowariq dari orang yang
dianggap ahli hikmah haruslah ditinjau dari beberapa aspek yang telah menjadi
standar syara'.[7]
4. Isti’anah
(a) Pengertian
Isti’anah
artinya meminta pertolongan dan dukungan dalam suatu urusan. Isti’anah ada 5
macam :
1.
Isti’anah kepada Allah subhanahu wata’ala yaitu isti’anah yang
mengandung kesempurnaan sikap merendahkan diri dari seorang hamba kepada
Rabbnya dan menyerahkan seluruh perkara kepada-Nya serta meyakini bahwa hanya
Allah yang bisa memberi kecukupan kepadanya. Dalil bagi isti’anah jenis ini
adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
Artinya:
“hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan”(QS. Al-Fatiha:5)
Barang siapa yang
memalingkan isti’anah yang khusus kepada Allah ini kepada selain Allah, maka
dia telah berbuat syirik yang mengeluarkannya dari islam.
2.
Isti’anah kepada makhluk dalam perkara yang makhluk tersebut mampu
melakukannya. Hukum bagi isti’anah jenis ini tergantung pada perkara yang
dimintai pertolongan baginya. Jika perkara tersebut berupa kebaikan maka boleh
bahkan disyariatkan (dianjurkan), berdasarkan firman Allah subhanahu
wata’ala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ
وَالتَّقْوَى
Artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan)kebaikan dan
takwa.”[Al-Maidah:2]
Adapun
jika perkaranya adalah perkara mubah maka boleh beristi’anah dan bagi orang
yang dimintai pertolongan akan mendapatkan pahala karena telah berbuat baik
kepada orang lain.
3.
Isti’anah kepada makhluk yang masih hidup dan hadir (ada di tempat) dalam
perkara yang dia tidak mampu melakukannya. Misalnya minta tolong kepada orang
yang lemah untuk mengangkat sesuatu yang berat. Isti’anah jenis ini merupakan
perkara yang sia-sia dan tidak ada kebaikan di dalamnya.
4.
Isti’anah kepada orang mati secara mutlak atau kepada orang yang masih hidup
dalam perkara gaib yang dia tidak mampu melakukannya. Isti’anah jenis ini
adalah syirik.
5.
Isti’anah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan perantara amal sholeh
dan perkara-perkara yang dicintai oleh Allah. Isti’anah jenis ini disyariatkan
berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:
5. Istighosah
Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث
yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan)
“istaf’ala” استفعل atau “istif’al” menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan.
Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang
berarti ampunan ketika diikutkan pola istif’al menjadi istighfar استغفار yang
berarti memohon ampunan. Jadi istighotsah berarti “thalabul ghouts” طلب الغوث
atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan
“istianah” استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih
sama. Karena isti’anah juga pola istif’al dari kata “al-aun” العون yang berarti
“thalabul aun” طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan.[8]
Istighotsah ada 4 macam :
1. Istighotsah kepada Allah subhanahu
wata’ala
Istighotsah
ini merupakan istighotsah yang paling afdhol (utama) dan paling sempurna, serta
merupakan sunnah para Rasul dan pengikut mereka.
2.
Istighotsah kepada orang yang telah mati atau kepada orang yang masih hidup
tetapi tidak berada dihadapannya dan tidak sanggup untuk memenuhi permohonanya.
Istighotsah jenis ini adalah syirik karena orang yang beristighotsah tentunya
meyakini bahwasanya mereka (yang dia beristoghotsah kepadanya) memiliki
kekuatan ghaib untuk bertindak di alam ini, dan itu berarti dia memberikan
bagian dari sifat rububiyah kepada mereka (yang sesungguhnya sifat rububiyah
ini hanya milik Allah semata).
3.
Istighotsah kepada orang yang hidup, yang mengetahui istighotsah tersebut dan
dia sanggup untuk memenuhinya.
4.
Istighotsah kepada orang yang masih hidup yang tidak mampu memenuhinya namun
orang yang beristighotsah tidak meyakini adanya kekuatan tersembunyi pada orang
tersebut. Contohnya: “ orang yang akan tenggelam beristighotsah pada orang yang
lumpuh.” Hal ini terlarang karena merupakan senda gurau dan ejekan semata, dan
mungkin saja orang lain yang melihat hal ini menyangka bahwasannya orang lumpuh
tersebut punya kekuatan ghoib yang dengannya dia bisa menyelamatkan orang yang
akan tenggelam dari kesulitan.[9]
6. Munajah
Munajah artinya berbisik atau berbicara secara
rahasia. Sebagai istilah, munajah adalah melakukan ibadah, baik dalam bentuk
perbuatan, ucapan, maupun do’a dengan sepenuh hati, khusyuk, dan tawadhuk,
dengan suara yang lembut sehingga terasa dekat sekali kepada Allah Swt, untuk
mengharap keridhaan, ampunan, hidayat, dan pertolongan-Nya. Usaha tersebut
hanya bisa dicapai dalam posisi antara kedua pihak yang sangat dekat; inilah
yang disebut munajah. Apabila dicapai dengan tidak dekat, disebut munada
(memanggil). Seperti apa yang diucapkan oleh seorang a’rabiyu (Badui) kepada
Nabi tentang sebab nuzul QS. Al-Baqarah/2:186. “Ya Rasulullah, apakah Tuhan
(Allah) kami itu dekat hingga kami harus berbisik ataukah jauh hingga kami
harus memanggail-Nya?”
Cara bermunajah adalah
memusatkan konsentrasi dan mengosongkan hati, hingga yang ada adalah perasaan
selalu dekat kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Hal ini bisa ditempuh
dalam sholat, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Yang termasuk
bermunajat kepada Allah Swt. adalah orang yang membaca al-Qur’an, berdoa dengan
sepenuh do’a dalam segala permohonannya, atau berdzikir dengan lisan melalui
bacaan tahmid (alhamdulillah : segala puji bagi Allah) tasbih
(subhanallah : Maha Suci Allah) dan tamjid (al-Majdu lillah : semua keagungan
hanya bagi Allah) dengan tujuan memperoleh ridho dan dekat kepada-Nya.[10]
7. Isti’adzah
Bacaan isti’adzah
–seperti a’udzubillahi minasy syaithonir rojim—tidak ada dalam Alquran.
Tidak ada ayat khusus dalam Alquran yang mengandung kalimat atau ucapan isti’adzah,
seperti halnya kata Amin yang biasa kita ucapkan setelah selesai membaca
Surat Al-Fatihah –khususnya dalam sholat. Kata Amin tidak ada di akhir
surat Al-Fatihah.
Para ulama sepakat, susunan kalimat isti’adzah bukan nash
Alquran, tapi hanyalah pelaksanaan dari perintah Alquran tentang keharusan kita
berlindung kepada Allah (isti’adzah). Oleh karena itu, Nabi Saw dan para
sahabat sering mengucapkan isti’adzah dengan kalimat berbeda-beda namun
maksudnya tetap sama. Para ulama sendiri memilih kalimat yang berbeda-beda
dalam melaksanakan isti’adzah ini, misalnya:
1. Imam
Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’iyah) memilih untuk menggunakan kalimat a’udzubillahi
minasy syaithonir rojim (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk).
2. Imam Ahmad
bin Hambal (pendiri mazhab Hambaliyah) lebih suka menggunakan kalimat a’udzu
billahis-sami’il ‘alim minasy syaithonirrojim (Aku berlindung kepada Allah
Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang terkutuk).
3. Imam
Ats-Tsaury (pendiri mazhab Tsauriyah) – a’udzubillahi minasy syaithonir
rojim innahu huwas sami’ul ‘alim (Aku berlindung kepada Allah dari setan
yang terkutuk sesunggunya Dia [Allah] Maha Mendengar dan Maha Mengetahui).[11]
8. Muhasabah
Muhasabah
berarti memperhitungkan amal perbuatan diri; Apabila ia mendapati dirinya
melakukan perbuatan baik (‘amal shalih) dalam mentaati Allah (tha’ah),
maka ia akan bersyukur kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila ia mendapati
perbuatan dosa dan melanggar aturan Allah (ma’shiyat), maka ia akan
menyesali perbuatan tersebut dengan memohon ampun kepada Allah atas
kesalahannya (beristigfar) dan kembali kepadaNya (bertaubat)
serta kemudian melakukan kompensasi kesalahan itu dengan
memperbanyak perbuatan baik.
Muhasabah
atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai
kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. Juga menjelaskan
kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya
setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh
Rasulullah saw. Muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak
lanjut atau perbaikan.[12]
9. Dzikir
Dzikir menurut bahasa artinya mengingat. Mengingat
merupakan merujuk terhadap apa yang sudah kita ketahui. Berdzikir mempunyai
tujuan untuk megungkap pengetahuan, kekuatan, dan keindahan percikan Tuhan
dalam diri kita. Menurut seorang Ahli mistik Kristen, Meister Ecliehart, bahwa
melalui Dzikir kita dapat menumbuhkan benih ketuhanan dalam diri kita.
Salah satu praktek Dzikir yaitu dilakukan dengan
mengucapkan kalimat la ilaha illallah yang berarti “tiada Tuhan selain Allah”
secara berulang-ulang. Dzikir merupakan salah satu Ibadah yang tidak hanya pada
konteks mengucapkan kalimat. Akan tetapi dilakukan dengan memaknai arti dari
lafadh. Selain itu, Dzikir juga dapat dilakukan dengan mengulang-ulang
nama-nama Allah dan memahami maknanya.
Dzikir dapat melunakkan hati yang kaku, hati yang
sering membelokkan manusia dari jalan kebenaran. Memang sudah manusiawi, jika
manusia bahagia dengan apa yang dimilikinya. Akan tetapi jika apa yang
dimilikinya itu membuatnya jauh dari Allah, berarti mereka telah terlena engan
ciptaan Allah. Mereka secara tidak langsung mengagungkan, bahkan menyembah
ciptaan Allah. Bukankan ciptaan itu memiliki kedudukan yang lebih rendah dari
yang menciptakan. Sesungguhnya yang selalu diutamakan dan disembah hanyalah
Allah yang maha menciptakan segala sesuatu. Dengan berdzikir berarti manusia
telah memiliki niatan tidak menginginkan apapun, tidak memiliki tujuan apapun,
tidak mencari apapun selain mencintai Allah. Selain itu, dzikir juga dapat
menyucikan hati, karena hati merupakan kuil Tuhan. Kuil yang dibangun untuk
menampung dan menyambut kehadiran Tuhan.[13]Diantara
bebarapa keutamaan dzikir yaitu terlindung dari bahaya godaan syetan, tidak
mudah menyerah dan putus asa, memberi ketenangan jiwa dan hati, mendapat cinta
dan kasih sayang Allah, tidak mudah terpengaruh dengan kenikmatan dunia.[14]
10. Wirid
Pengertian Wirid
dengan Zikir hampir sama. Dalam dunia sufi wirid ialah perbuatan seorang
hamba yang berbentuk ibadah,lahir dan batin.Wirid ada pengaturan tata cara,
jumlah, dan waktu pembacaan wirid. Misalnya seorang Syekh, mursyid, atau kiyai
memberikan wirid-wirid tertentu kepadamuridnya yang biasanya melalui proses
penyerahan khusus (ijazah). PengamalanWirid diatur tata caranya, misalnya
berapa kali harus dibaca, apakakah dibaca dipagi hari atau di sore hari atau
dalam keadaan tertentu.
لاَيَسْتَحْقِِرُ الْوِرْدَ اِلاَّ
جَهُوْلٌ ٬ الْوَرِدُ يُوْجَدُُ فِى الدَّرِالأَخِرَةِ ٬ الْوِرْدُ يَنْطَوِى
بِانْطِوَاءِ هَذِهِ الدَّرِ وَ اَوْلَىمَايُعْْتَنَى بِهِ مَالاَ يُخْلَفُ
وُجُوْدُهُ ٬ الْوِرْدُ هُوَ طََالِبُهُمِنْكَ وَ الْوَرِدُ اَنْتَ تَطْلُبُهُ
مِنْهُ ٬ وَاََيْنَ مَا هُوَ طََالِبُهُمِنْكَ مِمَّا هُوَ مَطْلَبُُكَ مِنْهُ ٠
“Tidak akan meremehkan wirid, kecuali orang yang bodoh. Karena Allah [Al Warid) itudiperoleh diakhirat, sedangkan Al Wirid, akan selesai dengan musnahnya dunia. Yang paling baik diperhatikan oleh manusia, adalah yang tidak pernah musnah.
Wirid yang menjadiperintah Allah kepadamu, serta karunia yang kalian terima, adalah merupakan hajatmu sendiri terhadap Allah swt. Dimanakah letaknya perbedaan antaraperintah Allah kepadamu dengan pengharapan kalian kepada-Nya."
Yang dimaksud wirid ialah perbuatan
seorang hamba yang berbentuk ibadah, lahir dan batin. Sedangkan Al Warid adalah
karunia Allah kedalam batinnya si hamba ibarat cahaya yang halus, yang
bersinar- sinar di dala dadanya dan memberi nur ke dalam dadanya. Semuanya
sebagai karunia Allah yang wujudnya dalam ibadah si hamba. Al Warid itu adalah
dari Allah swt, merupakan muamalah dan ibadah. Apabila Al Warid itu karunia
Allah maka Wirid adalah ibadah yang tetap dan tertib.
11. Mu’’jizat
Mukjizat
secara terminologi berasal dari kata al-i'jaz dari 'ajaza yang
artinya melemahkan atau mengalahkan. Menurut Imam as-Suyithi dalam kitab Al-itqan
fi 'Ulum Al-Qur'an adalah kejadian yang melampaui batas kebiasaan,
didahului tantangan, tanpa ada tandingan. Menurut Ibnu Khaldun adalah
perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru manusia. Maka ia dinamakan mukjizat,
tidak masuk kategori yang mampu dilakukan hamba, dan berada di luar standar
kemampuan mereka.[15]
Mukjizat
ialah perkara yang nampak yang bertentangan dengan kebiasaan (yaitu hal yang
luar biasa yang terjadi melalui) tangan nabi atau rasul setelah diutusnya (yang
dilakukan) pada saat berdakwah (menyebarkan) misi kenabian dan kerasulan,
seperti menghidupkan orang mati, menghilangkan gunung dan memancarkan air dari
sela-sela jari jemari.
12. Karomah
Secara
bahasa berarti mulia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan
karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar
kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran
Islam memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”, yaitu kejadian yang luar biasa
pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata
karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak
disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi,
Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan,
hal. 40]
Sedangkan,
Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan
tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak
benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan
Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar
dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul
Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
Dengan
demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa
pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.[16]
13. Ma’unah
Jikalau kekampuan luar biasa itu
terjadi dari orang-orang awam diantara orang-orang islam dalam bentuk sebagai
penyelamatan dari segala bencana dan dari segala hal yang tidak disukainya maka
kemampuan luar biasa itu disebut Ma’unah (pertolongan Allah).
14. Istidroj
Jika kemapauan luar biasa itu
terjadi pada seorang fasik, maka jika hal itu terjadi sesuai dengan
tujuannya maka kemampuan luar biasa itu disebut Istidroj (tipu daya Allah
kepada orang tersebut dan untuk menguji keimanan orang-orang islam yang
menghadapinya.
Dan jika tidak sesuai dengan
tujuannya maka hal itu disebut Ihanah (Penghinaan Allah kepada orang
tersebut) seperti yang pernah terjadi pada Musailimah al kadzab
(kalimat musailimah dengan dibaca kasroh huruf lamnya/orang yang mengaku
sebagai nabi.
Sesungguhnya musailimah berdoa untuk
orang yang buta satu matanya, agar matanya yang buta itu menjadi sembuh bisa
melihat, maka matanya yang sehat menjadi buta pula. Dan musailimah meludah ke
dalam sumur, agar supaya bertambah manis rasa airnya, maka sumur tersebut
berubah menjadi air asin yang sangat asin hingga terasa pahit. Dan
musalimah mengusap kepala anak yatim, maka menjadi rontoklah rambut kepala anak
yatim tersebut. Dan semua kejadian ini adalah bukti yang memperkuat kebohongan
pegakuan menjadi nabi, rasul. Semua hikayat tersebut dituturkan oleh syeikh
al laqoni dalam kitab umdatul murid.[17]
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Berdoa menjadi kewajiban semua umat muslim. Ketika berdo’a, banyak
beberapa do’a baik diperbolehkan atau tidak untuk digunakan dalam islam. Doa
yang boleh di pergunakan dan bisa diamalkan seperti istianah, istighosah,
wirid, dzikir, dan ada pula doa doa yang
di larang dalam agama islam, misalnya mantra, sihir. Doa yang tidak diperbolehkan itu disebabkan
karena mengandung unsur syirik. Mereka menggunakan hal-hal selain Allah sebagai
tempat untuk meminta.
Do’a-do’a yang diperbolehkan itu banyak diambilm dari Al-Qur’an,
sehingga tidak dimugkinkan keluar dari ajaran Islam. Selain itu, tata cara yang
dilakukan juga sesuai dengan ajaran Islam.
B.
Saran
Dalam beberapa istilah dalam do’a, terdapat beberapa do’a yang
diperbolehkan, dan adapula yang tidak. Dalam do’a yang asalnya diperbolehkan
juga dapat menjadi haram jika mengandung unsure-unsur syirik. Untuk itu, dalam
pelaksanaan berdo’a harus berhati-hati dan mempelajari tata cara yang sudah
diajarkan dalam Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, C. Ramli Bihar,
2002. Tasawuf dan tharekat, iman dan hikmah. Jakarta:
Al-Asyqa,
Unar Sulaiman, 2001. Jin setan dan iblis menurut al qur’an dan sunnah. Jakarta:
PT serambi ilmu semesta. 2001
As-sayyid, Ali
Murtadha, 2005. Bagaimana Menolak Sihir dan Kesurupan Jin. Depok: Gema Insan
Frager,
Robert, 2011. Psikologi Sufi untuk Transformasi Diri, Nafsu dan Jiwa.
Yogyakarta: Pt. Serambi Ilmu
Ghofur,
Saiful Amin, 2010. Rahasia Dzikir dan Do’a .Yogyakarta: Arruz Media Grup
http://aby-harunalghozali.blogspot.co.id/2012/04/perbedaan-antara-ahli-hikmah-dukun-dan.html
http://pukha.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-makna-dan-hakikat-muhasabah.html
[1] C. Ramli Bihar Anwar, Tasawuf dan tharekat,
iman dan hikmah, jakarta, 2002 hal-115
[2]
http://kasriah94.blogspot.co.id/2013/01/mantra.html
[3]
https://arsiparmansyah.wordpress.com/2012/02/02/hukum-mantera-didalam-islam/
[4] Dr. unar
sulaiman al-asyqa. Jin setan dan iblis menurut al qur’an dan sunnah. Jakarta.
PT serambi ilmu semesta. 2001
[5]
Ali
Murtadha As-sayyid, bagaimana menolak sihir dan kesurupan jin, Gema insan,
depok, 2005 hal-44
[6] http://ruqyah-online.blogspot.co.id/2007/12/pengertian-ilmu-hikmah-yang-syari.html
[7]
http://aby-harunalghozali.blogspot.co.id/2012/04/perbedaan-antara-ahli-hikmah-dukun-dan.html
[8]
http://smstausyah.blogspot.co.id/2011/06/pengertian-dan-bacaan-dalam-istighosah.html
[9]
https://abunamira.wordpress.com/2011/01/01/isti%E2%80%99anah-isti%E2%80%99adzah-istighotsah/
[10]
http://suyadi-sby.blogspot.co.id/2012/01/munajah.html
[11]
http://ddhongkong.org/makna-istiadzah-berlindung-kepada-allah/
[12]
http://pukha.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-makna-dan-hakikat-muhasabah.html
[13] Robert Frager, Psikologi Sufi
untuk Transformasi Diri, Nafsu dan Jiwa (Yogyakarta: Pt. Serambi Ilmu, 2011)
hal. 194
[14] Saiful Amin
Ghofur, Rahasia Dzikir dan do’a (Yogyakarta: Arruz Media Grup, 2010) hal.
143-147
[15]
http://mukjizatdiislam.blogspot.co.id/2008/05/pengertian-mukjizat.html
[16]
http://surya-karomah.blogspot.co.id/2010/08/pengertian-karomah.html
[17]
http://sang-salik.blogspot.co.id/2012/07/perbedaan-mukjizat-karomah-maunah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar