LAPORAN
PENELITIAN KUALITATIF
DINAMIKA PSIKOLIGIS CITRA DIRI NEGATIF
MAHASISWA IAIN TULUNGAGUNG
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
“METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF”
Dosen Pengampu :
Arman Marwing, S.Psi,
M.A
Disusun Oleh:
1. Amidana Hikmah :
(2833133005)
2. Evi Cholifatur Rohmah : (2833133018)
3. Fatmawati Ramadhani :
(2833133019)
4. Khusnul Fuad : (2833133027)
5.
Melda Andyani Sari : (2833133031)
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN
TASAWUF PSIKOTERAPI 5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan
puji syukur kehadirat Alloh SWT karena berkat kelimpahan rahmat serta
inayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Dinamika
Psikologis Citra Diri Negatif Mahasiswa IAIN Tulungagung” ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju
zaman Islamiyah.
Kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan
terima kasih, kepada:
- Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba
ilmu di IAIN Tulungagung ini.
- Arman Marwing, S.Psi, M.A selaku
Dosen Pembimbing matakuliah Metodologi Penelitian Kualitatif Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan pengarahan
sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
- Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada
penulis pada khususnya dan kepada pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 03 Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB
I PENGANTAR
A. Latar
Belakang Penelitian....................................................................
1
B. Rumusan
Masalah Penelitian..............................................................
6
C. Keaslian
Penelitian..............................................................................
6
D. Tujuan
Penelitian ................................................................................ 8
E. Manfaat
Penelitian .............................................................................. 8
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Citra
Diri Negatif dan Kecemasan......................................................
10
B. Karakteristik
Kepribadian Citra Diri Negatif.....................................
13
C. Dukungan
Sosial Citra Diri Negatif....................................................
17
D. Strategi
Coping Citra Diri Negatif ..................................................... 24
E. Dampak
Psikologis Citra Diri Negatif ............................................... 29
F. Kerangka
Pikir Penelitian....................................................................
31
G.
Pertanyaan
Penelitian......................................................................
33
BAB
III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan
Fenomenologi...................................................................
35
B. Sumber
Data.........................................................................................
36
C. Analisi
Data.........................................................................................
41
D. Keabsahan
Data ................................................................................... 42
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pelaksaan
Penelitian............................................................................
44
B. Hasil
Penelitian....................................................................................
45
C. Pembahasan..........................................................................................
50
BAB
V PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................
57
B. Saran.....................................................................................................
58
LAMPIRAN
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang Masalah
Percaya diri
dalam segala aktifitas merupakan hal yang selalu diinginkan bagi setiap orang.
Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan kepercayaan dirinya. Yang perlu
digaris bawahi adalah kekurangan dan kelebihan fisik bukan hal utama yang
dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri
diperoleh dari keyakinan dan dibalik semua yang ada dalam diri pasti memiliki
potensi yang dapat digali. Jadi, bukan sibuk untuk menyembunyikan kekurangan
fisiknya yang ada tapi lebih pada mengembangkan potensi yang dimiliki.
Penampilan fisik
yang sempurna memberikan kontribusi yang besar terhadap kepercayaan diri. Tubuh
merupakan bagian utama dalam penampilan fisik. Bentuk tubuh menjadi
representasi diri yang pertama
dan paling mudah
terlihat. Hal ini menyebabkan
orang kemudian menjadi terdorong
untuk memiliki tubuh yang
ideal (Breakey, 1996).
Keinginan untuk memiliki bentuk
tubuh yang ideal berkaitan erat
dengan istilah citra
tubuh.
Ada beberapa
diantaranya yang merubah penampilannya sebagian atau bahkan secara keseluruhan.
Misalnya perubahan penampilan yang dilakukan dengan cara operasi plastik mulai
mereka gunakan untuk mempercantik diri. Data-data mengenai bedah plastik
dibeberapa negara menurut sebuah jejak pendapat terbaru di Korea menyatakan
bahwa 77 persen wanita di Korea merasa perlu melakukan operasi plastik (Korean
times). Terdapat lebih dari 1,8 juta prosedur bedah kosmetik dilakukan di AS
pada tahun 2006. Bedah plastik di AS dalam setahun terdapat 10,2 juta orang
yang melakukan bedah plastik. Menurut ASAPS (American Society for Aesthetic
Plastic Surgery), jumlah pasien estetik meningkat dari tahun ketahun.
Peningkatan terbesar, 44 persen terjadi dari tahun 2003-2004. Dalam rentang
tahun 1997-2004 jumlah pasien bedah plastik di AS meningkat 465%. Di Inggris
setiap tahun yang menjalani operasi plastik sekitar 750.000 orang. Sedangkan di
Shanghai Cina terdapat data dilakukan rata-rata 100 pembedahan setiap harinya.
Di Indonesia,
sebenarnya operasi plastik juga bukan “barang baru” lagi. Menurut dr. Irene
selaku dokter di R.S Kanker Darmais, mendefinisikan bedah plastik estetik
adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan tubuh yang sudah
baik menjadi lebih baik. Bedah plastik estetik di Indonesia mulai berkembang
sejak awal periode 1980-an. Namun, jumlah pasiennya memang belum sebanyak saat
ini. Misalnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo, jumlah pasien bedah plastik estetik
sepanjang tahun 2005 mencapai 126 orang, dan di klinik Bedah Plastik Bina
Estetika, tiap tahun menerima sekitar 1.500 pasien. Sedangkan di Resort Gunung
Geulis-Bogor, sejak tahun 2005 telah berdiri
Aibee Hospital, sebuah rumah sakit khusus bedah plastik estetik yang
didukung penuh oleh konsultan-konsultan dokter ahli bedah plastik terbaik di
Brazil dan PERAPI (Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia).
Mereka merasa jika orang lain mengatakan bahwa
penampilannya itu sempurna, maka kepercayaan itu akan mereka dapatkan. Mereka
belum memahami dirinya dengan baik, memahami kekurangannya dengan baik. Oleh
karena itu, makna kecantikan saat ini harus diarahkan pada aspek ruhaniah atau
inner beauty. Kecantikan yang seharusnya adalah dengan memberikan energy
positif bagi lingkungan dan orang-orang sekitar. Sehingga pandangan mengenai
kecantikan akan berubah, yang sebelumnya kecantikan itu dipandang dari
kesempurnaan fisik berubah menjadi pribadi yang memiliki kemampuan dan prestasi
tinggi, bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang
baik, dan peduli terhadap sesama.
Fakta dari
beberapa informasi beberapa mahasiswa adalah beberapa gambaran diri yang
dimiliki oleh wanita bahwa kecantikan sebagai sumber utama untuk memperoleh
kepercayaan diri. Yang terjadi dalam realitanya adalah lingkungan dalam setiap
waktu dan budaya memiliki perbedaan dalam menilai kecantikan seseorang.
Beberapa mengatakan bahwa kecantikan didapatkan dengan memiliki tubuh yang
langsing, berkulit putih, memiliki hidung yang mancung. Pandangan seperti itu
yang memberikan dampak lebih besar terhadap citra diri negative mahasiswa.
Lingkungan social lebih banyak menganggap bahwa dengan kesempurnaan fisik, seseorang
memiliki suatu keistimewaan.
Kecantikan, keberhasilan, kebahagiaan,
dan harga diri
dapat diraih bila
para perempuan memiliki bentuk
tubuh yang ideal dan sempurna.
Strategi coping
banyak dilakukan beberapa kaum wanita karena terkena dampak citra diri
negative. Hal itu mereka lakukan sebagai salah satu upaya untuk memiliki
kesempurnaan fisik, Diantaranya yaitu fenomena dalam dunia selebriti yang marak
melakukan operasi plastic, melakukan make over yang menjadikan bentuk wajah
asli tersamarkan.
Mereka melakukan
strategi coping itu dengan berbagai alasan. Sesuai dengan citra diri yang
negative pada diri perempuan, maka akan menentukan tujuan membentuk dan
melakukan strategi coping. Hasil dari strategi coping yang dilakukan perempuan
misalnya yaitu bertujuan memiliki fisik yang sempurna, mempunyai kulit putih,
membentuk lesung pipit, mengencangkan kulit wajah dan mempunyai bentuk bibir
yang bagus.
Selain itu,
strategi coping yang dilakukan para remaja misalnya dengan melakukan diet.
Remaja perempuan yang memiliki sikap yang mendukung terhadap persuasi untuk
bertubuh ideal menurut ukuran media akan
lebih mudah mengalami
ketidakpuasan terhadap citra
tubuhnya (body image
dissatisfaction). Esther (2002) menemukan beberapa fakta, yaitu (1) 62%
subjek penelitian ingin menurunkan berat badan setelah menonton acara peragaan
busana dan penampilan para artis di televisi dan (2) 75% subjek penelitian
yang suka membaca artikel tentang bentuk
tubuh yang langsing di media cetak merasa tidak puas dengan citra tubuh mereka.
Attie dan
Brooks-Gunn; Strong dan Huon (dalam Haugaard, 2001) menyatakan
bahwa perempuan yang
merasa tidak puas
dengan bentuk tubuh
mereka akan berisiko
lebih tinggi untuk melakukan diet yang serius dan mengalami gangguan makan dibandingkan dengan
perempuan yang telah merasa puas dengan bentuk tubuh mereka. Ketidakpuasan
terhadap citra tubuh dapat meningkatkan perilaku merokok di
kalangan remaja perempuan
karena merokok merupakan
salah satu metode
penurunan berat badan yang umum digunakan oleh remaja masa
kini (Berg, dalam Dittrich, 2003).
Guiney dan Furlong (dalam
Rice dan Dolgin,
2002) menyatakan bahwa
pada remaja perempuan, ketidakpuasan terhadap citra tubuh
berdampak pada harga diri yang lebih rendah daripada remaja perempuan yang
lain. Penelitian dari Siegel dkk. (dalam Rice & Dolgin, 2002) menemukan
bahwa citra tubuh yang negatif merupakan penyebab utama
remaja perempuan menjadi
lebih depresif daripada
remaja laki-laki. Rodin
dkk. (dalam Dittrich, 2003) menambahkan bahwa perasaan
devaluasi diri, disforia (depresi), dan tidak berdaya lebih sebabkan karena
standar “ideal” budaya
yang tidak dapat
dicapai oleh kebanyakan
perempuan. Bahkan, menurut
American Association of University Women (dalam Dittrich, 2003),
ketidakpuasan terhadap citra tubuh ini berhubungan dengan risiko bunuh diri
pada remaja perempuan.
Beberapa
pandangan itu berdampak pada sikap individu yang mudah tertarik dengan
alat-alat kosmetik, media massa yang menawarkan berbagai penunjang karir.
Mereka bahkan menjadi pribadi yang kurang nyaman dengan apa yang dimilikinya,
dan kesulitan mengontrol stimuli-stimuli pemicu stress karena mereka seperti
dituntut oleh lingkungan.
Fakta diatas
merupakan salah satu alasan mengapa mereka melakukan berbagai upaya untuk
tampil secara sempurna. Bahkan mereka yang terlihat tidak memiliki kekurangan
secara fisik juga merasa kurang sempurna. Lingkungan memberikan dampak yang
besar terhadap kepercayaan diri dan citra diri seseorang. Seperti halnya citra
diri negative yang dialami oleh beberapa mahasiswa. Beberapa siswa merasa bahwa
dirinya terlalu gemuk, memiliki kulit yang hitam dan penampilan kurang menarik.
Subjek yang pertama pada penelitian kami misalnya, merasa
kurang lebih pandai dalam hal apapun dari teman-temannya. Penampilan yang
kurang menarik, sehingga dia mengalami kesulitan untuk bergaul sebagai salah
satu alasanya. Subjek yang kedua lebih terobsesi pada kesempurnaan fisik dengan
memiliki tubuh langsing. Tubuh yang dimilikinya sekarang dirasakannya sebagai
kecacatan fisik yang harus diperbaiki.
Subjek yang pertama maupun subjek yang kedua sama-sama merasa
memiliki fisik yang kurang sempurna. Subjek yang pertama memiliki strategi
coping pada hal negative, yaitu menyembunyikan kegelisahan atas kekurangan yang
dirasakanya. Hal itu berdampak pada kehidupan sosial yang dia lakukan dengan
teman-teman pergaulannya. Strategi coping yang dilakukanya itu berupa
keengganan untuk bergaul dan menjadi pribadi yang lebih tertutup.
Dari beberapa wawancara yang kami lakukan, citra diri
negative sering membawa dampak dalam segala aktifitasnya. Dia merasa dirinya
kurang sempurna, walaupun pada kenyataannya dia memiliki fisik yang sempurna.
Citra diri negative muncul karena dilatarbelakangi oleh berbagai factor,
misalnya pola asuh orang tua yang kurang memperhatikan kehidupan anak, kurang
adanya dukungan social, dan konsep diri yang belum terbentuk dengan matang.
Berdasarkan
uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang strategi coping citra diri negatif mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki citra diri negative menyandang stigma kurang sempurnaannya yang membuat mereka termarjinalkan dari penerimaan sosial yang utuh sehingga hal ini dapat membuat arahan pada pembentukan identitas sosial yang rusak.
penelitian tentang strategi coping citra diri negatif mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki citra diri negative menyandang stigma kurang sempurnaannya yang membuat mereka termarjinalkan dari penerimaan sosial yang utuh sehingga hal ini dapat membuat arahan pada pembentukan identitas sosial yang rusak.
Penelitian
ini mengarah pada pembahasan tentang karakteristik kepribadian begi mahasiswa
yang memiliki citra diri negatif, dukungan sosial yang didapatkan, dan strategi
pengatasan masalah yang digunakan serta dampak psikologisnya. Penelitian
menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain study kasus untuk menghasilkan
pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena yang diteliti.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negatif. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian,
permasalahan penelitian dibatasi dalam sub problematik sebagai berikut;
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negatif. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian,
permasalahan penelitian dibatasi dalam sub problematik sebagai berikut;
1. Bagaimana pengaruh citra diri
negative mahasiswa?
2. Bagaimana karakteristik kepribadian mahasiswa yang memiliki citra diri
negative?
3. Apa dukungan sosial yang didapatkan oleh mahasiswa yang memiliki citra
diri negative?
4. Bagaimana strategi pengatasan coping mahasiswa yang memiliki citra diri
negative?
5. Bagaimana dampak psikologis pada mahasiswa yang memiliki citra diri
negative?
C. Keaslian
Penelitian
Hal yang membedakan dari
penelitian ini adalah pada metode
penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian tentang strategi coping citra diri negative mahasiswa yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain sebagai berikut:
penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian tentang strategi coping citra diri negative mahasiswa yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain sebagai berikut:
1. Kussein
(1997), Berpendapat bahwa pada dasarnya citra diri adalah penafsiran seseorang
secara subyektif pada dirinya sendiri, oleh karena itu sering terjadi
kekeliruan dalam menafsirkan karena individu mengabaikan faktor-faktor obyektif
yang ada. Contohnya remaja putri menganggap bahwa tubuh mereka kegemukan
walaupun pengamat-pengamat lainnya menilai mereka tidak kegemukan. Memiliki
bintik diwajah maupun memakai kaca mata dapat dianggap sebagai cacat besar, dan
memiliki cacat fisik mungkin dapat dipandang sebagai keadaan puncak yang
mengarah pada perasaan tidak puas dan penolakan terhadap fisik.
2.
Hadisubrata
(1997), menyatakan bahwa citra diri bersifat subyektif, sebab hanya didasarkan
pada interpretasi pribadi tanpa mempertimbangkan atau meneliti lebih jauh
kenyataan benarnya. Penelitian tersebut tidak didasarkan pada apa yang
sebenarnya dipikirkan oleh orang lain, tetapi didasarkan pada interpretasi
pribadi terhadap apa yang menurut pendapatnya dipikirkan oleh orang lain tentang
kenyataan dirinya dan penilaian itu dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu,
dapat terjadi orang yang secara obyektif memiliki banyak kelebihan namun citra
dirinya negatif.
3. Mahasiswa yang tidak berpikir positif cenderung memiliki tingkatan citra
diri negative yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini dikembangkan dari model
pendekatan berpikir positif Elfiky (2008) yang dikombinasikan dengan beberapa
pendekatan psikologi, yaitu relaksasi,
visualisasi, dan afirmasi.
Kepribadian yang baik membawa diri agar selalu berpikir positif, hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa manusia
memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu untuk melatih
dirinya sendiri agar dapat mengubah atau menghapus keyakinan yang merusak dirinya sendiri (Ellis dalam Corey,
2007). Dalam tinjauan pustaka dijelaskan bahwa akibat ketidakpuasan terhadap
citra tubuh meliputi gangguan makan, diet yang justru menyebabkan kelebihan
berat badan, olahraga yang berlebihan (kadang-kadang disebut exercise bulimia)
dan perilaku-perilaku menghukum diri yang lain.
4. Penelitian tentang citra
tubuh (body image)
dan konsep tubuh
ideal sudah banyak dilakukan selama
beberapa tahun terakhir
dengan berbagai macam
metode dan sudut
pandang bidang-bidang keilmuan yang berbeda. Pada kesempatan kali ini,
peneliti tertarik untuk menggali lebih
dalam mengenai citra
tubuh dan konsep
tubuh ideal yang
berkembang di kalangan mahasiswi perguruan
tinggi IAIN Tulungagung dengan
menggunakan metode wawancara
mendalam dan sudut pandang biokultural. Penelitian
sebelumya tidak membahas tentang system coping citra diri negative yang
digunakan oleh mahasiswi. Untuk itu, penelitian yang kami lakukan masih jarang
dilakukan atau bahkan belum pernah dilakukan dari sepengetahuan peneliti.
5. Secara umum, mahasiswi
perguruan tinggi termasuk
dalam kelompok usia
remaja pradewasa (Kartono, 1990).
Dalam usia ini, biasanya para mahasiswi mulai sibuk memikirkan dan merencanakan
masa depannya, misalnya dengan siapa dia akan menikah dan pekerjaan apa yang
akan dilakukan setelah lulus kuliah. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi citra
tubuhnya. Pada penelitian ini, subyek yang dipilih adalah para mahasiswi semua
jurusan pada perguruan t|inggi IAIN Tulungagung. Peneliti ingin mengetahui persoalan-persoalan apa
saja yang dihadapi
oleh para mahasiswi
tersebut berkenaan dengan
tubuhnya, kemudian bagaimana persoalan-persoalan tersebut
membentuk citra tubuh
dan konsep tubuh ideal mereka. Sebagai upanyanya
strategi coping dampak citra diri negative begitu meluas dilakukan beberapa
mahasiswa
D. Tujuan
Penelitian
Penelitian ini
bermaksud untuk menelaah dan memahami tentang dinamika psikologis mahasiswa
yang memiliki citra diri negatif. Mahasiswa sebagai kejadian yang berhubungan dengan konsep diri yang belum
matang, karakter kepribadian, dukungan sosial yang didapatkan, strategi
pengatasan masalah dan dampak psikologis. Pendekatan kualitatif dengan studi
kasus dilakukan untuk menggali dan mengungkap pengalaman mahasiswa tentang strategi coping secara menyeluruh (komprehensif).
E. Manfaat
Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat
menunjukkan mengenai gambaran tentang
dampak citra diri negative terhadap konsep diri mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang melakukan berbagai upaya strategi coping citra diri negative mahasiswa mengalami keadaan mental yang kurang nyaman dan pemicu-pemicu stress mudah muncul. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Psikologi, yaitu dapat memberikan informasi tentang dampak citra diri negatif, yang berakibat pada terganggunya kondisi mental seseorang.
dampak citra diri negative terhadap konsep diri mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang melakukan berbagai upaya strategi coping citra diri negative mahasiswa mengalami keadaan mental yang kurang nyaman dan pemicu-pemicu stress mudah muncul. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Psikologi, yaitu dapat memberikan informasi tentang dampak citra diri negatif, yang berakibat pada terganggunya kondisi mental seseorang.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan masukan dan
tambahan informasi bagi mahasiswa untuk menjadikan kecantikan fisik bukan sebagai prioritas utama. Kecantikan yang seharusnya adalah dengan memberikan energy positif bagi lingkungan dan orang-orang sekitar. Sehingga pandangan mengenai kecantikan akan berubah, yang sebelumnya kecantikan itu dipandang dari kesempurnaan fisik berubah menjadi pribadi yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang baik, dan peduli terhadap sesama.
tambahan informasi bagi mahasiswa untuk menjadikan kecantikan fisik bukan sebagai prioritas utama. Kecantikan yang seharusnya adalah dengan memberikan energy positif bagi lingkungan dan orang-orang sekitar. Sehingga pandangan mengenai kecantikan akan berubah, yang sebelumnya kecantikan itu dipandang dari kesempurnaan fisik berubah menjadi pribadi yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang baik, dan peduli terhadap sesama.
Pola berfikir positif dapat diterapkan oleh semua mahasiswa kususnya
wanita sebagai subjek utama dari penelitian kami. Denagn
berfikir positif, maka akan berdampak pada pembentukan kesadaran diri,
pemahaman diri, dan konsep diri yang baik. Jika kepribadian dapat terbentuk
dengan baik, maka konsep penerimaan diri para mahasiswa menjadi hal yang mudah
untuk diterapkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Citra Diri
Negative dan Kecemasan
1.
Pengertian Citra Diri Negatif
Menurut Honigman dan Castle, body image
adalah gambaran mental seseorang
terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan
penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk
tubuhnya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.
Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar
merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian
diri yang subyektif (Dewi, 2009).
Menurut Stuart (1995)
citra diri adalah sikap
seseorang terhadap tubuhnya secara
sadar, sikap ini mencakup
persepsi dan perasaan
tentang ukuran, bentuk, fungsi,
penampilan, potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman yang baru.
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara
internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang
ditujukan pada tubuh. Citra tubuh
dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan
fisik dan oleh persepsi dari pandangan orang lain (Potter & Perry, 2005).
Sejak lahir individu mengeksplorasikan bagian tubuhnya, menerima reaksi
tubuhnya dan menerima stimulus orang lain. Pandangan realistis terhadap diri,
menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari rasa
cemas dan meningkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu terhadap
tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis.
Citra diri yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai
bentuk individu, perasan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu
sebenarnya. Individu merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk
tubuh dan ukuran tubuh individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu
merasakan malu, self-conscious, dan khawatir akan badannya. Individu merasakan
canggung dan gelisah terhadap badannya.
Jadi, citra diri merupakan bagaimana cara individu mempersepsikan
tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar yang meliputi ukuran, fungsi,
penampilan, dan potensi tubuh berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, citra
tubuh adalah kumpulan sikap individu, baik yang disadari ataupun tidak yang
ditujukan terhadap dirinya.
2.
Penyebab Munculnya Citra Diri Negatif
Citra
tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan
perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek
penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya dari
konsep diri. Selain itu, sikap dan nilai kultural dan sosial juga mempengaruhi
citra tubuh.
Pandangan
pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dan
pandangan orang lain. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang
penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistik terhadap dirinya,
menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan membuatnya lebih merasa aman
sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Proses
tumbuh kembang fisik dan kognitif perubahan perkembangan yang normal seperti
pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh
bila dibandingkan dengan aspek lain dari konsep diri (Potter & Perry,
2005).
Santrock
(2003) juga menegaskan bahwa perhatian
pada tampilan fisik atau citra
tubuh seseorang sangat
kuat terjadi pada masa
remaja, baik pada
remaja perempuan maupun laki-laki. Para remaja akan melakukan
berbagai usaha untuk mendapatkan tampilan
fisik yang ideal sehingga terlihat
menarik, seperti menggunakan pakaian
yang sesuai ataupun melakukan perawatan tubuh dan wajah, namun
itupun belum memuaskan penampilan mereka.
Dari
uraian diatas, beberapa hal yang dapat mempengaruhi terbentuknya citra diri
negative yaitu individu terlalu fokus terhadap bentuk fisiknya, cara individu
memandang dirinya berdampak penting terhadap
aspek psikologis individu tersebut. Selain itu Citra tubuh seseorang
sebagian dipengaruhi oleh sikap dan respon
orang lain terhadap dirinya, dan sebagian lagi oleh eksplorasi individu
terhadap dirinya. Gambaran yang realistis tentang menerima dan menyukai bagian
tubuh akan memberi rasa aman serta mencegah kecemasan dan meningkatkan harga
diri.
3.
Kecemasan Terhadap Citra Diri Negatif
Pada aspek pikiran,
terdapat kecemasan terhadap diri
seseorang yang memiliki citra diri negatif.
Dalam aspek ini subjek
mengalami kecemasan terhadap tubuhnya
dengan seringkali bercermin, memperhatikan wajahnya dan
berpikir untuk selalu tampil
cantik dan kekurangan
fisik tertutupi. Meski demikian,
subjek tidak merasa cemas saat
orang lain memperhatikan dirinya.
Begitupun
dalam pikiran negatif
tentang tubuh, subjek seringkali
berpikir negatif tentang tubuhnya
dimana subjek minder dan malas
bicara jika bersama dengan orang yang
tampilan fisiknya lebih cantik
daripada subjek, subjek lebih
memilih untuk diam
karena berpikir bahwa subjek
akan kalah cantik atau
takut tersaingi dengan orang
lain yang dianggapnya
lebih cantik daripada dirinya.
Dalam aspek
Aspek Perasaan (Afeksi) ketidakpuasan
terhadap bagian tubuh, ketidakpuasan
subjek tepat pada bagian
tubuh, mulai dari hidung,
tinggi badan, kulit,
rambut, payudara, bokong, bahkan
hampir seluruh tubuh. Begitupun
dalam perasaan negatif tentang tubuh,
subjek memiliki perasaan negatif
dimana subjek merasa benci
dengan kulitnya saat ini
karena menggelap, sehingga timbul perasaan
tidak puas dengan fisiknya.
Pada faktor
standar kecantikan yang tidak
mungkin dicapai, lingkungan subjek
tidak menuntut subjek untuk
tampil ideal, kesan awal yang sempurna
membuat subjek menuntut dirinya
sendiri untuk tetap sempurna. Subjek
merasa banyak kekurangan dan ingin merubah fisik (seperti
memutihkan kulit,
memancungkan hidung, transplantasi tulang dan
berpayudara besar). Biaya adalah
satu-satunya alasan mengapa subjek belum
mampu mencapai tampilan fisik
yang sesuai keinginannya.
Jadi,
kecemasan itu muncul karena adanya faktor
rasa tidak puas
yang mendalam terhadap kehidupan dan diri sendiri, dimana
dalam subjek ini bentuk
ketidakpuasan subjek
terefleksikan dari kebiasaannya bercermin dan
memperhatikan wajahnya
dengan intensitas yang sering,
subjek juga mengeluhkan bentuk wajahnya
yang menurutnya jelek dan
selalu menggunakan makeup
untuk atasi ketidakpuasan
fisiknya tersebut.
B. Karakteristik
Kepribadian Citra Diri Negative
1. Pengertian
Kepribadian
Kepribadian menurut
GW. Allport adalah
suatu organisasi yang dinamis
dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku dan
pemikiran individu secara
khas. Kepribadian juga merupakan
jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh dari
lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi kejiwaan seseorang dan
mempengaruhi sikapnya terhadap kehidupan.
Sedangkan karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas tiap individu
untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik
adalah individu yang
bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat.
Alwisol menjelaskan
pengertian karakter sebagai penggambaran tingkah
laku dengan menonjolkan
nilai (benar-salah,
baik-buruk) baik secara
eksplisit maupun implisit.
Karakter berbeda dengan kepribadian
karena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun
demikian baik kepribadian
(personality) maupun
karakter berwujud tingkah
laku yang ditujukan
kelingkungan sosial,
keduanya relatif permanen
serta menuntun, mengerahkan
dan mengorganisasikan aktifitas individu.
Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kepribadian meliputi segala
corak perilaku dan
sifat yang khas
dan dapat diperkirakan pada diri seseorang atau lebih bisa dilihat dari
luar, yang digunakan untuk
bereaksi dan menyesuaikan
diri terhadap rangsangan, sehingga
corak tingkah lakunya
itu merupakan satu kesatuan
fungsional yang khas
bagi individu itu,
seperti bagaimana kita bicara,
penampilan fisik, dan
sebagainya. Sedangkan karakter lebih bersifat
inheren dan tidak
tampak secara langsung.
Seperti bagaimana sikap kita
menghadapi orang lain,
sifat kita, dan sebagainya.
2. Karakteristik
Kepribadian Citra Diri Negatif
Seseorang
yang memiliki citra diri negative dapat diketahui dari
karakteristik-karakterisik kepribadian tertentu. Misalnya mereka akan berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan linkungannya tanpa memikirkan apakah hal yang
dilakukannya bermanfaat ataukah justru dapat memberikan dampak yang buruk.
Penyesuaian
diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjusment atau personal
adjustment. Haber & Runyon (1984) memberikan pengertian penyesuaian diri
sebagai tingkah laku yang ditunjukkan seseorang yang disesuaikan dengan
tuntutan situasi yang dialami.
Schneiders
(1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup
respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar
berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami
dalam dirinya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, adalah orang
yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap
dirinya, dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta
dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan
sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku.
Corsini
(2002) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan modifikasi dari sikap dan
perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif. Grasha dan
Kirschenbaum (1980) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah tingkah laku
yang ditunjukkan oleh seseorang yang disesuaikan dengan tuntutan situasi yang
dialami. Gerungan (1988) mendefenisikan penyesuaian diri secara aktif dan
pasif.
Secara
aktif, yaitu ketika individu mempengaruhi lingkungan sesuai dengan
keinginannya. Sedangkan secara pasif, yaitu ketika kegiatan individu
dipengaruhi lingkungannya. Tidjan (dalam Kristiyanti, dkk, 1990) mengemukakan
bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mengubah tingkah laku
agar terjadi hubungan yang lebih baik antara dirinya dengan lingkungan.
Berdasarkan
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses
yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha
individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, tuntutan, ketegangan, konflik, dan
frustrasi yang dialami dalam dirinya secara matang, bermanfaat, efisien,
efektif, dan memuaskan yang disesuaikan dengan tuntutan situasi yang dialami
individu. Individu dapat mempengaruhi lingkungan secara aktif dan pasif.
Pada
kepribadian individu yang memiliki citra diri negative akan bersikap secara
pasif. Mereka akan bertindak karena tuntutan dari lingkungan sosialnya. Selain
itu, penyesuaian diri akan selalu dilakukannya sebagai kebutuhan yang mendasar.
Hal ini dapat berdampak kurang baik terhadap psikologisnya jika penyesuaian
diri yang dilakukannya tidak berhasil, atau tidak sesuai dengan apa yang
diinginkannya.
3. Pengaruh
Kepribadian terhadap Citra Diri Negatif
Sejalan dengan itu, Keliat (1992) menyatakan bahwa citra tubuh
berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai
dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistis terhadap
diri serta kemampuan menerima keadaan tubuh akan membuat individu terhindar
dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri individu.
Pernyataan ini dikuatkan dengan penelitian oleh Casper & Offer (1990)
bahwa pada wanita, keinginan untuk mengubah tubuh dan penampilan diasosiasikan
dengan menurunnya tingkat harga diri. Hal ini bisa mendorong munculnya gangguan
makan. Dalam beberapa kasus, gangguan ini bisa berkembang menjadi patologis,
seperti anorexia atau bulimia (Casper & Offer, 1990).
Persepsi negative terhadap tubuh membuat wanita tidak bisa menghargai
diri mereka sendiri. Wanita yang fokus hanya fokus pada tubuhnya tidak akan
mampu menggunakan energinya untuk aspek lain dalam hidupnya. Usaha yang terus
menerus untuk mencapai tubuh yang ideal bisa menimbulkan obsesi terhadap
makanan. Selain itu, timbul masalah psikologis lainnya, seperti mudah marah,
merasa gagal dan inferior, masalah
ingatan, kecemasan, dan gangguan penyesuaian (Barnard, 1992).
Berscheid (Papalia & Olds, 2004) menyatakan bahwa wanita yang
memiliki persepsi positif terhadap citra tubuh lebih mampu menghargai dirinya.
Individu tersebut cenderung menilai dirinya sebagai orang degan kepribadian
cerdas, asertif, dan menyenangkan. Dacey dan Kenny (1994) mengemukakan bahwa
persepsi negatif remaja terhadap citra tubuh akan menghambat perkembangan
kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang positif dengan
remaja lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh individu
memiliki pengaruh terhadap kepribadian. Individu yang memiliki citra tubuh
positif cenderung memiliki kepribadian sehat yang diasosiasikan dengan
peningkatan kualitas hidup, seperti peningkatan harga diri, kepercayaan diri,
dan kesehatan mental. Sebaliknya, individu yang memiliki citra tubuh negatif
cenderung mengembangkan kepribadianya yang tidak sehat, seperti penurunan harga
diri, kemampuan interpersonal yang buruk, bahkan dalam banyak kasus berkembang
menjadi patologis, seperti anorexiadan bulimia.
C. Dukungan
Sosial Citra Diri Negative
1.
Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan sumber daya sosial yang
dapat membantu individu dalam menghadapi suatu kejadian menekan. Dukungan sosial
yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa
percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu
merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok.
Senada dengan pendapat diatas, beberapa ahli Cobb,
1976; Gentry and Kobasa, 1984; Wallston, Alagna and Devellis, 1983; Wills, 1984
: dalam Sarafino, 1998) menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan
sosial akan meyakini individu dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan
merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.
Menurut Schwarzer and Leppin, 1990 dalam Smet, 1994;
dukungan sosial dapat dilihat sebagai fakta sosial atas dukungan yang
sebenarnya terjadi atau diberikan oleh orang lain kepada individu (perceived
support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada persepsi terhadap
dukungan yang diterima (received support).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang
memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk
dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang
dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan
dan bernilai.
2.
Klasifikasi Dukungan Sosial
Cohen & Syme (1985),
mengklasifikasikan dukungan sosial dalam empat kategori yaitu :
a. Dukungan informasi, yaitu memberikan
penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah
yang sedang dihadapi individu. Dukungan ini, meliputi memberikan nasehat, petunjuk,
masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap.
b. Dukungan emosional, yang meliputi
ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap
percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan
perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman,
aman, terjamin, dan disayangi.
c. Dukungan instrumental adalah bantuan
yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya
menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan,
permainan atau bantuan yang lain.
d. Dukungan appraisal atau penilaian,
dukungan ini bisa terbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran)
untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang
membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.
Dari
pendapat tersebut kembali di perkuat oleh Sheridan & Radmacher (1992)
menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang
melibatkan aspek- aspek informasi, perhatian emosi, penilaian dan bantuan
instrumental. Ciri-ciri setiap aspek tersebut oleh Smet (1994) dan Taylor
(1995), dijelaskan sebagai berikut ;
a. Informasi dapat berupa saran-saran,
nasihat dan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh korban dalam mencari jalan
keluar untuk pemecahan masalahnya.
b. Perhatian emosi berupa kehangatan,
kepedulian dan dapat empati yang meyakinkan korban, bahwa dirinya diperhatiakan
orang lain.
c. Penilaian berupa penghargaan
positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan
individu lain.
d. Bantuan instrumental berupa dukungan
materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh korban dan bantuan
finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup sehari- hari
selama korban belum dapat menolong dirinya sendiri.
Berdasarkan
ciri-ciri dan klasifikasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan
sosial itu mencakup adanya dukungan informasi yang berupa saran atau nasehat,
dukungan perhatian atau emosi yang berupa perasaan kehangatan, kepedulian dan
empati, dalam dukungan instrumental berupa bantuan materi atau finansial serta
penilaian berupa penghargaan positif terhadap gagasan atau perasaan orang lain.
3.
Sumber Dukungan Sosial
Menurut
Rook dan Dootey (1985) yang dikutip oleh Kuntjoro (2002), ada 2 sumber dukungan
sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural.
a. Dukungan sosial artifisial
Dukungan sosial artifisial adalah
dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya
dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.
b. Dukungan sosial natural
Dukungan sosial yang natural
diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupanya secara spontan
dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak,
isteri, suami dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini
bersifat non- formal.
Sumber
dukungan sosial yang bersifat natural berbeda dengan sumber dukungan sosial
yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal.
Perbedaan
tersebut terletak dalam hal sebagai berikut:
a.
Keberadaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat
sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.
b. Sumber
dukungan sosial yang natural memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku
tentang kapan sesuatu harus diberikan.
c. Sumber
dukungan sosial yang natural berakar dari hubungan yang telah berakar lama.
d. Sumber
dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan label psikologis.
e. Sumber
dukungan sosial yang natural memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan
sosial, mulai dari pemberian barang- barang nyata hingga sekedar menemui
seseorang dengan penyampaian salam.
Menurut
Wangmuba (2009), sumber dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan
label psikologis terbagi atas:
a.
Dukungan sosial utama bersumber dari keluarga
Mereka
adalah orang-orang terdekat yang mempunyai potensi sebagai sumber dukungan dan
senantiasa bersedia untuk memberikan bantuan dan dukungannya ketika individu
membutuhkan. Keluarga sebagai suatu sistem sosial, mempunyai fungsi- fungsi
yang dapat menjadi sumber dukungan utama bagi individu, seperti
membangkitkanpersaan memiliki antara sesama anggota keluarga, memastikan
persahabatan yang berkelanjutan dan memberikanrasa aman bagi anggota-
anggotanya.
Menurut Argyle
(dalam Veiel & Baumann,1992), bila individu dihadapkan pada suatu stresor
maka hubungan intim yang muncul karena adanya sistem keluarga dapat menghambat,
mengurangi, bahkan mencegah timbulnya efek negatif stresor karena ikatan dalam
keluarga dapat menimbulkan efek buffering (penangkal) terhadap dampak stresor.
Munculnya efek ini dimungkinkan karena keluarga selalu siap dan bersedia untuk
membantu individu ketika dibutuhkan serta hubungan antar anggota keluarga
memunculkan perasaan dicintai dan mencintai. Intinya adalah bahwa anggota keluarga
merupakan orang- orang yang penting dalam memberikan dukungan instrumental,
emosional dan kebersamaan dalam menghadapi berbagai peristiwa menekan dalam
kehidupan.
b. Dukungan sosial dapat bersumber
dari sahabat atau teman.
Suatu
studi yang dilakukan oleh Argyle & Furnham (dalam Veiel & Baumann,1992)
menemukan tiga proses utama dimana sahabat atau teman dapat berperan dalam
memberikan dukungan sosial. Proses yang pertama adalah membantu meterial atau
instrumental. Stres yang dialami individu dapat dikurangi bila individu
mendapatkan pertolongan untuk memecahkan masalahnya. Pertolongan ini dapat
berupa informasi tentang cara mengatasi masalah atau pertolongan berupa uang.
Proses kedua adalah dukungan emosional. Perasaan tertekan dapat dikurangi
dengan membicarakannya dengan teman yang simpatik. Harga diri dapat meningkat,
depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan penerimaan yang tulus dari
sahabat karib. Proses yang ketiga adalah integrasi sosial. Menjadi bagian dalam
suatu aktivitas waktu luang yang kooperatif dan diterimanya seseorang dalam
suatu kelompok sosial dapat menghilangkan perasaan kesepian dan menghasilkan
perasaan sejahtera serta memperkuat ikatan sosial.
c.
Dukungan sosial dari masyarakat, misalkan yang peduli terhadap korban
kekerasan.
Dukungan
ini mewakili anggota masyarakat pada umumnya, yang dikenal dengan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan dilakukan secara profesional sesuai dengan
kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Hal ini berkaitan
dengan faktor- faktor yang mempengaruhi efektifitas dukungan sosial yaitu
pemberi dukungan sosial. Dukungan yang diterima melalui sumber yang sama akan
lebih mempunyai arti dan berkaitan dengan kesinambungan dukungan yang
diberikan, yang akan mempengaruhi keakraban dan tingkat kepercayaan penerima
dukungan.
Proses
yang terjadi dalam pemberian dan penerimaan dukungan itu dipengaruhi oleh
kemampuan penerima dukungan untuk mempertahankan dukungan yang diperoleh. Para
peneliti menemukan bahwa dukungan sosial ada kaitannya dengan pengaruh-
pengaruh positif bagi seseorang yang mempunyai sumber-sumber personal yang
kuat. Kesehatan fisik individu yang memiliki hubungan dekat dengan orang lain
akan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan individu yang terisolasi.
4.
Pengaruh Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang
diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya. Diharapkan
dengan adanya dukungan sosial maka seseorang akan merasa diperhatikan, dihargai
dan dicintai. Dengan pemberian dukungan sosial yang bermakna maka seseorang
akan mengatasi rasa cemasnya terhadap pembedahan yang akan dijalaninya (Suhita,
2005).
Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon
individu pada kejadian yang dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan itu sendiri
mempengaruhi strategi untuk mengatasi kecemasan dan dengan begitu memodifikasi
hubungan antara kejadian yang menimbulkan kecemasan dan efeknya. Pada derajat
dimana kejadian yang menimbulkan kecemasan mengganggu kepercayaan diri dan
dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.
Sheridan and Radmacher (1992), Rutter, dkk. (1993), Sarafino
(1998) serta Taylor (1999); mengemukakan 2 model untuk menjelaskan bagaimana
dukungan sosial dapat mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan kecemasan,
yaitu;
a. Model efek langsung. Model ini melibatkan
jaringan sosial yang besar dan memiliki efek positif pada kesejahteraan. Model
ini berfokus pada hubungan dan jaringan sosial dasar. Model ini juga
dideskripsikan sebagai instruktur dari dukungan sosial yang meliputi faktor status
perkawinan, keanggotaan dalam suatu kelompok, peran sosial dan keikutsertaan
dalam kegiatan keagamaan.
b. Model
buffering. Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku
sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif dari kecemasan.
Model ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi individu
dari efek negatif kecemasan dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan
oleh kejadian yang mengakibatkan kecemasan. Model ini bekerja dengan
mengerahkan kembali hal- hal yang menimbulkan kecemasan atau mengatur keadaan
emosional yang disebabkan oleh hal- hal tersebut. Model ini berfokus pada
fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada.
5.
Dampak Dukungan Sosial
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif
dalam mempengaruhi kejadian dari efek kecemasan. Dalam Sarafino (1998)
disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial,
antara lain:
a. Dukungan yang tersedia tidak
dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan
yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu
khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
b.
Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
c. Sumber
dukungan memberikan contoh buruk pada individu seperti melakukan atau
menyarankan perilaku tidak sehat.
d. Terlalu
menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang
diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang
seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung
pada orang lain.
Dilihat dari pemaparan diatas, dikatakan bahwa
dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada
individu, yang mana hal ini dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial
mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan kecemasan. Lieberman (1992)
mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan munculnya
kejadian yang dapat mengakibatkan kecemasan. Apabila kejadian tersebut muncul,
interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu
pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya
kecemasan.
Lemahnya dukungan sosial yang diperoleh seseorang
yang memiliki citra diri negative, maka akan berdampak pada meningkatnya
kecemasan dari diri individu. Hal itu, dapat mendorong seseorang melakukan
segala hal untuk memperbaiki penampilan dengan tujuan untuk mendapatkan reward
yang positif dari lingkungan sosialnya.
D. Strategi
Coping Citra Diri Negative
1.
Pengertian Strategi Coping Citra Diri Negatif
Banyak definisi yang
dilontarkan oleh para pakar psikologi untuk memberikan pengertian terhadap coping, bisa diartikan strategi coping
menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang
penuh tekanan.
Lazarus mendefinisikan
coping sebagai suatu cara individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang
dialami baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan. Dengan
perkataan lain, strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha
untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah
yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun
perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Umumnya coping
strategi dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya, dan coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi
tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut.
Namun ingat coping bukanlah suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi yang
menekan, karena tidak semua situasi tertekan dapat benar-benar dikuasai.
Dari definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa strategi coping merupakan upaya yang dilakukan individu
untuk menanggulangi masalah yang tengah dihadapinya yang mengakibatkan individu
mengalami tekanan. Sehingga individu harus mengubah kognitif atau perilakunya
agar dapat membangun rasa aman dalam dirinya sendiri.
Coping yang efektif umtuk
dilaksanakan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan
menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat
dikuasainya.
2.
Bentuk Strategi Coping
Strategi coping itu
sendiri dapat diartikan sebuah cara atau prilaku individu untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Sedangkan macam-macam coping itu
sendiri menurut Santrock (1996):
a.
Strategi
pendekatan (approach strategy) yaitu usaha kognitif untuk memahami
penyebab stres atau stressor dan usaha untuk menangani hal tersebut
dengan cara menghadapinya.
b.
Strategi
menghindar (avoidance strategy) yaitu usaha kognitif untuk menyangkal
atau meminimalisir stessor yang muncul dalam prilaku dengan cara menghindar dari
hal tersebut.
Bentuk-bentuk strategi coping yaitu :
a.
Perilaku
coping yang beorientasi pada masalah (problem focused coping-PFC) yaitu
strategi kognitif dalam penanganan stress/ strategi kognitif yang digunakan
individu dalam rangka menangani masalahnya.
b.
Perilaku
coping yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping-EFC) yaitu strategi
penanganan stress dimana individu memberikan respon terhadap situasi
stress dengan cara emosional.
3.
Aspek Strategi Coping
Strategi coping terdiri
dari dua jenis, yaitu strategi coping yang berorientasi pada masalah, dan
strategi coping yang berorientasi pada emosi. Masing-masing jenis memiliki
aspek yang bermacam-macam, diantara jenis-jenis strategi coping Lazarus dan
Folkman, ada 2 jenis strategi coping, yaitu:
a. Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan kecemasan, dan dipaparkan
para ahli bahwa aspek-aspek yang digunakan individu di bagi menjadi lima,
sebagai berikut:
1) Distancing, ini adalah
suatu bentuk coping yang sering kita temui, yaitu usaha untuk menghindar dari
permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positf, dan seperti
menganggap remeh/lelucon suatu masalah.
2) Planful Problem Solving, atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi
dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan
yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.
3) Positive Reapraisal, yaitu usaha
untuk mencari makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri, dan
stategi ini terkadang melibatkan hal-hal religi.
4) Self Control, merupakan
suatu bentuk
dalam penyelesaian masalah dengan cara menahan diri, mengatur
perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.
5) Escape, usaha untuk
menghilangkan stress dengan melarikan diri dari masalah, dan beralih pada
hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak dll.
b. Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang penuh tekanan. Berikut adalah aspek-aspeknya:
1) Self Control, merupakan
suatu bentuk
dalam penyelesaian masalah dengan cara mengendalikan dri,
menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa
dalam mengambil tindakan.
2) Seeking Social Support (For
Emotional Reason), adalah suatu cara yang dilakukan individu dalam
menghadap masalahnya dengan cara mencari dukungan sosial pada keluarga atau
lingkungan sekitar, bisa berupa simpati dan perhatian.
3) Positive Reinterpretation, respon dari
suatu individu dengan cara merubah dan mengembangkan dalam
kepribadiannya, atau mencoba mengambil pandangan positif dari sebuah masalah
(hikmah),
4) Acceptance, berserah diri,
individu menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah, karena dia sudah
beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk memecahkan masalahnya.
5) Denial (avoidance), pengingkaran,
suatu cara individu dengan berusaha menyanggah dan mengingkari dan melupakan
masalah-masalah yang ada pada dirinya.
Jadi,
jenis-jenis strategi coping coping yang digunakan pada citra diri negative ada
dua macam strategi, pertama yaitu jika individu berperan aktif untuk
menyelesaikan masalah yang menekannya pada kecemasan, maka individu menggunakan problem-solving focused coping sebagai strategi copingnya. Kedua, jika individu lebih
menggunakan pengaturan emosi sebagai usaha mencari rasa aman pada dirinya
terhadap kecemasan-kecemasannya, maka individu tersebut menggunakan Emotion-Focused Coping sebagai strategi copingnya.
4.
Dampak Strategi Coping
Hasil penelitian
membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi
berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan
sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984).
Faktor yang menentukan
strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada
kepribadian seseorang dan sejauh mana kondisi atau masalah yang dialaminya.
Misalnya seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam
menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang
berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan, sebaliknya ia akan cenderung
menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada
masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang
berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.
Hampir senada dengan
penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang
coping juga dikenal dua strategi coping, yaitu active & avoidant coping
strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping
merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap
sumber stres atau kecemasan.
Avoidant Coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk
menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau
menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan
stres.
Apa yang dilakukan
individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk
mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi
individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan
oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika
mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan
menambah kepekaan terhadap ancaman.
Dari dua strategi yang
dilakukan oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative, maka strategi yang
lebih baik digunakan adalah pada active coping, karena dia berusaha untuk
memperbaiki cara pandangnya terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan stress.
Jika hal itu terus dilakukan, maka nantinya dapat menjadikan individu untuk
memperbaiki cara pandang terhadap citra dirinya.
E. Dampak
Psikologis Citra Diri Negative
1. Pengertian
Dampak Psikologis
Psikologis merupakan kondisi mental yang terganggu karena menadapatkan
suatu tekanan atau permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Seseorang yang
memiliki citra diri yang negatif, akan
mempunyai persepsi yang negatif dengan bentuk dan ukuran tubuh mereka,
membandingkan tubuh mereka
dengan yang lain, merasa
malu dan cemas tentang tubuh
mereka sehingga tidak puas dengan dirinya, menjadi sulit menerima diri apa
adanya, peka terhadap kritik, responsive terhadap pujian dan
pesimis.
Menjadi tidak bahagia
dengan tubuhnya dapat mempengaruhi bagaimana
dia berpikir dan
merasakan tentang dirinya. Body image
yang lemah atau
jelek dapat menuju
emotional distress, kepercayaan
diri rendah, perilaku diet, kecemasan, depresi dan gangguan makan (Simanjutak,
2009).
Jadi, dampak psikologis citra diri negative merupakan kondisi psikologis
yang terganggu karena terpengaruh oleh citra diri negative. psikologis
seseorang lambat laut akan mengalami perubahan jika citra diri tidak segera
diperbaiki. Misalnya perasaan cemas yang muncul oada tahap awal, akan menjadi
depresi berat sehingga dia tidak memiliki ketenangan dalam menjalani setiap
aktifitasnya.
2. Dampak
Psikologis Citra Diri Negatif
Guiney dan Furlong
(dalam Rice dan
Dolgin, 2002) menyatakan
bahwa pada remaja
perempuan, ketidakpuasan terhadap citra tubuh berdampak pada harga diri
yang lebih rendah daripada remaja perempuan yang lain. Penelitian dari Siegel
dkk. (dalam Rice & Dolgin, 2002) menemukan bahwa citra tubuh yang negatif
merupakan penyebab utama remaja
perempuan menjadi lebih
depresif daripada remaja
laki-laki. Rodin dkk.
(dalam Dittrich, 2003)
menambahkan bahwa perasaan devaluasi diri, disforia (depresi), dan tidak
berdaya lebih sebabkan karena standar
“ideal” budaya yang
tidak dapat dicapai
oleh kebanyakan perempuan.
Bahkan, menurut American Association of University Women
(dalam Dittrich, 2003), ketidakpuasan terhadap citra tubuh ini berhubungan dengan
risiko bunuh diri pada remaja perempuan.
Paparan fakta diatas
menunjukkan betapa serius
dampak yang mengancam
remaja perempuan akibat ketidakpuasan terhadap citra tubuh
(body image dissatisfaction). Perkembangan ilmu psikologi membuka berbagai
ruang baru dalam memberikan berbagai alternatif terkait intervensi, salah
satunya berupa pelatihan berpikir positif (Sdorow, 1990).
Ellis (dalam Corey,
2007) menyatakan seseorang
mampu memodifikasi keyakinan-keyakinannya dengan melatih
kemampuan berpikirnya. Hayes
& Rogers (2008)
menambahkan bahwa cara
dan pola berpikir seseorang mempengaruhi
perilaku dan perasaan
yang akan dimunculkan
dalam situasi spesifik.
Penelitian Loehr (dalam Santrock,
2003) menunjukkan bahwa
suasana hati yang
negatif memungkinkan untuk
marah, merasa bersalah, dan
memperbesar kesalahan yang
telah terjadi. Berpikir
positif berkaitan dengan
hidup positif yang berorientasi pada keyakinan. Dengan
berpikir positif, seseorang mampu bertahan dalam situasi yang penuh stres
seperti ketika mengalami ketidakpuasan terhadap citra tubuh (Brissette dkk.
dalam Kivimaki dkk, 2005).
Fenomena ketakutan dan
kebencian terhadap kegemukan
ini bukan hanya
berhenti pada diri
sendiri, perempuan juga peduli
untuk sekedar mengingatkan atau bahkan
sampai pada kritik terhadap perempuan lain di sekitarnya (menjadi significant person).
Persuasi dari significant person (keluarga dan teman sebaya) menjadi faktor
lain perhatian perempuan terhadap bentuk tubuhnya (Moreno & Thelen; Pike
& Rodin, dalam Vincent & McCabe, 1999). Akibatnya sejumlah besar remaja
perempuan mendiskusikan tentang berat badan dan perilaku diet dengan
teman-teman mereka (Mukai; dan Paxton dalam Vincent dan McCabe, 1999).
Namun, konfrontasi media massa
dalam berbagai penelitian
dianggap berhasil, misalnya dalam penelitian Staffieri (dalam Rice,
1995) menyatakan bahwa sejak usia empat dan lima tahun telah mengembangkan
stereotip-stereotip yang sangat negatif terhadap kegemukan. Ciri-ciri
kepribadian yang tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan kegemukan antara
lain penipu, pemalas, tidak rapi, jelek,
kejam, dan bodoh.
Ketidakpuasan yang mendalam
terhadap diri sendiri
dan kehidupan, terutama
jika meningkat menjadi kebencian terhadap tubuh, merupakan suatu
ekspresi dari harga diri yang rendah dan perasan inadekuat (Leibel dkk., dalam
Rice 1995). Kemampuan mengontrol tubuhnya sendiri menyebabkan seseorang merasa
setidak-tidaknya mempunyai pengaruh terhadap hidupnya sendiri (Rice, 1995).
Menurut Berger dan Kano (dalam Rice, 1995), dalam sebuah budaya yang
mengukur nilai seorang perempuan
berdasarkan daya tarik
tubuhnya, identitas perempuan
itu akan menjadi
sangat terkait dengan penampilannya.
Jadi, perempuan yang memiliki citra diri negative berdampak pada
penilaian terhadap diri yang relative rendah. Sehingga perempuan lebih mudah
mengalami depresif. Seperti halnya jika fisik yang dimilikinya tidak sesuai
dengan apa yang diinginkannya, maka mereka tidak mengahrgai dirinya sendiri
bahkan membenci dirinya sendiri. Dengan membenci dirinya sendiri dapat
berdampak pada suasana perasaan individu, sering merasa sedih, marah, dan
tertekan.
F. Kerangka
Pikir Penelitian
Citra
diri negatif pada mahasiswa kini menjadi suatu fenomena yang banyak memberikan
pengaruh terhadap persepsi tentang penampilan fisik yang sempurna. Hal tersebut
melatarbelakangi mahasiswa untuk mencari jalan keluar dari permasalahan citra
negative yang dialami dengan tujuan untuk memiliki fisik yang sempurna.
Strategi
coping yang dipilih oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative
dikategorikan dalam dua bentuk coping yaitu coping yang lebih focus pada
problem citra diri negative, dan coping yang lebih focus pada emosi, yaitu upaya
untuk mengatur emosi yang muncul dari dirinya karena dampak dari penilaian
terhadap dirinya.
Dukungan
sosial dari lingkungan pergaulan dan media massa memiliki pengaruh yang besar
terhadap penilaian terhadap diri mahasiswa. Lingkungan pergaulan yang cenderung
selalu mengikuti alur modernisasi, maka berpengaruh terhadap stadar penampilan
dalam pergaulan mahasiswa yang sesuai dengan mode-mode era modern. Persepsi
tentang fisik yang sempurna dipelajari dari lingkungan social yang sudah
menjadi budaya. Sebagian besar dari mereka mengalami kecemasan karena mengikuti
trend dari lingkungan social, sehingga secara tidak langsung mereka merasa
dituntut oleh budaya yang ada di lingkungannya.
Keluarga
memiliki peranan penting sebagai pendukung perkembangan kepribadian setiap
orang. Karakter dan prinsip dalam hidup merupakan hasil pendidikan yang
diperoleh dalam lingkungan keluarga. Seseorang yang merasa dihargai dan
dicintai oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial
akan lebih menghargai diri. Mereka sadar bahwa penerimaan dirinya dalam
lingkungannya bukan karena kesempurnaan fisik yang dimilikinya, akan tetapi
lebih pada kualitas yang dimiliknya telah memberikan pengaruh besar untuk
lingkungan.
Psikologis
pada seseorang yang memiliki citra diri negative lebih mengarah pada perasaan
tertekan terhadap berbagai tuntutan dari lingkungannya untuk memiliki
penampilan yang sempurna. Perasaan
sensitive terhadap keadaan fisiknya semakin bertambah dan kepercayaan diri yang
semakin menurun sebagai dampak selanjutnya. Hal ini merupakan pemicu munculnya
emosional distrees, dan depresi.
Dari
pernyataan tersebut, peneliti ingin mengkaji lebih mengenai strategi coping
mahasiswa yang memiliki citra diri negatif dengan bagan seperti dibawah ini.
|
|||
G. Pertanyaan
Penelitian
Dalam
penelitian ini focus penelitian kami mengarah pada dinamika psikologis
mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Penelitian ini diuraikan dalam
beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1.
Apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi terbentuknya citra diri negative pada mahasiswa?
2.
Bagaimana karakteristik
kepribadian pada mahasiswa yang memiliki citra diri negatif?
3.
Apakah bentuk dukungan
sosial yang didapatkan oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
4.
Bagaimana strategi coping
yang digunakan mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
5.
Bagaimana dampak
psikologis yang terjadi pada mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
BAB III
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, sebagai pendekatan yang diharapkan nantinya
dapat membawa hasil yang terbaik. Adapun yang dimaksud dengan penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6)
Penjelasan lain juga dipaparkan
oleh (D.Sudjana, 2004, 06) bahwa
penelitian kualitatif dalam mencari jawaban atas sebuah permasalahan adalah
peneliti berusaha memahami secara mendalam dan menyeluruh untuk meghasilkan
kesimpulan dalam konteks, waktu dan situasi tertentu, tidak mengutamakan
kuatifikasi, menggunakan pendekatan konstruktifis, naturalistic, interpretative
dengan penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara
empirik”.
Penelitian kualitatif lebih
mengutamakan penggunaan logika induktif dimana kategorisasi dilahirkan dari
perjumpaan peneliti dengan informan di lapangan atau data-data yang ditemukan.
Sehingga penelitian kualitatif bericirikan informasi yang berupa ikatan konteks
yang akan menggiring pada pola-pola atau teori yang akan menjelaskan fenomena
sosial (Creswell, 1994: 4-7).
Adapun jenis pendekatan penelitian
ini dipaparkan secara deskriptif. Peneliti berusaha untuk menuturkan pemecahan
masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data. Jenis penelitian deskriptif
kualitatif yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh
informasi mengenai dinamika psikologis mahasiswa IAIN Tulungagung yang memiliki
citra diri negative.
A. Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan
fenomenologi menjadi pendekatan yang peneliti lakukan untuk menggali informasi
dari subjek, seperti halnya pengalaman subjek, makna-makna dari pengalaman
subjek. Informasi dari subjek dapat menambah pengetahuan dan wawasan dari
peneliti, sehingga peneliti dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola
hasil penelitian sebagai keilmuan yang penting.
Penelitian
fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dan
peristiwa-peristiwa, dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi
tertentu. Ini biasa disebut dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pengamatan terhadap fenomena-fenomena atau gejala-gejala sosial yang alamiah
yang berdasarkan kenyataan lapangan (empiris) (Iskandar, 2008:204; Moleong,
2007:17). Pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna dari suatu peristiwa
atau fenomena yang saling berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu.
Fenomenologi
merupakan suatu metode penelitian yang kritis dan menggali fenomene yang ada
secara sistematis (Steubert &Carpenter, 2003). Tujuan dari penelitian
dengan pendekatan fenomenologi adalah mengembangkan makna pengalaman hidup dari suatu fenomena
dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan
menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Rose, Beeby
& Parker, 1995, dalam Staubert & Carpenter, 2003).
Dengan demikian, untuk memahami dinamika psikologis dari mahasiswa yang memiliki citra diri
negatif, penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Selain itu sifat pendekatan fenomenologi yang sangat
mengedepankan individual differences (perbedaan
individual) merupakan kelebihan fenomenologi dibandingkan dengan bentuk
pendekatan lainnya.
Spiegelberg (1965,
dalam Staubert & Carpenter, 2003) mengidentifikasi ada tiga langkah proses
dalam fenomeneologi deskriptif, yaitu intuiting, analyzing, dan describing.
Langkah pertama adalah intuiting, bahwa peneliti secara total memahami fenomena
yang terjadi. Peneliti menggali fenomena yang ingin diketahui dari pengalaman
dari subjek tentang gambaran terhadap dirinya yang negative. Hal ini, peneliti
berusaha menghindari kritik, evaluasi atau opini tentang hal-hal yang
disampaikan oleh partisipan dan menekankan pada fenomena yan diteliti, sehingga
mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Pada tahap intuiting ini, peneliti
sebagai instrument dalam proses wawancara.
Tahap kedua
yaitu analyzing, merupakan tahap dimana peneliti mengidentifikasi arti dari
fenomena yang telah digali dan mengeksplorasi hubungan serta keterkaitan antara
data dengan fenomena yang ada, data yang perlu dianalisis secara seksama.
dengan demikian, peneliti mendapatkan dua yang diperlukan untuk memastikan
suatu kemurnian dan gambaran yang akurat.
Langkah ketiga
yaitu, phonological describing, merupakan peneliti mengkomunikasikan dan
memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada
pengklasifikasian dan pengelompokan fenomena. Dalam penelitian ini, peneliti telah
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang fenomena dinamika psikologis
mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Dengan menggali respon dari setiap
pertanyaan yang diajukan peneliti, termasuk dukungan dan segala aktifitas
subjek nantinya dapat ditemukan makna dari pengalaman yang dimiliki subjek.
B. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, ada 4
sumber data (Koentjoro, 2007) yang di
gunakan yaitu :
1. Subjek Penelitian
Mengingat sifat konteks dalam
asumsi kualitatif bersifat kritis sehingga masing-masing konteks harus
ditangani dari segi konteksnya sendiri, maka pada penelitian kualitatif
ini tidak ada sampel acak. Subjek dalam
penelitian ini dipilih dengan menggunakan prosedur pengambilan sampel bertujuan
(purposive sampling). Menurut
Arikunto (1998), jenis sampel ini tidak didasarkan atas strata,
maupun random, melainkan dengan adanya tujuan tertentu. Jika
merujuk pada pendapat Arikunto (2002). Maka, terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi jika menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan, yaitu :
a.
Pengambilan
sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik
tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b.
Subjek yang
diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak
mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.
c.
Penentuan
karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.
Adapun penetapan
subjek didasarkan pada beberapa kriteria, diantaranya yaitu secara praktis, Moustakas (1994) mengemukakan
bahwa beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi oleh subjek
penelitian, yaitu (1) Subjek
penelitian telah mengalami fenomena yang menjadi fokus penelitian, (2) Subjek sangat tertarik untuk memahami latar belakang dan
makna dari fenomena tersebut, (3) Subjek bersedia untuk berpartisipasi dalam proses wawancara, serta (4) Subjek membolehkan peneliti untuk merekam data dan
mempresentasikan data yang diperoleh dalam laporan penelitian.
Menurut Neumann (2006),
dalam menentukan subjek penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan social mapping. Social mapping dilakukan melalui jalinan sosial pertemanan. Jenis social mapping yang
dipilih peneliti adalah snowball sampling. Subjek penelitian memiliki kriteria sebagai berikut:
a)
Perempuan, tercatat sebagai mahasiswa IAIN Tulungagung.
b)
Usia antara 18-25
tahun.
c)
Berstatus belum menikah.
Penggunaan metode snowing
ball menyebabkan besaran jumlah subjek yang berpartisipasi dalam penelitian
ini tidak dapat ditentukan secara pasti. Besar
atau kecilnya jumlah unit informan dalam hal ini lebih disesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan. Selain itu, peneliti tidak terlalu dirisaukan oleh
kebutuhan akan besar atau kecilnya jumlah unit subjek
karena peneliti lebih berorientasi kepada seberapa besar kekayaan informasi (information rich) yang dimiliki
informan.
Subjek penelitian mahasiswa dengan jurusan Perbankan
Syari’ah, yang menetap disebuah rumah dan tidak jauh dari kampus. Usianya 21
tahun, yang memiliki kriteria sesuai dengan apa yang ditetapkan peneliti.
Sibjek tersebut peneliti peroleh dari teman dekat subjek, yang kebetulan juga
teman dekat peneliti.
2. Informan penelitian
Informan di bagi menjadi 2 yaitu informan tahu dan
informan pelaku. Informan tahu adalah informan yang hanya mengetahui tentang
subjek secara umum, sedangkan informan pelaku adalah informan yang merasakan
dampak dari perilaku subjek. Jumlah informan penelitian ini ditentukan sesuai
kebutuhan,
Selain dipilih berdasarkan keterkaitan dengan subjek penelitian, pemilihan
informan juga didasarkan pada pemahaman mereka terhadap permasalahan atau fokus penelitian.
Informan tahu dalam penelitian ini adalah teman
dekat peneliti yang juga menjadi teman dekat subjek. Informan juga sering
menemani subjek dalam melakukan beberapa aktifitasnya.
3. Dokumen tertulis (Written
documents)
Untuk melengkapi dan mendukung
informasi, peneliti juga menggunakan dokumen tertulis. Sumber ini dapat diperoleh melalui kepustakaan atau
sumber tulisan yang relevan dalam tulisan ini (Gottschalk, 1993).
Perlunya penggunaan dokumen tertulis ini disebabkan karena
tidak semua hal dapat dikatakan secara verbal dan terdapat hal-hal tertentu
yang hanya dapat dilihat melalui data sekunder. Dokumen tertulis menjadikan
informasi lebih akurat dan kaya. Dokumen tertulis juga dapat dijadikan sebagai
bukti informasi verbal yang diberikan oleh subjek penelitian. Dalam hal ini dokumen tertulis dalam penelitian ini
adalah data-data penelitian yang peneliti dari jurnal, juga beberapa data-data
penelitian dari buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian yang peneliti
ambil.
3.
Dokumen tidak tertulis (Unwritten documents)
Dokumen
tidak tertulis dalam penelitian ini berupa simbol-simbol yang yang dapat diamati pada subjek dan
lingkungannya. Simbol-simbol yang dimaksud secara spesifik antara lain cara
berpakaian subjek, tempat kerja atau tempat kumpul subjek, kondisi fisik
subjek, dan keadaan lingkungan rumah tempat subjek tinggal. Simbol
dalam penelitian ini berfungsi untuk memberikan informasi tambahan kepada
peneliti. Hal-hal tertentu yang tidak dapat dikatakan secara verbal juga dapat
dilihat melalui simbol penelitian. Hal ini turut membuat informasi menjadi
lebih akurat dan kaya. Disamping menggunakan observasi, untuk menangkap simbol-simbol tersebut,
peneliti menggunakan dokumentasi berupa foto-foto sehingga dapat menyajikan
simbol tersebut secara visual.
3.
Lokasi Penelitian
Lokasi pnelitian ini berada di IAIN Tulungagung, tepatnya terletak di
Desa Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru. Kabupaten Tulungagung.
4.
Metode Pengumpulan Data
Pada dasarnya,
data dalam penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan melalui triangulasi (multi-method). Data primer diperoleh
dengan pengamatan dan wawancara (interview). Observasi partisipan digunakan untuk menggali data-data
yang bersifat gejala. Sementara, wawancara mendalam digunakan untuk menggali
kategori data kesan atau pandangan (Moleong, 2001).
Tahap awal,
Observasi partisipan atau
pengamatan terlibat. Dalam hal ini selama di lapangan pada kesempatan-kesempatan
tertentu peneliti berusaha untuk mengamati beberapa mahasiswa yang sesuai
dengan kriteria penelitian. Selain itu, peneliti juga mencari informan tau
sebagai upaya untuk mencari subjek, dan mengetahui bagaimana keseharian subjek.
Dari sini peneliti mencatat segala aktivitas, sikap, dan perilaku subjek,
berkaitan dengan kondisi informasi mengenai kondisi psikologis subjek.
Tahap yang kedua
yaitu, wawancara. Selain observasi, alat pengumpul data yang utama dalam
penelitian kualitatif ialah wawancara. Hal
ini dikarenakan sumber data utama dalam penelitian Fenomenologi adalah
kata-kata, ide, ataupun komentar dalam proses wawancara (Groenewald, 2004). Lebih dari itu, menurut Poerwandari (1998), wawancara
dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang
dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dengan maksud mengeksplorasi
isu tersebut yang tidak dapat dijangkau dengan pendekatan lain.
Dalam hal ini peneliti melakukan inkorporasi dengan
subjek guna menggali pengalaman terdalam mereka. Dengan
menggunakan wawancara tak terstruktur (unstructured interview) peneliti mencoba menggali informasi serta
mencoba memahami dari dalam (from within)
dengan cara menjadikan diri peneliti sebagai bagian dari subjek sekaligus obyek
penelitian. Penelitian
ini menekankan pada sikap empathy,
sehingga peneliti dapat memperkaya bahan informasi yang bersumber dari makna
terdalam yang mendasari sebuah tindakan.
Fokus peneliti
dalam hal ini diarahkan kepada bagaimana penjelasan subjek mengenai gambaran
tentang dirinya. Setelah subjek menjelaskan yang menurut peneliti dirasa sudah
cukup, maka peneliti juga mengamati perilaku subjek. Beberapa informasi yang
diperoleh peneliti nantinya akan diklarifikasi lagi apakah hal ini sesuai
dengan kenyataan yang terjadi pada diri subjek.
Dinamika
psikologis yang dialami yang terartikulasikan melalui pikiran dan perasaan
pelaku pada diri subjek merupakan tujuan utama apa yang ingin diketahui
peneliti. Keseluruhan
komponen ini pada akhirnya akan dirangkaikan untuk membangun gambaran dinamika
problem psikologis dan coping apa
yang dilakukan pada mahasiswa yang memiliki citra diri negative.
Tahap yang ketiga yaitu dokumentasi. Metode
dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang datanya diperoleh dari buku,
internet, atau dokumen lain yang menunjang penelitian yang dilakukan. Dokumen
merupakan catatan mengenai peristiwa yang sudah berlalu. Peneliti mengumpulkan
dokumen yang dapat berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seseorang (Sugiyono, 2012:240).
Dalam penelitian ini peneliti juga berusaha untuk mengambil
dokumentasi-dokumentasi yang mendukung penelitian ini. Dokumentasi itu di
antaranya meliputi aktivitas-aktivitas subjek di dalam kost, bagaimana subjek
berinteraksi dengan teman-temannya.
C. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan metode
fenomenologi, yaitu mencoba menyajikan dan memahami makna di balik data yang
diperoleh ke dalam tema-tema tertentu (Creswell, 1998). Lebih lanjut, menurut
Creswell (1998) metode analisis dan
interpretasi data yang paling sering digunakan adalah modifikasi metode
Stevick- Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Prosedur analisis dan
interpretasi data meliputi:
1. Memulai dengan
deskripsi tentang pengalaman peneliti terhadap phenomenon.
2. Peneliti kemudian
mencari pernyataan (dalam interview) mengenai bagaimana individu-individu
mengalami topik (Phenomenon)
tersebut, membuat daftar dari pernyataan-pernyataan tersebut (horizonalization) dan perlakukan tiap
pernyataan dengan seimbang (mempunyai nilai yang sama), dan mengembangkan daftar dari
pernyataan yang tidak berulang (non repetitive) atau tidak tumpang tindih (non
overlapping).
3. Pernyataan kemudian
dikelompokkan ke dalam unit-unit makna (meaning
units), buat daftar dari unit-unit ini, dan menuliskan deskripsi dari
tekstur (deskripsi tekstural) dari pengalaman, yaitu apa yang terjadi, disertai
contoh-contoh verbatim.
4. Peneliti kemudian
merefleksikan berdasarkan deskripsinya sendiri dan menggunakan imaginative variation atau deskripsi
struktural, mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif yang divergen,
memperkaya kerangka pemahaman dari phenomenon,
dan membuat deskripsi dari bagaimana phenomenon
dialami.
5. Peneliti kemudian
membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman.
6. Dari deskripsi
tekstural-struktural individu, berdasarkan pengalaman tiap partisipan, peneliti
membuat composite textural-structural
description dari makna-makna dan esensi pengalaman, mengintegrasikan semua
deskripsi tekstural-struktural individual menjadi deskripsi yang universal dari
pengalaman, yang mewakili kelompok (responden) secara keseluruhan (Moustakas, 1994).
D. Keabsahan Data
Setiap penelitian memerlukan adanya standar untuk melihat
derajad kepercayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di dalam
penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan keabsahan data.
Moleong (2007) mengemukakan bahwa kriteria yang digunakan memeriksa keabsahan
data antaralain, derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), kebergantungan (dependebility),
serta kepastian (confirmability).
Derajat
kepercayaan (Credibility), untuk
mencapai kriterium ini, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan triangulasi,
yakni sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah
dengan chek-recheck temuan fakta dengan cara membandingkannya dengan
berbagai sumber, metode, dan teori. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengamatan
dengan hasil wawancara yang dikatakan di depan umum dengan yang dikemukakan
secara pribadi. Triangulasi metode dilakukan dengan melihat temuan
hasil penelitian yang memakai metode yang sama. Sedangkan triangulasi teori,
menggunakan penjelasan banding (rival
explanations) mengambil teori lain sebagai bahan komparasi. Proses
check dan recheck temuan ini ialah dengan adanya pembuktian adanya dinamika psikologis citra diri negatif yang dialami mahasiswa
IAIN Tulungagung.
Keteralihan (transferability). Keteralihan
sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan
penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut, maka peneliti berusaha mencari
dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Dengan
demikian, peneliti berusaha untuk menyediakan data atau fakta empiris yang
mirip atau sama konteksnya, misalnya beberapa kasus yang dimuat dalam beberaapa
jurnal tentang beberapa hal yang dialami beberapa orang yang memiliki citra
diri negatif.
Kebergantungan (dependability), berupa audit yang
mengikuti langkah-langkah seperti pra-entri, penetapan yang dapat diaudit,
kesepakatan formal dan penentuan keabsahan data. Dalam konteks ini,
dependabilitas, dilakukan dengan cara tes-retes, atau mengecek ulang data yang
ditemukan peneliti dengan hasil kerja teman-teman dalam satu kelompoknya.
Kepastian (Confirmability), berupa audit kepastian.
Tahap ini merupakan tahap akhir dengan memberikan audit akhir pada proses yang
dilakukan yang terdiri dari pemeriksaan kembali data-data yang telah diperoleh,
mendiskusikan dengan auditi lain dan menyimpulkan secara keseluruhan. Secara jelas, objektivitas atau konfirmabilitas dalam
penelitian ini tidak hanya berupa meneliti kembali catatan lapangan, tetapi
peneliti juga mengkonfirmasi kepada subjek atau merujuk pada pemahaman Moleong
(2007), data divalidasi oleh orang yang menjadi subjek penelitian. Peneliti
juga melakukan tukar pikiran, baik informal maupun formal seperti diskusi atau
bahkan melalui seminar dengan pembimbing, yang peneliti anggap memiliki pengetahuan metodologis dan
teoritis secara akurat. Hal ini dilakukan setahap demi setahap, mengenai
konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Penelitian
Penelitian ini
berfokus pada identifikasi bagaimana dinamika psikologis yang dialami oleh
mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Pengamatan ini berkaitan dengan
bagaimana coping yang mereka gunakan untuk
menyelesaikan problem psikologisnya. Identifikasi selanjutnya adalah apa
saja yang mempengaruhi citra diri negative yang dialami oleh mahasiswa. Data
diperoleh melalui wawancara mendalam, serta dokumen-dokuman yang bisa
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Data yang telah diperoleh
kemudian ditranskrip, dicari serta dikategorisasikan pernyataan-pernyataan
penting dalam transkrip untuk kemudian dilakukan analisis.
1. Tempat dan Sumber
Data Penelitian
Proses
penelitian ini dilaksanakan satu kali pertemuan, pada hari Rabu, 30 Desember
2015. Waktu yang kami habiskan untuk wawancara yaitu selama 36 menit di
Sekretariat UKM Mapala Himalaya. Penelitian dilakukan dengan subyek penelitian
yang memenuhi purposivitas yang telah ditentukan oleh peneliti. Pelaksanaan
penelitian dilakukan oleh rekan kami yang mengenal dekat dengan subjek. Hal ini
dapat menambah informasi dari orang yang menjadi subjek penelitian kami.
Pada proses
penelitian ini terdapat tiga jenis sumber data yaitu subyek penelitian,
informan penelitian dan dokumen yaitu unwritten
document maupun written document
(Koentjoro, 2007).
Selanjutnya untuk melengkapi data yang telah diperoleh peneliti menggunakan
wawancara untuk memperolah informasi dari ketiga sumber data penelitian
tersebut. Hasil wawancara yang telah diperoleh kemudian dibuat verbatim
wawancara, melakukan pengkategorian pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan
penelitian serta melakukan analisis data. Hasil analisis yang kami lakukan akan
diperoleh beberapa makna yang terkait dengan tema penelitian, setelah itu akan
dapat menjawab dari pertanyaan penelitian.
2.
Cara Memperoleh Data
Data yang
diperolah dari subyek penelitian didapat dari hasil observasi, catatan
lapangan, dukumentasi serta wawancara yang mendalam. Kedekatan antara peneliti
dan subyek penelitian sangat ditentukan oleh rapport yang dibangun oleh peneliti, apabila pembangunan rapport dilakukan dengan baik maka
proses wawancara yang dilakukan akan berjalan dengan lancar serta tidak akan
mendapatkan kesulitan yang berarti. Subyek tidak akan merasa keberatan dengan
mengungkapkan apa yang dirasakan dan dialaminya serta mampu mengungkap fakta
yang sebenarnya dalam wilayah privasinya. Data yang mendalam tentang subjek
peneliti peroleh dengan melihat aktifitas subjek sehari-hari ketika kuliah.
B.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian
ini merupakan pemaparan dari wawancara mendalam, catatan lapangan, hasil observasi
dan dokumentasi yang dilakukan terhadap subyek penelitian. Data pendukung
lainnya diperoleh dari hasil diskusi dengan tim pedamping lapangan, dokumentasi
hasil pendampingan dan data-data yang mendukung untuk melengkapi hasil
penggalian data yang dilakukan oleh peneliti. Subyek penelitian adalah
mahasiswa IAIN Tulungagung yang memiliki citra diri negative. Adapun paparan
dari hasil penelitian atau temuan di lapangan secara sistematis diuraikan pada
bagian-bagian berikut ini.
1.
Subyek Penelitian
Subyek merupakan
anak pertama dari dua besaudara, adiknya
sedang bekerja di luar kota. Subyek saat ini tinggal di sebuah rumah bersama
ayahnya. Peneliti menilai bahwa kehidupan subjek berada pada kondisi kecukupan.
Ayahnya adalah seorang Securiti, dan ibunya bekerja di luar negeri sebagai
pelayan di Restoran. Sedangkan dalam keluarga, pembiayaan yang dikeluarkan
hanya untuk subjek, karena adiknya sudah memiliki penghasilan sendiri.
Subjek termasuk
anak yang penurut, hal ini terlihat dari usianya yang masih belia, akan tetapi
berusaha membantu pendapatan keluarganya. Subjek memilih untuk bekerja sejak
smp, hingga sekarang. Subjek merasa bahwa apa yang diberikan orang tuanya itu
tidak cukup.
Pekerjaan subjek
membutuhkan penampilan fisik yang menarik. Diusianya yang masih remaja awal,
dia belum memiliki konsep yang matang tentang diri yang sempurna. Sehingga,
berawal dari tuntutan pekerjaan, subjek merasa bahwa orang-orang disekitarnya
menerima subjek karena melihat dari kesempurnaan fisik subjek.
2.
Citra Diri Negatif
Seperti yang
telah dilampirkan dalam hasil wawancara, proses subjek mendapatkan konsep fisik
yang sempurna berawal dari tuntutan profesi yang pernah dilakukannya. Seiring
dengan perkembangannya, subjek semakin mengalami kecemasan dan ketakutan ketika
memiliki target untuk menjadi wanita yang sempurna. Pekerjaan subjek
mengharuskan agar subjek memiliki penampilan yang menarik, ataupun memiliki
penampilan yang menjual. Hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan yang
menjadi bagian kerjanya.
Selain melakukan
berbagai tindakan yang mengarah pada perbaikan fisik, subjek juga bergaul dengan lingkungan sosial
yang sangat mempedulikan penampilan. Subjek mengaku, bahwa teman-temannya
selalu menjadikan kesempurnaan penampilan sebagai hal yang paling diunggulkan.
Seperti yang telah dipaparkan subjek,
“…kalau dikampus
saya sering saingan dalam hal penampilan. Musuh saya kebanyakan malah dari
kakak tingkat, seperi keren-kerenan, cantik-cantikan, sayanya yang sering kalah
dalam hal penampilan.…. “
Setelah mengevaluasi
dari beberapa pernyataan subjek, hal-hal yang mempengaruhi subjek selain dari
lingkungan pergaulan yaitu jurusan perkuliahan yang diambil subjek sangat
menuntuk kesempurnaan penampilan. Bahkan, mereka juga diajarkan, bagaimana
caranya memiliki penampilan yang mampu menarik perhatian oranglain. Seperti
paparan dari subjek,
“…menurut saya penampilan itu nomer
satu. Karena dari orang-orang sekitar itu yang dilihat dari segi penampilan
dulu. Terutama orang-orang yang menilai orang lain dari segi penampilan.
Difakultas saya juga, seperti ada tuntutan untuk berpenampilan menarik,
sehingga diajarkan untuk berdandan. Kita juga diajarkan bagaimana menjual
penampilan,. Dalam ekonomi bisnis memang diajarkan bagaimana kita membuat orang
lain menjadi tertarik dengan kita. Jadi, masalah penampilan, saya rasa sudah
sesuai dengan jurusan saya.…”.
Keterangan
subyek tersebut diatas dapat diketahui bahwa subyek sangat teliti dalam hal
penampilan. Subjek cenderung memiliki target-target pencapaian terhadap
kepuasan ukuran kesempurnaan fisik ataupun penampilan.
3.
Faktor Penyebab Citra Diri Negatif
Berdasarkan
temuan data di lapangan dapat dijabarkan terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya citra diri negative. Adapun faktor-fakor yang
menyebabkan citra diri negatif yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a. Faktor
pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa yang
harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan anaknya.
Orang tua kedua subyek lebih memilih untuk mementingkan untuk mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarganya daripada harus memperhatika pertumbuhan,
perkembangan serta pergaulan anaknya.
b. Faktor
lingkungan pergaulan. Faktor ini juga yang menyebabkan terbentuknya citra diri
negative pada subyek. Lingkungan kerja yang pernah ditekuninya memberikan efek
yang negative terhadap pembentukan konsep diri subjek. Subjek memiliki citra
diri negative karena ketakutannya jika dirinya tidak diterima dalam lingkungan
pergaulan. Subjek melakukan apapun untuk mendapatkan kepuasan fisik yang
diinginkannya dan memiliki benyak relasi.
c. Faktor
pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku
mendapatkan ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan
relasi pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
jurusan yang diambilnya sekarang.
4. Dampak Psikologis
Dampak
psikologis yang dialami oleh subyek dalam penelitian ini bahwa subyek mengalami
ketakutan, kecemasan, memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya sendiri
dan orang disekitarnya, sering mendapatkan masalah dengan teman-teman
pergaulannya terutama teman kuliah,
serta sering mengalami gangguan konsentrasi. Adapun gambaran mengenai
dinamika psikologis akan dijelaskan dibawah ini.
a. Gangguan Kecemasan
Citra diri yang dialami subjek
dalam penelitian ini, subjek banyak mengalami perubahan terhadap pola hidup dan
perilaku sehari-harinya. Bentuk ganguan kecemasan yang ditunjukkan oleh ubyek
adalah subyek menjadi sosok yang memiliki ketakutan berlebih jika sedikit saja
ada orang yang ada disekitarnya sedang membicarakan kekurangannya. Hal itu
dapat terlihat dari perilaku subjek yang mengatakan bahwa sering adanya saingan
akan penampilan dengan kakak kelas, pengakuan bahwa dirinya sering kalah dengan
persaingan itu dengan perasaan tidak nyaman. Sebagaimana yang dituturkan oleh
subyek sebagai berikut:
“….Kalu menurut saya, mereka
menerima saya karena penampulan saya. Jadi saya merasa, saya harus tetap bisa
menyesuaikan penampilan saya dengan situasi dan kondisi….”
“….Ketika di kampus itu bosennya
pas pelajaran. Terutama pas pelajaran yang itung-itungan.….”
Selain adanya
gangguan kecemasan yang dialami subjek telah mempengaruhi keseharian. Subyek
juga sering mengalami gangguan belajar. Hal yang diinginkan subjek akan proses
belajarnya sekarang adalah yang penting mendapatkan ijasah kuliah, dan tidak
begitu memperdulikan hasil kuliah yang baik. Seperti pernyataan subjek,
“……Kalau orangtua saya tidak
terlalu memperhatikan bagaimana kuliah saya. Yang penting saya harus tetap
belajar, jadi tidak terlalu memperhitungkan nilai saya.yang saya harus
menyelesaikan S1 saya dalam waktu yang tepat, dan selanjutnya saya melanjutkan
S2,….”
Penjelasan subyek tersebut diatas,
citra diri negative yang dialami mahasiswa yang memiliki citra diri negative
menyumbangkan beberapa tekanan-tekanan
dari dalam diri subyek maupun kemungkinan tekanan-tekanan yang berasal dari
lingkungan sekitar subyek. Gangguan kecemasan yang muncul dari diri subjek
disebabkan karena adanya ketakutan-ketakutan yang sering hinggap dalam pikiran
subyek, sehingga subjek selalu melakukan segala cara untuk menghilangkan
kecemasan tersebut dengan berbagai cara.
b. Kepribadian
perfecsionis. Memberikan sumbangan yang besar terhadap munculnya citra diri
negaatif. Dampak yang paling banyak ditunjukkan oleh subyek seperti halnya,
keinginan untuk memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang serba sempurna. Hal
ini bukan hal yang mudah, karena jika suatu saat jika keinginan itu tidak
berhasil dilakukannya, maka muncul cemas yang hebat, bahkan depresi menjadi
dampak yang paling serius.
“…Kalau saya pribadi, saya kan
gendut, jadi saya pengen merubah penampilan menjadi cewek langsing…”
“…Kalau saya pribadi, saya lebih
suka cantik dengan berdandan dan dengan penampilan yang wah, tapi ada beberapa
orang yang menganggap cantik itu dengan yang natural saja…”
Subyek
memberikan keterangan-keterangan yang sangat jelas tentang prioritas utama
dalam hal kesempurnaan dirinya adalah dalam hal kesempurnaan fisik. Citra diri
negative sangat erat kaitanya dengan kepribadian yang menginginkan segala hal
bagi dirinya harus serba sempurna.
C.
Pembahasan
1. Citra Diri Negative dan Kecemasan
Menurut Honigman dan Castle, body
image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan
ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian
atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan
bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.
Dalam penelitian ini, konsep tubuh
ideal diartikan sebagai bentuk dan ukuran tubuh yang dinilai sempurna dan
paling diinginkan oleh seseorang. Sama halnya dengan citra tubuh, konsep
keidealan tubuh juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi dan budaya yang
sangat bervariasi (Brown dan Konner, 1987).
Sejak lahir individu
mengeksplorasikan bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya dan menerima stimulus orang lain. Pandangan realistis terhadap diri,
menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari rasa
cemas dan menigkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu terhadap
tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis. Persepsi orang lain
dilingkungan pasien terhadap tubuh pasien turut mempengaruhi penerimaan pasien
pada dirinya (Keliat, 1998).
Ketidakpuasan seseorang terhadap
tubuhnya bisa muncul karena orang tersebut telah memiliki konsep tubuh ideal
dalam pikirannya, namun dia merasa bahwa tubuhnya sendiri tidak atau
belum memenuhi kriteria
tubuh ideal tersebut
(Cash dan Szymansk,
1995 dalam Grogan, 2008).
Ukuran dan
bentuk tubuh menjadi
sesuatu yang penting,
terutama jika dihubungkan dengan penampilan.
Menurut para mahasiswi,
ukuran dan bentuk
tubuh yang ideal
sangat menunjang penampilan. Wanita dengan bentuk tubuh yang ideal
dinilai lebih menarik, salah satu alasannya
karena bisa menggunakan
berbagai macam jenis
dan model pakaian
sesuai dengan yang mereka
inginkan.
Karena merasa
tubuhnya masih belum
ideal, para mahasiswi
pun sering merasa
kurang percaya diri. Mereka suka menutupi atau menyamarkan bagian-bagian
tubuh yang tidak mereka sukai,
biasanya dengan cara
menggunakan pakaian tertentu
yang dapat menyembunyikan “kekurangan” fisiknya.
Mereka yang merasa
bertubuh gemuk terpaksa
harus menggunakan pakaian yang
tidak terlalu menonjolkan lemak-lemak di tubuhnya.
Begitu pula
dengan mereka yang
merasa terlalu kurus,
berusaha menggunakan pakaian yang
dapat membuat tubuh
mereka nampak lebih
berisi dan berlekuk,
serta menyembunyikan tulang-tulang
yang nampak menonjol. Padahal, sebenarnya mereka ingin menggunakan berbagai
macam model pakaian
dan tidak perlu
khawatir akan terlihat
jelek atau aneh
ketika sedang memakainya.
Untuk tampil
lebih percaya diri,
para mahasiswi juga
menggunakan beberapa cara
lain, misalnya dengan menonjolkan bagian-bagian tubuh yang mereka sukai,
memakai kosmetik, atau aksesoris tambahan. Namun, ada pula beberapa dari mereka
yang lebih suka tampil apa adanya dan
lebih memperhatikan penampilan
hanya di waktu-waktu
tertentu saja. Menurut
mereka, menjaga penampilan itu
penting untuk membuat
kesan yang baik
di mata orang
lain. Mereka tidak ingin orang
lain memberi penilaian yang buruk atau salah tentang diri mereka hanya karena
melihat penampilan luar.
Berbicara
tentang pendapat orang lain, memang inilah yang menjadi faktor pemicu utama
mengapa para mahasiswi ingin mempunyai tubuh yang ideal. Pikiran, pendapat, dan
perlakuan dari orang lain
terhadap diri mereka
mempengaruhi penilaian mereka
terhadap diri sendiri.\
2. Faktor Penyebab Citra Diri Negatif
Kepercayaan diri oleh sebagian orang mereka dapatkan
karena memiliki ukuran fisik yang sempurna. Citra diri yang negative, merupakan
penyebab kurangnya kepercayaan diri. Citra
tubuh lebih sering
dikaitkan dengan wanita
daripada pria karena
wanita cenderung lebih
memperhatikan penampilannya (Mappiare, 1982). Perubahan-perubahan fisik yang
dialami oleh wanita, terutama
pada masa remaja,
menghasilkan persepsi yang
berubah-ubah mengenai citra
tubuh, namun hampir selalu bersifat negatif dan menunjukkan penolakan terhadap
fisiknya
Hal-hal
yang menyebabkan remaja
putri tidak menerima
keadaaan fisiknya antara lain:
tinggi badan, berat
badan, warna kulit,
bentuk susunan gigi,
jenis rambut, dan jerawat. Berdasarkan temuan data di
lapangan dapat dijabarkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
citra diri negative. Adapun faktor-fakor yang menyebabkan citra diri negatif yang
dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a. Faktor
pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa yang
harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan anaknya.
Orang tua kedua subyek lebih memilih untuk mementingkan untuk mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarganya daripada harus memperhatika pertumbuhan,
perkembangan serta pergaulan anaknya.
b. Faktor
lingkungan pergaulan. Faktor ini juga yang menyebabkan terbentuknya citra diri
negative pada subyek. Lingkungan kerja yang pernah ditekuninya memberikan efek
yang negative terhadap pembentukan konsep diri subjek. Subjek memiliki citra
diri negative karena ketakutannya jika dirinya tidak diterima dalam lingkungan
pergaulan. Subjek melakukan apapun untuk mendapatkan kepuasan fisik yang
diinginkannya dan memiliki benyak relasi.
c.
Faktor
pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku
mendapatkan ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan
relasi pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
jurusan yang diambilnya sekarang.
3.
Kepribadian Citra Diri Negatif
Kepribadian menurut
GW. Allport adalah
suatu organisasi yang dinamis
dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu
secara khas. Tingkah laku subyek
dilatarbelakangi oleh pemikiran subyek. Dari wawancara yang telah peneliti
lakukan, pemikiran subyek terbentuk karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
subyek. Misalnya saja pada usia perkembangannya saat remaja, subyek diharuskan
untuk memiliki penampilan yang menarik ketika berada dalam lingkungan kerja.
Lingkungan kerja subyek memberikan pengaruh besar terhadap pengaruh
perkembangan pemikiran subyek selanjutnya.
Seperti halnya pemikiran subyek
yang menginginkan jika dirinya belum tenang jika berat badannya belum mencapai
target ideal. Selain itu, pemakaian kosmetik pemutih wajah, make over wajah
juga menjadi peralatan wajib setiap harinya. Perilaku subyek mengarah pada
keinginan untuk menjadi diri yang sempurna. Pribadi sempurna yang dimaksud
disini adalah diri perfectionis atau terciptanya target-target yang harus
dipenuhi sebagai penunjang `memiliki penampilan yang menarik.
Schneiders (1984) mengemukakan
bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon
mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi
kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya.
Keinginan subyek akan kemampuan
untuk menyesuaikan diri merupakan hal yang terpenting dalam kehidupannya. Untuk
itu, dengan diri yang sempurna subyek berfikir akan lebih mudah dalam
menyesuaikan diri dan diterima baik dalam relasi sosialnya. Penyesuaian diri
menjadi sumber utama kecemasan-kecemasan dan ketegangan psikologis subyek.
4. Dinamika Psikologis Citra Diri
Negatif
Persepsi
negative terhadap tubuh membuat wanita tidak bisa menghargai diri mereka
sendiri. Wanita yang fokus hanya fokus pada tubuhnya tidak akan mampu
menggunakan energinya untuk aspek lain dalam hidupnya. Usaha yang terus menerus
untuk mencapai tubuh yang ideal bisa menimbulkan obsesi terhadap makanan.
Selain itu, timbul masalah psikologis lainnya, seperti mudah marah, merasa
gagal dan inferior, masalah ingatan,
kecemasan, dan gangguan penyesuaian (Barnard, 1992).
Obsesi
untuk mempercantik diri merupakan aktifitas yang sering menibukkan subyek.
Bisnisnya dalam bidang kecantikan telah mendrong subyek untuk tetap terlihat
cantik, sebagai cara untuk menarik peminat. Kegiatan subyek tersebut berdampak
pada belajar subyek dalam kuliah. Seperti kesulitan focus dalam belajar
dikelas, beberapa teman yang menaruh citra buruk terhadap subyek juga sering
dialami subyek. Adapun secara singkat mengenai gambaran
dinamika psikologis pada subyek pertama dapat dilihat dalam bagan gambar
berikut ini:
Citra diri yang
dialami subyek berawal dari masa remaja. Hal itu dimulai dengan pembentukan
kensep diri yang sempurna yang kurang tepat. Subyek bekerja disebuah diskotik,
yang mengharuskan dirinya untuk berpenampilan menarik. Lingkungan keluarga juga
berperan sedikit dalam membimbing perkembangan subyek. Lingkungan keluarga yang
kurang berperan aktif, citra diri itu mulai berlanjut ketika subyek menjadi
mahasiswa. Sesuai jurusan yang diambilnya, begitu mengutamakan penampilan yang
menarik sebagai penunjang kesuksesan karirnya nanti. Selain itu, subyek juga
bergaul dengan teman-teman yang tidak ketinggalan dengan trend mode busana dan
penampilan.
Beberapa dampak
yang diakibatkan karena citra diri negative yaitu munculnya ketakutan-ketakutan
yang berasal dari fikiran subyek. Misalnya ketakutan akan kenaikan berat badan,
sehingga melakukan beberapa cara untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan akan
dilakukan oleh subyek. Ketakutan jika dirinya tidak diterima dalam relasi
sosial juga memberikan sumbangan terhadap bertambahnya ketakutan.
Anggapan yang
negative terhadap diri subyek merupakan asal muasal munculnya ketakutan.
Enggapan negative sangat berperan terhadap perilaku subjek dan menjadikan
subjek kesulitan menerima pelajaran. Subjek terlalu menyibukkan diri untuk
memperbaiki penampilan dan mengesampingkan perkuliahan. Secara tidak langsung,
subyek merasa tertekan dengan kondisinya yang semakin mengacaukan fikiran.
Kesulitan dalam meminimalisir tekanan sering dirasakan subyek. Jika hal itu
terus menerus terjadi, maka akan terbentuk kepercayaan yang negative terhadap
diri sendiri. Beberapa coping menjadi cara yang dapat mengurangi tekana-tekanan
dalam diri subyek. Menjadi lebih percaya diri, dan relasi yang subyek bangun
akan memberikan dukungan untuk mempertahankan rasa percaya diri itu.
5. Strategi
Coping Citra Diri Negative
Lazarus mendefinisikan
coping sebagai suatu cara individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang
dialami baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan.
Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang
menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping sebagaimana yang dijelaskan
oleh Taylor, (1995) bahwa kadang-kadang Problem Focused Coping dan
Emotional Focuseds Coping yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman
(1984) dapat terjadi secara bersamaan ketika menghadapi situasi yang dirasa
menekan.
Strategi pengatasan masalah juga digambarkan sebagai
cara seseorang mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan, sehingga ia harus
melakukan penyeimbangan dalam usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan (Sarafino 1990).
Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditmbulkan oleh suatu kondisi
atau situasi yang penuh tekanan. Dampak yang diakibatkan citra diri negative
pada diri subyek sangat mengganggu kondisi emosionalnya. Memperbanyak relasi
merupakan cara terbaik untuk subyek untuk mengatur kondisi emosionalnya. Selain
untuk mengurangi ketegangan dan ketakutan, relasi subyek dengan teman-teman
subyek akan menumbuhkan rasa percaya diri dari diri subyek.
Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk
menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan kecemasan. Hal ini dapa
dilihat pada strategi coping merupakan cara yang dipakai subyek untuk
menghilngkan kecemasan.
Jadi, pada penelitian ini subjek
menggunakan strategi coping yang lebih focus pada mencari penyelesaian dari masalah
juga strategi coping yang lebih mengarah pada usaha untuk mengurangi ketegangan
emosionalnya.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hasil penelitian
dan pembahasan terhadap citra diri
negative yang dialami oleh mahasiswa merupakan sebagai kejadian menekan.
Karakteristik kepribadian korban, dukungan sosial yang didapatkan dan strategi
pengatasan masalah yang digunakan serta dampak psikologis dan dinamika
psikologis pada mahasiswa yang memiliki citra diri negatif, dapat dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor
yang menyebabkan munculnya citra diri negated dalam penelitian ini adalah: (a)
Faktor pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa
yang harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan
anaknya. (b) Faktor lingkungan pergaulan. Lingkungan kerja yang pernah
ditekuninya memberikan efek yang negative terhadap pembentukan konsep diri
subjek. dan (c) Faktor pendidikan.
Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku mendapatkan
ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan relasi
pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang
diambilnya sekarang.
2. Dampak
psikologis yang dihadapi memiliki kepribadian yang menginginkan segala sesuatu
harus perfecsionis. Upaya mengatasi masalah, cara memanipulasi kognisi, serta
dukungan sosial memberikan dampak pada bertambahnya rasa percaya diri.
3. Adapun
dinamika psikologis subyek apabila tidak memiliki relasi sosial yang baik,
subyek memiliki berbagai pandangan negatif terhadap dirinya. Subyek merasa
rendah diri, tidak diterima lagi dalam lingkungan pergaulan. Pikiran-pikiran
negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam
sistem kognisi subyek. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial
dari relasi sosialnya, membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang
dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah dimiliki ini, kemudian
menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih percaya diri dalam menjalankan
aktifitas sehari-harinya.
B.
Saran
Berdasarkan
kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dapat diajukan
beberapa saran sebagai berikut :
1.
Bagi Subjek
Bagi subyek
penelitian diharapkan untuk lebih membiasakan diri berfikir posotif terhadap
diri sendiri. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan
pemahaman kepada diri sendiri tentang kesempurnaan fisik yang menjadikan
penampilan menarik itu bukan segalanya. Penampilan memang penting, akan tetapi
akan lebih sempurna apabila wanita itu
menjadi wanita yang cerdas secara spiritual, emosional dan intelektual.
2.
Bagi Orang Tua
Citra diri
negative memang kemungkinan besar pernah dirasakan siapapun, terutama wanita.
Peneliti menyarankan kepada orang tua agar selalu memperhatikan anaknya
mengingat pergaulan sekarang ini sudah tidak bisa diandalkan lagi. Anak bisa
dengan leluasanya mengikuti perkembangan jaman tanpa mengindahkan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Mengikuti trend penampilan bukan masalah, akan
tetapi harus lebih teliti lagi apakah penampilan yang diikuti sesuai dengan
tatanan dalam agama ataukah bukan.
Perhatian orang
tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam proses
meminimalisir terhadap kecemasan-kecemasan yang dialami anak. Penelitian ini
menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima
oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi menekan. Penanaman dan pemahaman
agama yang tepat merupakan alternative terbaik yang dapat membentuk keribadian
agamis pada anak.
3.
Bagi Penelitian Selanjutnya
Pelaksanaan
penelitian kualitatif yang memakan waktu lama memerlukan ketekunan, kesabaran,
dan kemampuan peneliti untuk menjaga mood atau suasana hati subyek penelitian.
Hal ini berfungsi untuk melakukan pengalian data yang dalam sehingga akan
menghasilkan data yang valid dan mendalam, oleh sebab itu peneliti seharusnya
membangun kepercayaan subyek penelitian dengan baik.
Bagi peneliti
mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik
dari segi etnografi maupun biopsikososial. Hal tersebut dikarenakan peneliti
dengan metode kualitatif tentunya masih memiliki banyak kekurangan yang
disebabkan oleh terbatasnya waktu untuk melakukan penggalian data yang mendalam
tentang dampak dan dinamika psikologis subyek penelitian.
Apabila
penelitian dilakukan secara berkelompok, lebih membutuhkan kebersamaan dan
kerja antar tim yang baik. Komunikasi
dan kerjasama antar tim menjadi hal utama yang harus diperhatikan demi
terselesaikannya penelitian. Konflik dan kesalah fahaman menjadi hal yang
wajar, untuk itu bagaimana sikap peneliti untuk menyelesaikan konflik dan
perbedaan menjadi hal yang harus diperhatikan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar