BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Faqir secara
istilah bermakna ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang faqir
berada dalam kondisi lemah, serba kekurangan sehingga kehidupanya bergantung
kepada orang lain. Berbeda pengertian dengan ilmu Tasawuf dalam memaknai fakir.
Faqir dalam Ilmu Tasawuf bermakna keadaan dimana diri merasa lemah dihadapan
Allah SWT dan hanya Allah sebagai tempat untuk bergantung. Terdapat beberapa
pengertian tentang faqir dalam Al-Qur’an, jika ditafsirkan akan berbeda makna.
Beberapa Ulama
juga memberikan penafsiran yang tidak sama, misalnya saja penafsiran Hamzah
Fazuri tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan
maqamat, Faqir menurut imam Syafi’I dan imam Ahmad adalah seseorang yang sama sekali
tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu
pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Faqir
dalam Al-Qur’an?
2.
Bagaimana pendapat
Ulama tentang Faqir?
3.
Bagaimana cara menjadi Faqir
menurut Tasawuf?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian Faqir dalam Al-Qur’an
2.
Untuk mengetahui pendapat
ulama mengenai Faqir
3.
Untuk mengetahui cara
menjadi Faqir menurut Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Faqir dalam Al-Qur’an
Kata faqir dalam istilah bahasa berasal dari akar kata
f-q-r, yang dalam bentuk masdarnya bermakna tulang punggung, dan bentuk kerja
faqara-yafqaru bermakna patah tulang punggung. Kata faqir sendiri bermakna
orang yang patah tulang punggungnya, satu makna dengan bentuk mafqur.
Faqir secara etimologi artinya
membutuhkan atau memerlukan atau orang miskin. Kata faqir mengandung pengertian
miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan
jiwa untuk menuju kepada Allah SWT.[1]
Sedangkan dalam pandangan kaum sufi
fakir adalah tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak
mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam term sufi pengertian dari fakir
menunjukkan kepada seseorang telah mencapai akhir “ lorong spiritual “ menurut
Ibnu Qudamah semua orang itu fakir, karena mereka membutuhkan kepada kemurahan
Tuhan.[2]
Makna faqir sendiri menurut al-Isfahani memiliki empat
kategori. Pertama, faqir bermakna membutuhkan dalam hal yang paling
mendasar, berlaku bagi seluruh manusia dan seluruh makhluk yang ada. Pemaknaan
faqir disini memiliki arti tentang kebutuhan manusia kepada Allah. Dan hal ini
tentu dialami oleh seluruh manusia, karena hal ini merupakan sesuatu yang
sangat mendasar. Walaupun manusia membutuhkan Tuhannya dengan cara yang
berbeda-beda. Berbeda pula dengan orang kafir yang sudah tidak percaya kepada
Allah dan rasul-Nya. Karena mereka (orang-orang kafir) sudah tidak percaya
kepada Allah dan rasulnya, mereka berusaha membujuk manusia yang lain untuk
ikut bersama mereka dengan banyak cara yang ditempuhnya supaya para orang-orang
muslim ikut bersama mereka dalam keyakinan kepada Tuhannya.
Kedua, faqir dalam makna tidak memiliki
kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pengertian faqir disini sevar
substansial satu makna dengan miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
At-Taubah:60 yang artinya; “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf
yang dilunakkan hatinya, untuk (memerdekakan) budak untuk (membebaskan),
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Ayat di atas mengintruksikan bagi manusia
agar memberikan zakat kepada orang-orang yang telah disebutkan oleh Allah dalam
firman-Nya tersebut.
Ketiga, kefaqiran jiwa. Ini merupakan
sejelek-jeleknya kefaqiran. Kategori ini kebalikan dari sifat qana’ah atau
kekayaan hati seperti tergambar pada orang faqir dalam firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah:273 yang artinya “(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang
terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi;
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari
minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”. Ayat
di atas memaparkan tentang jenis orang yang faqir dalam jiwanya bukan dalam
kehidupannya di dunia. Seseorang yang fakir dalam jiwanya, tentu dia akan faqir
terhadap pertolongan Allah SWT yang merupakan Maha Kaya dan juga penolong bagi
umatnya yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Keempat, kefaqiran terhadap petunjuk dan bimbingan
Allah Ta’ala. Jenis faqir di sini dekat pengertiannya dengan jenis orang yang
kefaqiran jiwa. Karena masalah kejiwaan yang dialami oleh manusia tentu akan
selalu berdampak bagi kehidupan jasmaniyahnya. Yang secara sepontanitas
sifat lahiriyahnya dan bathiniyahnya manusia selalu berjalan
berdampingan dan tidak bisa berjalan dengan hanya sebelah saja. Penyeimbangan
keadaan dua sifat tersebut merupakan hal yang dianjurkan supaya keadaan
seseorang berjalan dengan stabil.[3]
B.
Pendapat Ulama Mengenai
Faqir
Abu Muhammad Al-Jurairi menyatakan
bahwa, “ Faqir ialah hendaknya kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada
pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan
hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki-rezeki kecuali kamu tidak dapat
menegakkan kewajiban.[4]
Ruwaym pernah ditanya tentang
tanda-tanda orang miskin, lalu ia menjawab“ Miskin berarti menyerahkan jiwa
pada ketentuan-ketentuan Allah SWT. Tanda orang miskin itu ada tiga ; ia
melindungi batinnya, ia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya, dan ia
menyembunyikan kemiskinanya. [5]
Selain itu, Ath-Thusi juga pernah menyatakan, bahwa orang miskin adalah yang
terkaya diantara ciptaan Allah. Mereka melepas pemberian demi sang Pemberi.[6]
Pendapat yang dikemukakan oleh Nicholson
mengenai konsep kefaqiran (poverty ) adalah sebagai berikut :“ Kefaqiran
adalah sedikitnya niat dalam mendapatkan harta kekayaan, bahkan tidak memiliki
keinginan sedikitpun untuk memperoleh harta kekayaan itu. Ini diumpamakan
kosongnya hati (untuk mendapatkan kekayaan) sebagaimana kosongnya tangan
(karena tidak memegang apapun).[7]
Kefaqiran merupakan ketiadaan niat dan
usaha untuk mendapatkan kekayaan. Namun, bisa saja ada orang yang berharta
melimpah, tetapi hatinya masih bisa menjaga jarak terhadap kekayaanya. Jadi,
kefaqiran mengandung arti peniadaan segala sesuatu yang menjadi keinginan hati,
baik yang bersifat lahiriyah manupun batiniyah.
Kyai Achmad menilai kefaqiran (Al-Faqr)
tidak hanya sesuatu yang penting,
melainkan juga merupakan maqam yang tertinggi. Menurutnya, Al-faqr
adalah selalu menyadari kebutuhan diri kepada Allah SWT. Setiap orang mengerti
bahwa dirinya membutuhkan Allah, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Konsepsi
al-faqr ini dapat dilihat dari pernyataan kyai Achamad berikut ini : “
Al-Faqr berarti adanya kesadaran bahwa diri ini tidak memiliki sesuatu sama
sekali yang patut bernilai dihadapan Allah SWT. Bukan saja kekayaan yang berupa
harta benda, kekuasaan, dan kepandaian, tetapi amal ibadah yang dilakukan
sepanjang hidup ini juga sama sekali tidak sepatutnya diandalkan, apalagi
dibanggakan di hadapan Allah SWT. Tanpa belas kasihnya sgalanya tidak akan ada
nilainya sama sekali. Sepenuhnya menyadari ketergantungan kepada Allah SWT,
setiap saat, setiap detik, terus menerus tak terputus, segala situasi dan dalam
segala cuaca. Inilah arti al-faqr yang sebenar-benarnya.[9]
Konsep Al-faqr ini menunjukkan bahwa
manusia tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan Tuhan dalam segala hal.
Dengan kata lain, setiap manusia senantiasa membutuhkan Tuhan. Sehingga seorang
sufi selalu menempatkan dirinya sebagai al-faqir. Dengan alasan demikian, Kyai
Achmad membuat sebuah ungkapan : “Tasawuf adalah nama yang mencakup dua
pengertian, yaitu al-faqr dan az-zuhud.[10]
Jadi, tasawuf pada hakikatnya adalah adalah
al-faqr dan az-zuhud itu sendiri.
Menurut Al-Ghazali faqir dibagi dalam dua macam,
yaitu :
a. Fakir
secar umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan menjaga
eksistensinya. Faqir seperti ini adalah bentuk faqir seorang hamba kepada
Tuhanya. Sikap seperti ini hukumnya wajib.
b. Faqir
muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia.
Pandangan tentang faqir menurut Muzayin :
كا نت الطرق الى الله اكثر من نجوم السماء فما
بقي منها طريق الفقر وهو اصح الطرق
“Jalan menuju Allah itu lebih banyak dari
bilangan bintang di langit, tidak ada yang ketinggalan daripadanya kecuali satu
jalan saja, yaitu fakir, itulah yang paling lurus dari segala jalan”.[11]
Sendangkan Al-Nuri mendefinisikan faqir :
نعت الفقير السكون عند العد م والايثار عند الوجود
“Sifat orang
faqir itu diam saja ketika tidak punya apa-apa, dan tidak membutuhkan ketika
punya apa-apa”.[12]
Sedangkan pandangan Dzunun al-Misri tentang faqir :
علا مة سخط الله على العبد خوفه من الفقر
“Alamat
seorang hamba yang akan mendapatkan murka Tuhan adalah orang yang takut fakir”.[13]
Dari semua pendapat ulama’ diatas
dapat disimpulkan bahwa faqir yang sesungguhnya tidak memiliki sesuatu, dan di
dalam hatinya tidak menginginkan atau membutuhkan sesuatu selain Allah SWT, dan
hal yang demikian ini dilakukan untuk menempuh maqamat tasawuf yang bertujuan berada
sedekat mungkin dengan Allah.
C. Menjadi
Faqir menurut Tasawuf
Kefaqiran (al faqr) merupakan salah satu maqam
penting dari sederet maqam lainya dalam kajian tasawuf. Mengingat begitu
pentingnya tahapan kefaqiran itu, Ath-Thusi menyebut al Faqr menjadi maqam
syarif.[14]
Faqir berarti kekurangan harta yang
diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqir penting
untuk dimiliki seseorang yang sedang bertujuan dekat dengan Allah. Hal ini
dikarenakan jika seseorang terlalu banyak bergelimangan harta memungkinkan
manusia dekat pada kejahatan atau minimal membuat jiwa tertambat pada selain
Allah.
Fakir bermakna tidak menuntut lebih
banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya sehingga tidak meminta
sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan suatu benteng pertahanan yang
kuat dalam mengahadapi pengaruh kehidupan materi. Karena pada dasarnya sikap
fakir menghindarkan seseorang dari sifat keserakahan, sifat smbong, dan kufur
akan nikmat Allah. Dengan demikian, pada dasarnya sikap mental fakir merupakan
rentetan sikap zuhud.
Selain itu sikap fakir dapat memunculkan
sikap wara’, yaitu sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang
kurang jelas masalahnya. Misalnya, apabila bertemu dengan satu persoalan baik yang bersifat materi maupun non-materi
yang tidak pasti hukumnya, lebih baik dihindari saja. Dengan jalan kefaqiran,
maka seseorang dapat menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
penuh kesabaran dan upaya sungguh-sungguh.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Fakir secara etimologi artinya
membutuhkan atau memerlukan atau orang miskin. Kata fakir mengandung pengertian
miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan
jiwa untuk menuju kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam pandangan kaum sufi fakir
adalah tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap
dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah.
B. SARAN
Dalam era yang modern seperti zaman
sekarang ini pastilah sulit untuk mengaplikasikan kehidupan tasawuf khususnya
maqam fakir ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita juga mencoba mempraktikannya
dalam kehidupan ini. Karena jika semua diawali dengan niat yang benar dan
sungguh-sungguh pasti semua terasa mudah. Karena dunia ini hanyalah sebagai
tempat sendau gurau dan main-main, jadi jika penuh dengan kekayaan atau
kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan. Utuk itu tidak ada
salahnya kita sama-sama belajar mengaplikasikan
kehidupan fakir yang ada dalam maqam tasawuf ini dengan tujuan untuk
menuju jalan berada dekat dengan Allah SWT.
Demikian makalah yang dapat kami
sampaikan, kami mohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan maupun isi
materi. Untuk itu kritik dan saran bagi kami akan membantu kemajuan dalam
makalah ini. Terimakasih
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ni’am Syamsu, The Wisdom of K.H.Achmad Siddiq
: Membumika Tasawuf. Erlangga:
2009
Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam,
PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta,
2002
Drs. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Amzah :
Jakarta, 2012
http://sahwiyadi.blogspot.com/2012/11/fakir-jalan-seseorang-menuju.html
[1] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,
Ilmu Tasawuf, Jakarta : Amzah, 2012, hlm. 172
[2] Ibid, hlm. 173
[4] Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li, hlm. 112
[5] Al-Qusyairi, Ar Risalat al Qusyairiyah, hlm. 273
[6] Ath Thusi, Al Luma’ , hlm. 74
[7] Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 37
[8] Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 37
[9] Nahid, Pemikiran K.H.Achmad Siddiq, hlm. 19
[10] Ibid, hlm.20
[11] Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, RajaGrafindo Persada
: Jakarta,2002, hlm. 60
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ath Thusi, AL-Luma’ , hlm. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar