MAKALAH
TAZKIYAT AL-NAFS
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“TERAPI SUFISTIK”
Dosen Pengampu :
AHMAD
FAUZAN, S.S, M.PD.I
Disusun Oleh:
AMIDANA
HIKMAH : (2833133005)
FAKULTAS USHULUDDIN
ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
JURUSAN TASAWUF
PSIKOTERAPI 5-A
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena
berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Terapi Sufistik” ini
dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman
Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
1. Dr. Mafthukin,
M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu
di IAIN Tulungagung ini.
2. Ahmad fauzan, S.S,
M.Pd.I selaku Dosen Pembimbing matakuliah Terapi
Sufistik Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini
dapat terselesaikan.
3. Semua pihak yang
telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada
pembaca pada umumnya.
Tulungagung,
18 Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.....................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah................................................................................
1
C. Tujuan
2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tazkiyat Al-Nafs............................................................... 2
B. Konsep
Tazkiyat Al-Nafs ................................................................... 4
C. Metode-Metode
Tazkiyat Al-Nafs ..................................................... 5
D. Manfaat
Dari Tazkiyat Al-Nafs........................................................... 7
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................................... 10
B. Saran…................................................................................................. 10
DATAR
PUSTAKA.................................................................................... iv
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs
Manusia merupakan makhluk yang memilik unsur materi
dan immateri. Unsur materi merupakan jasad, sedangkan unsur immateri merupakan
akal dan jiwa. Akal menjadikan manusia dapat memahami berbagai pengetahuan sehingga
menghasilkan ilmu, sedangkan jiwa dapat mewujudkan kesucian dan etika. Unsur
materi dan immateri merupakan unsur yang saling berkaitan, karena jasmani dapat
menghasilkan keterampilan jika dibina dengan
baik. Jadi, keseimbangan antara jasmani, akal dan jiwa merupakan hal
yang harus ada pada diri manusia. Jika keseimbangan itu tidak ada, maka dalam
kehidupannya, manusia sulit untuk mendapatkan ketenangan, kepuasan dan
kebahagiaan.
Nafs pada pembahasan ini bermakna jiwa, sebagai
sesuatu yang menggerakkan jasmani, dan bisa dididik agar dapat dikendalikan.
Ayat Al-Qur’an dalam surat As-Syams ayat 8, “Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. Dari
sepenggal ayat tersebut menjelaskan bahwa, setiap nafs tercipta dalam keadaan
sempurna. Tergantung pada manusia sendiri, apakah akan membawa nafs pada jalan
taqwa, ataukah pada jalan kebathilan.[1]
Sebagian sufi mengkategorikan Nafs
menjadi tujuh tingkatan, yaitu 1) Nafs Amarah, merupakan nafs yang selalu
mengajak pada kejahatan dan berada pada tingkatan terendah. 2) Nafs Lawwamah
merupakan nafsu yang suka menyesali hilangnya peluang untuk melakukan kebaikan.
3) Nafs Mulhamah, merupakan nafs yang telah mendapat bimbingan dan ilham dari
Allah SWT. 4) Nafs Muthma’innah, merupakan Nafs yang takut kepada Allah, dengan
cirinya tenang, tenteram dan damai. 5) Nafsu Rodhiyah, merupakan nafsu yang
ridho merasakan cinta karena berada di
dekat Allah, dan selalau ridha dalam kedekatannya dengan Allah. 6) Nafsu
Mardhiyyah, merupakan nafsu yang diridhoi, karena merasa senang dan puas
terhadap kecintaannya kepada Allah. 7) Nafsu Kamilah, merupakan Nafsu yang
sempurna, sehingga hana dimiliki oleh Nabi dan Rosul.[2]
Tazkiyah diartikan sebagai 1) ajaran para Rosul
kepada manusia, yang jika dipatuhi maka akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan
olehnya, 2) mensucikan diri dari jiwa yang kotor, 3) mensucikan dirinya dari
syirik, karena dalam Al-Qur’an memandang bahwa syirik adalah perbuatan najis,
4) mengangkat martabat manusia dan mengangkat martabat kaum munafik kemartabat
kaum mukhlisin.[3]
Seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 151 Allah SWT:
“Sebagaimana
(Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu
Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada
kamu apa yang belum kamu ketahui”.
Al-Ghozali juga memberikan penjelasan mengenai
Tazkiyat Al-Nafs. Tazkiyat Al-Nafs diartikan secara sistematik, yaitu sebagai
proses penjernihan hati agar menjadi bening seperti kaca sehingga tembus cahaya
(Nur) dan tidak menghalangi masuknya cahaya dari Allah. Pandangan ini didasari
keyakinannya bahwa hati manusia adalah seperti kaca, sedangkan dosa-dosa atau
kejelekan yang dilakukanya adalah ibarat noda yang mengotori kebeningan kaca
sehingga kaca tersebut menjadi tidak tembus pandang atau terjadi jebol
(terhalang) dari cahaya yang datang dari luar.[4] Hal ini terdapat dalam surat As-Syams ayat
9-10, yaitu: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu (Qs. As-Syams: 9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs.
As-Syams: 10).
Spiritualitas memiliki peran yang penting bagi
setiap manusia. Beberapa upaya untuk meningkatkan spiritual, maka upaya yang
dapat dilakukan yaitu tazkiyatunnafsi. Tazkiyatunnafsi merupakan proses
melakukan penyucian jiwa yang tiada pernah henti. Pikiran-pikiran yang tidak
baik perlu dihilangkan, bisikan-bisikan setan yang kotor harus dibersihkan.
Penyakit ruhani seperti ujub, sombong, hasud, dengki, benci, tidak ridha, mudah
tersinggung, mudah marah, serakah, ingin menang sendiri, egois, masa bodoh, dan
sejenisnya harus dibersihkan setiap waktu dan setiap saat. Dalam hati harus
ditumbuhkan rasa kasih sayang, ditumbuhkan rasa syukur, rasa rahmat, cinta,
peduli, simpati, empati, penghargaan atas orang lain, disiplin beribadah dan
penerapan disiplin-disiplin dalam hal apapun, maaf dan sebagainya.[5]
B. Konsep Tazkiyah Al-Nafs
Konsep Tazkiyah al-nafs menurut al-Ghazali secara umum
didasarkan atas rub-rub yang terdapat dalam kitab ihya’ul ulumuddin yang
terdiri dari:
1. Rub
al-ibadah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang ibadah yaitu yang berkaitan
dengan hubungan manusia dengan Allah SWT. Rub ini berbicara tentang keutamaan
ilmu, aqidah, thaharah, rahasia sholat, puasa, haji dan zikir.
2. Rub
al-adah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan
lingkungannya. Rub ini berbicara tentang tata cara pergaulan, pernikahan, adab
mencari penghidupan dan ketentan halal dan haram.
3. Rub
al-muhlikat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, khususnya membahas tentang akhlak tercela yang harus dihindari
oleh setiap orang. Rub ini berbicara tentang penyakit jiwa seperti bahaya
lidah, sifat dengki, marah, bakhil, dan bahaya akan kecintaan pada dunia.
4. Rub
al-munjiyat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan
dirinya, khususnya membahas tentang sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki
oleh setiap manusia. Ruh ini menjadi obat bagi orang yang mengalami gangguan
kejiwaan.
Pembahasan tazkiyah al-nafs dalam kitab ihya’ul
ulumuddin yang banyak membahas tentang tazkiyah itu sendiri yaitu kitab tentang
ilmu, aqidah, thaharah dalam beribadah, serta kitab tentang keajaiban jiwa dan
latihan kejiwaan dalam rub al-muhlikat.
Dari kitab tentang keajaiban jiwa, Al-Gazali
mengartikan tazkiyah sebagai jiwa yang sadar akan dirinya dan mau bermakrifat
kepada Allah. Sebaliknya tadsiyah al-nafs merupakan jiwa yang lupa akan dirinya
dan tidak mau bermakrifat kepada Allah. Jiwa yang pertama disebut zakiyah,
thahir, salim, dan mutmainnah. Sebagai balasannya jiwa tersebut memperoleh
kemenangan dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Jiwa yang kedua disebut jiwa
yang kotor atau sakit. Jiwa ini dalam kehidupannya di dunia dan akhirat
mengalami kerugian dan Allah enggan menerimanya. Selanjutnya, menurut
Al-Ghazali, jiwa yang dibina dengan proses tazkiyah akan meningkat derajatnya
ke tingkat yang tinggi naik ke dalam malakut dan berada dekat dengan Allah.
Sementara jiwa yang dibina dengan proses tadsiyah akan meluncur derajatnya ke
tingkat yang lebih rendah, turun ke derajat jin setan dan jiwa orang-orang
fasiq.[6]
C. Metode-Metode Tazkiyat Al-Nafs
Penyucian jiwa dilakukan sebagai upaya untuk
membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama
manusia dan manusia dengan lingkungan
juga dengan dirinya sendiri. Mujahadah dalam melakukan berusaha menjadi faktor
utama untuk keberhasilan penyucian jiwa. Al-Ghazali lebih menekanakan pada riyadhoh
dengan mengosongkan diri dari perangai tercela, lalu mengisi jiwa dengan akhlak
terpuji yang akhirnya membawa jiwa manusia pada kesempurnaan, dengan
kedekatanya kepada Allah. Beberapa perangai tercela yang dimaksudkan yaitu 1)
kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah 2) kemusyrikan dan riya’ 3) cinta kedudukan
dan kepemimpinan 4) kepemimpinan 5) kedengkian 6) ujub 7) kesombongan 8)
kebakhilan 9) keterpedayaan 10) amarah yang zalim 11) cinta dunia 12) mengikuti
hawa nafsu.
Tujuan utama Tazkiyat Al-Nafs yaitu untuk
menyeimbangkan antara ibadah, adat dan akhlak manusia. Diperlukan beberapa cara
untuk memperbaiki ketiganya, agar keseimbangan dapat tercapai. Al-Ghozali
menjelaskan beberapa metode untuk memperoleh akhlak yang baik. Pertama,
mengharap kemurahan Allah. Kedua, bersusah payah melakukan segala kebaikan
sehingga menjadi kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan. Ketiga sering bergaul
dengan orang-orang yang shaleh.[7]
Metode-metode tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa sarana Tazkiyat Al-Nafs diantaranya yaitu tauhid, taubat,
sholat, sedekah atau zakat dan infaq, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, zikir,
tafakkur, mengingat kematian dan pendek angan-angan, Muraqabah, muhasabah,
mujahadah dan mu’aqabah, amar ma’ruf nahi mungkar, pelayanan dan tawadhu’.
Tauhid dan taubat harus ada dalam hati manusia dan
merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya menjadi hal pokok
untuk dilakukan dalam setiap waktu. Sholat merupakan sarana awal yang digunakan
untuk membersihkan jiwa. Sholat juga merupakan ibadah wajib, yang membawa
manusia untuk selalu istiqamah dalam setiap ibadahnya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Ankabut: 45)
Sedekah, zakat, infaq merupakan
memberikan harta kepada sesamanya yang sedang membutuhkan karena Allah. Hal ini
dapat membersihkan hati manusia dari sifat bahkhil dan kikir. Seperti firman
Allah: yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (Qs. Al-Lail:
18)
Puasa merupakan menahan lapar,
mengendalikan syahwat. Sehingga dengan demikian merupakan sarana Tazkiyat
Al-Nafs. Seperti firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183)
Dzikir merupakan mengingat Allah,
sehingga menambah keimanan dan ketauhidan dalam hati manusia. Seperti firman Allah: ”(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs.
Ar-Rad: 28)
Tilawah Al-Qur’an merupakan ibadah sebagai sarana
berkomunikasi kepada Allah. Membaca Al-Qur’an dengan mengerti dan menghayati
maknanya, tartil membacanya, sesuai dengan tajwidnya, maka akan melunakkan hati
manusia yang keras. Selain itu, rahasia kekuasaan Allah dan pengetahuan tentang
Allah juga dapat tersingkap. Seperti firman Allah:
”Sesungguhnya orang-orang yang
beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”(Qs. Al-Anfal: 2)
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal. (Qs. Ali-Imran: 193) (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 192)[8]
D.
Manfaat Tazkiyat Al-Nafs
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang
memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan
teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Orang yang memiliki jiwa yang sudah
tersucikan akan menampakkan amaliah-amaliah dalam kehidupannya. Hal nyata yang
dapat dirasakan dari manfaat Tazkiyah Al-Nafs adalah mampu mengendalikan lidah
dan memiliki adab dalam berhubungan dengan Allah dan sesama manusia. Jadi,
jiwa-jiwa tersebut akan selalu haus untuk melakukan kebaikan. Orang tidak akan
menilai kesucian jiwa seseorang kecuali jika telah menyaksikan perilakunya
secara langsung. Beberapa buah Tazkiyat Al-Nafs:
1. Dapat
Menjaga Lidah
Kewajiban utama dalam urusan lidah adalah
menggunakannya dalam dakwah kepada kebaikan, amar-ma’ruf nahi mungkar,
mendamaikan persengketaan, menyerukan kebaikan dan takwa. Jiwa yang suci akan
selalu bertadabur, atas segala perbuatan termasuk ucapannya. Seperti firman
Allah:
”Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”(Qs. Ali
Imran: 104)
“Hai orang-orang beriman, apabila
kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang
membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah
tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang
kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”(AL-Mujadilah: 9)
Kelalaian manusia dalam urusan
lidah dapat menjerumuskan manusia dalam
kehancuran, karena lidah merupakan sumber berbagai perbuatan mingkar. Seperti
halnya ghibah, menggunjing, bersumpah palsu, mengfitnah, berdusta, berkata
keji, membuka aib oranglain, riya’, ujub, berbicara hal-hal yang tidak
bermanfaat, pertengkaran, sanjungan yang berlebihan, dan banyak yang lainnya.
Rosulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat
tentang sesuatu apa yang banyak memasukkan orang kedalam surga, lalu Rasul
menjawab,”Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Lalu bertanya lagi, tentang
sesuatu apa yang banyak yang memasukkan orang kedalam neraka, rasul pun
menjawab,” Dua hal yang kosong, mulut dan kemaluan”.[9]
2. Memiliki
Adab Terhadap Lingkungan
Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan manusia
terhadap sesama manusia dan alam yang ditempatinya. Adab menjadi kunci utama
untuk menciptakan kemaslahatan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Manusia
akan membentuk ruang lingkup dalam setiap interaksinya, misalnya ruan lingkup
keluarga, ruang lingkup masyarakat, atau tetangga, ruang lingkup profesi, atau
pekerjaannya, semua ruang lingkup itu dapat berlangsung harmonis jika manusia
yang ada didalamnya memiliki hati yang bersih, jiwa yang suci.
Prinsip dalam berbagai kemanusiaan adalah berbuat
ihsan, dan perbuatan politik yang diarahkan oleh amirul mu’minin. Seperti
firman Allah: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang
lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”. (Qs. Al-Mu’minun:
96)
Selain itu, salah seorang sahabat
bertanya kepada Rasul.” Wahai rosul, siapakah orang yang paling utama?”. Lalu,
Nabi Muhammad SAW. Bersabda. ”Orang yang paling bertakwa kepada Allah, paling
banyak menyambung kerabatnya, paling banyak memerintahkan yang ma’ruf dan
paling banyak mencegah yang mungkar”.
Firman Allah dan hadist Rasul
tersebut dapat diambil beberapa pelajaran bahwa, setiap interaksi manusia
terhadap sesamanya dan lingkunganya harus disertai dengan adab-adab yang baik.
Terciptanya kehidupan yang sesuai dengan tatanan Allah merupakan kenikmatan dan
hasil penerapan dari penerapan terhadap nilai-nilai ajaran dalam Al-Qur’an dan
Hadis.[10]
Mempelajari dan mangamalkan konsep
juga metode Tazkiyat Al-Nafs akan mewujudkan keberhasilan penyucian jiwa. Kesemuanya
harus didasari pada kesungguhan, istiqamah, dan perjuangan denagn segala
kemampuannya. Semuanya tergantung dari manusia itu sendiri, karena Allah akan
memberikan hidayah dan kemenangan bagi setiap hambanya yang berbuat kebaikan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang
memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan
teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, maka
pembaca dapat menerapkan bagaimana upaya-upaya untuk menyucikan jiwa. Setiap
manusia tercipta sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan lupa. Untuk
itu, penyucian jiwa sangat penting diterapkan untuk membentuk akhlak dan
perilaku yang mulia.
Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran sebagai upaya penulis untuk memperbaiki kekurangan dan kecerobohan
penulis dalam menyampaikan pemahaman dari penulis. Semoga pembaca maupun
penulis senantiasa menjadi manusia yang selalu menerapkan perbuatan baik, dan
dapat menghindarkan diri dari perbuatan mungkar.
[1]
Imam
Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal.
140
[2] Robert Frager,
Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi (Yogyakarta: Serambi,
1999) Hal. 84
[4]
Gusti Abd.
Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2012) Hal. 171
[5] Saifudin Aman,
Tren Spiritualitas Milenium Ketiga (Banten: Ruhama, 2013). Hal. 91
[6] Imam Malik,
Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 149-152
[7] Gusti Abd.
Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja
Pressindo, 2012) Hal. 296
[8] Sa’id Hawwa, Ihya’ Ulumuddin
Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu (Rabbani
Press, 1995) Hal. 27-154
[9] Ibid, hal. 459-548
[10] Ibid, hal. 458-481
DAFTAR
PUSTAKA
Frager, Robert, 2011. Psikologi Sufi
untuk Transformasi Diri, Nafsu dan Jiwa. Yogyakarta: Pt. Serambi Ilmu
Malik, Imam. 2005. Tazkiyat Al-Nafs
(Sebuah Penyucian Jiwa). Surabaya: eLKAF
Abd. Rahman, Gusti. 2012. Terapi
Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Aman, Saifudin. 2013. Tren Spiritualitas
Milenium Ketiga. Banten: Ruhama
Hawwa, Sa’id. 1995. Ihya’ Ulumuddin
Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu. Rabbani
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar