MAKALAH
Pembentukan
Aliran-Aliran Mistisisme
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Mehdzab-Mahdzab
Tasawuf”
Dosen Pengampu:
Ahmad Sauqi, S.Ag m.Pd.I
Disusun
Oleh:
AMIDANA HIKMAH (2833133005
)
USHULUDDIN
TASAWUF
PSIKOTERAPI
INSTITUTE AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2014/2015
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
memberi kesempatan bagi kami untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Semoga
shalawat dan salam tetap tercurah
limpahkan kepada junjungan kita
Nabi agung Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam islamiyah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami selaku penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bpk
Dr. Maftukhin, M. Ag., selaku kepala IAIN TULUNGAGUNG, yang telah memberikan
ruang gerak bagi kami, dan juga dukungan moral.
2. Ahmad Fauzan M.Ag.M.Pd.I selaku
dosen pembimbing mata kuliah Mahdzab-Mahdzab tasawuf
3. Teman-teman
mahasiswa yang telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Kami
hanya sekedar mengalami proses pembelajaran sebagai mahasiswa yang ingin
mendapatkan ilmu seluas-luasnya, maka kritik, saran serta masukan, kami terima dengan
ikhlas dan lapang dada, meskipun
tidak tertutup kemungkinan masih terdapat kekurangan dan kekeliruan.
Terlepas dari kekurangan itu mudah mudahan kerja keras
yang telah kami lakukan dapat menuai sedikit pengetahuan serta manfaatnya.
Tulungagung, 29 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang............................................................................ 1
b. Rumusan
Masalah....................................................................... 1
c. Tujuan
Penulisan........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
a.
Sejarah Terbentuknya Aliran-Aliran
Mistisisme...................... 3
b.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme................................................................................. 7
c.
Aliran-Aliran Mistisisme.......................................................... 9
BAB III PENUTUP
a.
Kesimpulan................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................10
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Mistisisme merupakan faham yang berhubungan dengan
hal-hal gaib, sesuatu yang abstrak. Mistisisme berasal dari kata Mistis /
ghaib. Dalam literature islam, dikenal dengan sebutan Tasawuf. Mereka yang
mendalami Tasawuf dinamakan kaum Sufi. Penjelasan mengenai Tasawuf tidak dijelaskan secara pasti dan mendetail.
Alasanya, Tasawuf merupakan perjalanan rohani seseorang menuju Tuhannya, yang
dilakukan dengan bermacam-macam cara. Seperti melalui pengetahuan intuisi,
latihan-latihan (riyadlah), kontemplasi, perjuangan (mujahadah),
dan masih banyak lagi tahapannya. Tahapan atau stasion ini sangat khas
dan terdapat persamaan dan perbedaan antara sufi yang satu dengan yang lain.
Untuk itulah Tasawuf bisa dimengerti oleh mereka
yang memperoleh pengetahuan batin, dan berhubungan langsung dengan Tuhan.
Kemunculan Tasawuf diawali oleh satu tokoh, yang kemudian diikuti oleh
tokoh-tokoh lain. Antar tokohpun tidak sama dalam memperoleh pengalaman
spiritual. Akan tetapi mereka mempunyai
satu tujuan yang sama yaitu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan
kedekatannnya dengan Tuhan.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah terbentuknya aliran-aliran Mistisisme?
2. Apa
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya aliran-aliran Mistisisme?
3. Apa
saja aliran-aliran Mistisisme?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui sejarah terbentuknya aliran-aliran Mistisisme
2. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya aliran-aliran
Mistisisme
3. Untuk
mengetahui contoh aliran-aliran Mistisisme.
BAB II
Pembahasan
A. Sejarah
Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme
Mistisisme
adalah metode tertentu dalam penghampiran kepada realitas (haqiqah sebuah terma
khusus sufisme yang lain), dengan memanfaatkan fakultas-fakultas spiritual
intuitif dan emosional yang umumnya tidak aktif dan terpendam kecuali bila
terimbau untuk aktif melalui pelatian dibawah bimbingan. Pelatihan ini, yang
dipandang sebagai penempuhan jalan (salak ath-thariq) bertujuan menyingkapkan
tabir yang menyembunyikan diri dari yang real, dengan demikian menjadi tertransformasi
atau terserap kedalam unitas yang tidak dapat dibandingkan.[1]
Pada
masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal/am, kehidupan spiritual yang
dipraktekkan kaum Muslimin tidak disebut tasawuf dan orang yang mengamalkannya
tidak disebut sufi. Karena, mereka ketika itu disebut “sahabat”, dan
sebutan “sahabat Rasulullah” dianggap sebagai sebutan yang paling mulia. Hal
yang sama juga terjadi pada masa tabi’in. Sebutan “tabiin” (pengikut para
sahabat) adalah sebutan yang paling mulia bagi mereka.
Al-Qusyairi
mengatakan, “Tokoh-tokoh masyarakat muslim setelah Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sal/am wafat tidak mempunyai panggilan (gelar) khusus selain
“sahabat Rasulullah”, karena tidak adalah panggilan yang lebih utama daripada
panggilan ini. Mereka itu selanjutnya disebut “sahabat”. Pada masa sesudah itu,
orang yang menjadi sahabat para sahabat Rasulullah Sha/lallahu Alaihi wa
Sal/am disebut sebagai “tabi’in”. Mereka menganggap panggilan tersebut
sebagai panggilan yang paling luhur. Orang yang hidup setelah masa tabi’in pun
kemudian disebut sebagai “tabiit tabi’in” (pengikut para tabi’in). Kemudian
zaman pun berganti dan derajat orang pun menjadi berbeda. Orang khusus dan yang
menekuni masalah agama kemudian disebut zahid (orang yang zuhud) dan abid
(orang yang banyak ibadahnya). Selanjutnya muncullah bidah-bid’ah dan
klaim-klaim suci dan setiap kelompok. Setiap kelompok mengklaim mempunyai orang
zahid. Maka sekelompok Ahlussunnah yang senantiasa mendekatkan din pada Allah
dan menjaga hati dan kelalaian mengkhususnya diri dengan sebutan sufi. Sebutan
ini mulai dikenal di kalangan orang-orang besar tersebut sebelum abad ke-2
Hijriyah.”[2]
1)
Masa pembentukan tasawuf
Masa
pembentukan tasawuf berjalan sekitar abad I - II Hijriyah, yang oleh Taftazani
disebut sebagai fase zuhud (eskatisme) dengan ditandai munculnya
individu-individu yang memusatkan dirinya pada kehidupan akhirat. Mereka
menekankan pentingnya peribadahan dengan konsepsi asketis dalam kehidupan yang
dijalani dengan tidak mementingkan makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
Pada
abad-abad ini tokoh-tokoh spiritualis Islam yang terkemuka menjadi sandaran dan
pusat pembelajaran untuk menempuh jalan menuju pengetahuan dan hubungan dengan
Tuhan. Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufisme terkenal,
mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan, tetapi tidak terikat oleh
tali upacara tapabrata atau baiat apapun. Proses pembelajaran tasawuf berjalan
sangar longgar dan mobii; para peziarah melaksanakan perjalanan jauh mencari
guru-guru dan akhirnya pondasi-pondasi yang berfungsi sebagai pusat-pusat bagi
para musyafir ini muncul dalam bentuk tempat-tempat perkumpulan. Di kawasan-kawasan
Arab dikenal pondok-pondok yang disebut Ribath, yang di Khurasan dikaitkan
dengan rumah-rumah peristirahatan (khanaqah), sementara yang lain adalah
tempat pengucilan diri (khalwah atau zawiyyah) seorang pembimbing
spiritual. Kesemuanya ini mengandung maksud biara sufi.
Ribath` yang awal
didirikan di Pulau 'Abadan di teluk Persia oleh ‘Abd al-Wahid ibn Zaid (w.177/793).
Sejumlah ribath yang lain didirikan di dekat Bizantium dan di Afrika Utara.
Pusat-pusat untuk orang-orang shaleh didirikan di Damaskus sekitar tahun
150/767, di Ramlah Ibukota Palestina, yang didirikan oleh seorang amir Kristen
sebelum 800 M., di Khurasan kurang lebih pada waktu yang sama, sementara muncul
di Alexandria suatu organisasi (tha'ifah) yang menyebut dirinya ash-shufiyya’
pada tahun 200 H.
Maraknya
pertumbuhan pusat-pusat tasawuf di antaranya adalah faktor perpindahan pusat
kekuasaan dari Syam ke Irak dan Bagdad yang merupakan pusat-pusat ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani, selain juga karena semakin luasnya jangkauan
wilayah Islam, semakin lekat persentuhannya dengan tradisi dan agama agama
lain.
2)
Masa Pengembangan Tasawuf
Masa
Pengembangan Tasawuf dilalui dalam kurun waktu abad III dan IV Hijriyah
ditandai dengan beralihnya asketisme Islam kepada pola tasawuf (sufisme), mulai
muncul dan berkembang ilmu tasawuf yang semula hanya pengetahuan praktis dan
semacam langgam keagamaan menjadi konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.
Terlebih pada masa tersebut dunia Islam tengah dibanjiri berbagai khazanah
filsafat Yunani yang diterjemahkan dan menjadi bacaan umum di masyarakat Muslim
serta penulisan bukubuku ilmiah. Selain itu juga pada masa ini gerakan Syiah
(daulah Fathimiyyah) dan daulah Buwaihi di Persia adalah wilayah yang lekat
dengan pandangan mistisisme tradisional, dan hal ini menambah semarak
perkembangan tasawuf. Pertentangan para mutakallimin (teolog) dengan
pandangan-pandangan teologinya yang sistematis, nampaknya juga memicu kaum sufi
menteoritisasikan ajaran-ajaran tasawuf mereka.
Pada
abad-abad tersebut muncullah 2 corak tasawuf, yakni pertama, aliran tasawuf
sunni yaitu aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat dengan
selalu berlandaskan pada syari'ah dengan rujukan Al-Qur'an dan As-Sunah.
Dimulai dengan Junayd al-Baghdadi (w. 297 H) yang meletakkan dasar-dasar ajaran
tasawuf dan tharekat, cara mengajar dan belajar tasawuf, syekh, mursyid,
murid dan murid, sehingga ia digelari Syekh al-Thaifah (ketua rombongan
suci). Coraknya lebih Sunni, kompromistis dengan kelompok formalis, dan
didasarkan pada ketidakmabukkan yang karenanya corak inilah yang dianggap
paling aman. Corak kedua, aliran tasawuf “semi” falsafi yaitu
aliran para sufi yang telah terpesona oleh keadaan-keadaan. fana' dengan
syathahat, dan di antaranya menunjukkan kecenderungan metafisis.
Tokohnya adalah Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H) yang pertama memperkenalkan
doktrin fana', yang mewakili corak falsafi dengan ciri ghalabah (ekstase),
illuminatif, dar sukr (mabuk).
Tasawuf yang
semula hanyalah praktek-praktek individual dalam pencapaian hubungan dengan
Tuhan, pada masa ini menjadi lebih jelas bentuknya oleh karena upaya
teoritisasi ajaran-ajaran tasawuf terutama. oleh tasawuf semi-falsafi, maupun
sistem hubungan antara guru dan murid, sebagaimana yang dilakukan oleh Junayd
al-Baghdadi.
3)
Masa Konsolidasi Tasawuf
Masa
konsolidasi tasawuf berada pada abad V H. / XI M., dimana dua aliran
tasawuf pada masa sebelumnya saling bertentangan yang akhirnya dimenangkan oleh
tasawuf Sunni. Kelompok ini terdukung oleh dominasi aliran teologi Ahl
Sunnah wal Jama'ah sang dipelopori Abu Hasan al-Asy'ary (w. 324 H) dan
keras melakukan kritik terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Busthami, dan
al-Hallaj atas ungkapannya maupun penyimpangan lainnya. Oleh karena itu corak
tasawuf pada fase ini cenderung mengalami pembaharuan dengan mengembalikan pada
landasan al-Qur’an dan as-Sunah, yang menurut Annemarie Schimmel disebut
periode konsolidasi. Hal ini dapat dipahami karena setting politik pada waktu
itu dipegang oleh al Mutawakil (memerintah 232-247 H/ 847-861 M) dari Daulah
Abbasiyah yang menjadikan. "Aswaja" sebagai ideologi negara.
Pada
abad-abad ini, tempat-tempat berkumpulnya para sufi yang membentuk kelompok
dengan karakter berlainan tumbuh semakin banyak, di antaranya berkat al-Ghazali
(450-505 H) yang memadukan syari’ah dan tasawuf melalui jalur Ahl Sunah wal
Jama'ah sehingga benar-benar bercorak Islam dan menjadikan tasawuf dapat
diterima secara lebih luas. Meskipun demikian mereka masih mempertahankan
karakter mereka sebagai kumpulan-kumpulan individu yang menempuh jalan mereka
sendiri, sesungguhpun mereka dikaitkan dengan dan mencari bimbingan dari orang-orang
yang berpengalaman dan menundukkan diri mereka kepada bimbingan-bimbingan
seperti itu. Aturan-aturan persahabatan (shuhbah) sufi semacam itu pada
akhirnya menjadi kewajiban religius, dan menjadi dasar pembentukan tharekat
pada abad-abad setelahnya.
4)
Masa Pembentukan Tharekat
Masa
pembentukan tharekat pada abad VI H, posisi tasawuf sunni semakin
menguat. Meskipun pada masa ini pula tasawuf falsafi kembali muncul dengan
mengkompromikan makna term-term filsafat dengan tasawuf, semisal tokohnya
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi (w. 638) dengan konsep ‘Wahdat al-Wujud, Syihabuddin
Surahwardi al-Maqtul (yang terbunuh) (w. 581/590 H) dengan teori Isyraqivah
(pancaran, illuminasi), dan sebagainya. Maraknya pusat-pusat sufi ini dapat
dipahami dengan melihat setting politik pemerintahan Bani Seljuq saat itu, yang
merupakan pendukung sunnah dan memusuhi kelompok Syi'ah. Pusat-pusat tasawuf
pada akhirnya membentuk sistem persahabatan yang khas dan mulailah hubungan
mursyid dan murid dalam menempuh jalan spiritual (thariq) menjadi baku.
Pada masa
sebelum ini kata tharekat, Thariq berarti jalan atau cara pendidikan
akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Namun setelah abad V-VI
H/11 M. tharekat mempunyai pengertian suatu gerakan yang lengkap untuk
memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada segolongan kaum muslimin
menurut ajaran dan keyakinan tertentu.[37]
Dalam kasus ini sekelompok atau sejumlah sufi yang bergabung dengan seorang guru
(syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan rohaniah yang
hidup secara kolektif di berbagai zawiyah, rabath. dan khanaqah,
atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, sera mengadakan
berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniah yang teratur.
Misalnya di
Syiraz, kelompok Sufi menampilkan dzikir (yukabir) di dalam
masjid-masjid mereka setelah shalat Jumat dan melantunkan shalawat atas Nabi
Saw. dari atas mimbar. Bahkan suatu gerakan yang terorganisasi, Karramiyyah
pada jaman itu (sekitar 975 M) sangat efektif, dengan mempunyai khanaqah
di seluruh Asia Islam, dan tampaknya dari merekalah kaum sufi membangun cistern
khanaqah.
Demikian
juga dengan terjadinya perubahan sikap kaum legalis Islam yang semula memusuhi
sufisme, menjadi mengintegrasikan sufisme dengan kaidah formal agama. Hal ini
telah diawali oleh al-Sulami, al-Qusyairi, dan al-Ghazali tentang gagasan
kebutuhan-kebutuhan religius selain ritual yang disucikan dan ditetapkan oleh
hukum. Hal-hal ini semakin memantapkan corak tasawuf sunni Dan demi mengawasi
"jalan" komunikasi dengan Tuhan yang tidak tersesat, maka keberadaan
kelompok-kelompok sufi dengan seorang guru yang telah terkenal 'alim,
memiliki hubungan dengan ortodoksi dan menjamin penerimaan atas hukum dan
praktek ritual Islam. menjadi lebih dapat diterima.Sementara
itu pergolakan penaklukan Mongol atas Baghdad tahun 1258 yang dibarengi dengan
migrasi besar-besaran kaum sufi yang dengannya telah menjadi gerakan pedesaan
dan perkotaan sekaligus.
Pada
masa-masa inilah pertumbuhan tharekat mengalami era keemasannya. Di antara
tharekat tersebut adalah Tharekat Suhrawardiyah yang dibangun oleh Diiva' al-din
abu Najib al-Surahwardi (1097-1168 M) yang kemudian dilanjutkan Shihabuddin
Suhrawardi az-Zanjani (w. 630 H). Tharekat Rifa'iyyah oleh Ahmad ibn 'Ali
al-Rifa'i (1106-1182). Tharekat Qadiriyah oleh Abd al-Qadir Jilani (1077-1166
M). Ketiganya berada di wilayah Mesopotania. Tharekat Mawlawiyah didirikan oleh
Jalal ad-Din Rumi yang bergelar Mawlana. Tharekat Naqsyabandiyah yang
namanya dinisbatkan pada sebutan tokoh besar tharekat ini Kwaja Baha' al-Din
Muhammad bin Muhammad (1318-1389). Keduanya dari wilayah Turki. Bahkan di Asia
Timur (India) muncul tharekat Chisytiyyah oleh Mu'in al-Din Hasan Chisyti
(lahir di Sijistan 537/1142) dan Suhrawardiyyah India dengan tokohnya Nur
al-Din Mubarok Ghaznawi, seorang murid dari Syihab al-Din al-Suhrawardi, dan
masih banyak lagi tharekat yang lain .
B.
Faktor yang
Mempengaruhi Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme
Para sufi
yang meinginkan kemanunggalan dengan Tuhan sebagai tujuan utamanya. Mereka
melakukan berbagai ritual yang biasa dilakukan para Sufi sebagai penyucian
diri. Ritual itu dilakukan melalui tahapan-tahapan atau “maqamat” yang nantinya
berkaitan dengan kondisi psikologis yang disebut keadaan “ahwal”. Jika semua
sudah tercapai maka pengetahuan tentang Tuhan diperoleh. Semua itu dilakukan
melalui para guru yang sudah mempunyai pengalaman spiritual. Sebagaimana yang
dikemukakan J.Speener Timingham, Alirana-aliran itu muncul sebagai bentuk
metode gradual Mistisisme kontemplatif dan pelepasan diri. Sekelompok murid
berkumpul mengelilingi seorang guru Sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui
persatuan dan kebersamaan yang awalnya belum mengenal ucapan spesifik dan
prosesi baiat apapun.
Peralihan
Tasawuf dari yang bersifat personal, kepada tarekat yang bersifat melembaga
tidak terlepas dari perkembangan Tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruhnya,
semakin banyak pula orang yang memiliki pengetahuan yang dapat menuntun mereka.
Belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan
pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharusan.
Seorang guru biasanya menformulasikan suatu system pengajaran yang kemudian
menjadi ciri khas dan yang membedakannya dengan tarekat lain.
Karena
banyaknya cabang tarekat yang timbul dari setiap induk, sulit untuk menelusuri
sejarah perkembangan tarekat itu secara sistematis dan konseptual. Akan tetapi
yang jelas cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu
tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan
baru sebagai perluasan ilmu dari ilmu
yang diperolehnya. Alumni tadi menunggalkan ribath gurunya dan mendirikan
ribath baru. Jadi, dari ribat induk, muncul ribath cabang, lalu ribath ranting
dan seterusnya. Namun, kesemua ribath-ribath itu tetap mempunyai ikatan
kerohanian, ketaatan dan awal-awal yang sama.
Menurut John
Obert Voll, tarekat semakin besar dan bermunculan setelah kekuasaan Turki
menyebar kemana-mana. Tarekat menjadi lambang dan gerakan rakyat secara
diam-diam terhadap kekuasaan Turki sendiri, juga Mekah, Mesir, India, dan
Indonesia. [3]
C.
Aliran-Aliran
Mistisisme
Tarekat
Bekhtasiyyah diidentikkan dengan pendirinya yaitu Muhammad Atha bin Ibrahim Haji Bekhtasyi (w.1335 M). Tarekat
ini sangat popular dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal
dengan Korps Jenissari yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa Turki Usmani.
Selain itu, terdapat Tarekat Bahramiyyah, didirikan oleh Haji Bahran (w.1430
M). Tarekat ini berkembang dan memperoleh banyak pengikut disekitar Ankara
Turki. Beberapa
Diantara
beberapa tarekat yang lainnya yaitu Tarekat Qadariyyah, Tarekat Syadziliyyah,
Syatariyyah, Naqsabandiyyah, Tijamiyyah, Sanusiyyah, Samaniyyah, Rifa’iyyah,
dan yang lainnya.
BAB III
Kesimpulan
Mistisisme
merupakan faham yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak. Dalam Islam,
istilah Mistisisme digunakan untuk menyebut orang-orang sufi yang dikenal
dengan Sufisme. Orang-orang sufi mempunyai pegetahuan yang lebih tentang
kehidupan Spiritual. Mereka melakukan usaha-usaha atau mujahadah, yang
dilaluinya melalui tahapan-tahapan.
Dalam setiap
tahapan atau maqamat itu, mereka memperoleh pengalaman spiritual, dari
keadaan-keadaan yang dialaminya hingga mencapai hakikat. Mereka mengalami
ekstasi, sebagai bentuk penyatuan diri dengan Tuhan. Hal itu dilakukan dengan
bimbingan dari seorang guru atau Mursyid yang telah memiliki pengalaman
Ketuhanan. Jadi mereka memperoleh wawasan kebenaran spiritual dari bahaya ilusi-ilusi.
Dari situlah awal terbentuknya aliran-aliran mistisisme, dari bimbingan itu,
terdapat sekolompok orang yang melakukam perjalanan untuk mencari guru sufisme
terkenal. Mereka berkumpul untuk melakukan pelatihan dan bimbingan demi
tercapainya kepasrahan diri. Mereka menyebutnya sebagai Tharekat, yaitu
perjalanan penyucian. Dua kecenderungan sebagai awal aliran itu diantaranya
yaitu Abu Al-Qasim Al-Junaidi yang melakukan ritual dengan kemabukan dan Abu
Yazid Thaifur Al-Bisthami dengan ritual tanpa kemabukan.
Dengan
perkembanganya, kini banyak dikenal aliran-aliran Mistisisme, seperti
Mawlaiyyah, Abhariyyah, Suhrawardiyyah, Kubrawiyyah dan yang lain-lainnya.
Mereka mengikuti tradisi Iraqi, dengan Guru besar sufi Abu Al-Junaidi.
Sedangkan aliran dari Tradisi Khurasani, dengan Guru besar abu Yazid thaifur
Al-Busthami yaitu Khawajangiyyah, Naqsabandiyyah, Yusufiyya dan yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Timingham,
J.Speencer, 1999.Mahdzab Tasawuf.Bandung, Pustaka
Amin, Samsul Munir, 2012.Ilmu
Tasawuf.Jakarta, Amzah
http://marjuki03.blogspot.com/2013/12/perkembangan-tasawuf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar