MAKALAH
”Person
Center Therapy”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Konseling
dan Psikoterapi”
Dosen Pengampu :
Ayu Imasria Wahyu Liarni M.Psi
Disusun
Oleh: Kelompok 4
1. Amidana Hikmah (2833133005)
2. Duwi Apriana (2833133015)
3. Ibrahim Hasan (2833133022)
4. Luthfiyatus Sholihah (2833133029)
Fakultas
Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD)
Jurusan
Tasawuf Psikoterapi (TP) 4 -A
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
TAHUN
2015
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim,
Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah
Allah Swt, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul Person
Center Therapy pada mata kuliah Konseling
dan Psikoterapi.
Di dalam penyusunan makalah ini kami
banyak menemui hambatan, namun berkat kerja keras dan bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya semua hambatan itu bisa teratasi. Untuk itu penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1. Dr.
Maftukhin M.Ag, selaku ketua Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.
2. Ayu
Imasria M.Psi selaku dosen mata kuliah “Konseling dan Psikoterapi” sekaligus
dosen pembimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
3. Segenap
teman-teman yang telah memberikan banyak bantuan dalam menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan atapun kurang detail, oleh karena
itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami
juga berharap semoga materi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
umumnya dan penyusun pada khususnya.
Tulungagung,
16 Mei 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Carl Ronsen Rogers (1902-1987)
merupakan pelopor penemu Person Center Therapy. Rogers beranggapan bahwa setiap
individu pada intinya merupakan sosok yang kreatif, sosialis, penuh hormat dan
mempunyai kemampuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Untuk
itu, dalam prakteknya Rogers memberikan kesempatan kepada klien untuk
menumbuhkan kesadaran diri dan dapat
memahami dirinya sendiri. Lebih ditekankan lagi pada pengalaman pribadi yang
dimiliki individu karena dapat membantu klien lebih mudah untuk mencari jalan
keluar dari masalahnya.
Rogers menyatakan bahwa terdapat
tiga kondisi yang harus dimiliki konselor dalam melakukan proses terapi, yaitu
kongruens, penerimaan positif tanpa syarat, dan empati. Jadi terapeutik akan
berhasil jika faktor-faktor tersebut juga dijalankan dengan baik.
B. Manfaat Pembelajaran
Setelah memahami Person Center
Therapy, maka mahasiswa dapat menerapkan terapi ini dalam kasus-kasus yang
sering ditemui. Selain itu, mahasiswa juga menjadi yakin pada kemampuan yang
dimilikinya dan menjadi pribadi yang utuh.
C. Tujuan
Tujuan mempelajari Person Center
Therapy yaitu untuk mengetahui tentang:
1. Pengertian
dan tehnik Person Center Therapy
2. Perkembangan
Person Center Therapy
3. Teori
dan konsep dasar Person Center Therapy
4. Tujuan
Person Center Therapy
5. Hubungan
dan Peran terapis dalam Peson Center Therapy
6. Proses
Person Center Therapy
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan tehnik Person
Center Therapy
Person
Center Therapy di cetuskan oleh
Carl Ransom Rogers (1902-1987) dengan sebutan nondirective counseling. Rogers
(sebagai terapis) meminimalkan pengarahannya dan membantu kliennya memperjelas
persepsi mereka mengenai diri sendiri. Rogers meneliti tentang persepsi klien
terhadap self-aktual dan self-idealnya. Reflection of feelings adalah
teknik yang dilakukan terapis dalam memposisikan dirinya sebagai cermin
bagi klien, agar klien dapat lebih mengenal dirinya, menerima diri sendiri, dan
kemudian dapat mempersepsikan keadaannya sekarang (Sundberg et al, 2002).[1]
Dalam pendekatan-pendekatan Person Centered,
prinsip-prinsip dasar dalam terapi menurut Rogers bahwa manusia berpotensi
menemukan masalah-masalahnya sendiri, hubungan antar individu lebih penting
daripada masalah itu sendiri, dan individu lebih penting daripada solusi atas
masalahnya. [2]
Tidak ada metode atau teknik yang spesifik dalam Person
Center Therapy. Dalam Therapi ini, antara konselor dan konseli harus memilik
hubungan yang dapat mendorong klien lebih terbuka mengungkapkan permasalahanya
dan mempercayai terapis sepenuhnya. Karena itu disebut Client-Center Theraphy
yang tehniknya menitik beratkan pada sikap-sikap terapis. Metode ini dikutip
H.M.Arifin dari William E.Hulme &
Wayne K.Clymer yang mengemukakan bahwa metode Client-Center Therapi sering
digunakan oleh pastoral counselor. Pada proses bimbinganya konselor lebih
memahami kenyataan penderitaan klien yang biasanya bersumber pada perasaan
berdosa yang banyak menimbulkan perasaan cemas konflik kejiwaan dan gangguan
lainnya. Konselor harus bersikap sabar mendengarkan dengan penuh perhatian
semua ungkapan batin yang diutarakan klien kepadanya.[3]
Namun ada beberapa teknik dasar yang harus dimiliki terapis yaitu
a)
Mengalami dan
Memperlihatkan Kongruen
Antara
Terapis dan Klien harus memiliki hubungan yang kongruen, yaitu tercipta
kecocokan dan kesesuaian. Konselor menunjukan tindakan yang apa adanya kepada
klien seperti sikap hangat dan sabar dari terapis saat klien tertekan,
kemarahan terapis saat klien menyerang dengan paksaan-paksaan yang kuat,
kebosanan saat konseli mengomel. Akan tetapi sikap terapis tetap menunjukkan
keprofesionalnya dihadapan klien sehingga klien semakin menumbuhkan rasa
percayanya kepada terapis. Tanpa kepercayaan ini, klien tidak akan merasa bebas
dalam mengungkapkan masalah-masalahnya.[4]
b)
Mengalami dan
Menunjukkan Penerimaan Positif tanpa Syarat
Untuk
membantu keberhasilan terapi, konselor harus memiliki sejenis rasa suka dan
hormat kepada konseli. Sehingga hubungan hangat yang terjalin antara konselor
dan konseli menumbuhkan minat yang dalam dari konseli untuk melanjutkan terapi.
Dalam menunjukan sikap penerimaan tanpa syarat ini harus didahului sikap
kongruen, agar sikap konselor terkesan serius dan apa adanya.
Sikap
hormat berarti menghargai orang lain sebagai manusia yang mampu menemukan
solusi-solusi atas permasalahannya sendiri dan memandang positif kepada klien
bahwa terlepas dari apa yang dilakukannya dia telah berbuat yang terbaik sesuai
dengan kemampuannya.[5]
c)
Mengalami dan
Menunjukkan Rasa Empati.
Dengan
berempati, seseorang masuk dalam diri orang lain dan menjadi orang lain agar
bisa menghayati dan merasakan orang lain. Jadi, seseorang dimungkinkan untuk
bisa memahami orang lain karena seseorang masuk dan menjadi sama dengan orang
lain sehingga empati merupakan cara yang efektif untuk mengenali, memahami, dan
mengevaluasi orang lain. Menurut Rogers, empati bukan hanya bersifat kognitif
saja, namun berupa emosi dan pengalaman.
Mengenai
Empati ini, George & Cristiani (1981) mengemukakannya sebagai kemampuan
untuk mengambil kerangka berpikir klient sehingga memahami dengan tepat
kehidupan dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikaan dengan jelas
terhadap klien. Menrut beberapa tokoh, perasaan empati ini dapat menyebabkan
terapis ikut karut dalam kesedihan klient. Hal ini berdampak pada hilangnya
identitas diri pada klien, dan hilang pula fungsinya sebagai terapis. Evey, at
al (1987) mengutip Rogers yang mengingatkan ‘jika terapis bisa menangkap dunia
pribadi klien, sebagaiman klien melihat dan merasakannya tanpa kehilngandiri
identitasnya sendiri, perubahan konstruktif niscaya terjadi.[6]
Penemu
teori berfokus pribadi adalah psikolog Carl Ransom Rogers (1902-1987). Rogers
mengembangkan kepercayaan pada potensi semua individu untuk berkembang dalam
kondisi yang suportif, penuh hormat, dan memercayai secara tulus. Pada 1942,
Rogers mempublikasikan idenya dalam buku pertamanya Counselling and psychotherapy (konseling dan psikoterapi) yang
merupakan konseling nondirective dengan menggunakan metode terapi tradisional.
Selanjutnya, Clien-centered Therapy
(terapi berfokus klien) pada muncul pada taun 1951, menekankan pada konselor
harus menghormati kemampuan konseli pada proses konseling. Tahap yang ketiga
yaitu tahun 1960, yang disebut dengan Person Center Therapy, merupakan terapi berfokus pada pribadi, yang menekankan
pada kemampuan dan perkembangan diri.
Debat
dan diskusi selalu memastikan pertumbuhan terapi berfokus pribadi, termasuk
munculnya varian-varian baru. Terapi keluarga berfokus pribadi, aliran berfokus
yang terpisah dan penerapan prinsip-prinsip pribadi pada klien yang didiagnosis
menderita gangguan mental berat, hanyalah tiga contoh perkembangan dari terapi
itu. Yang mutakhir, dimensi spiritual dalam terapi berfokus pribadi juga telah
di eksplorasi. Meskipun terdapat aspirasi religiusnya, baru tahun-tahun
belakangan Rogers mempertimbangkan pengalaman transendental dalam konseling.
Prinsip-prinsip
dasar pendekatan berfokus pribadi sekarang luas di terima sebagai basis
pembentukan relasi positif yang memberdayakan dan sangat berpengaruh pada
pendidikan, ketetapan kesehatan yang diatur undang-undang maupun sukarela, dan
layanan social. Sebagai orientasi terapeuetik, pendekatan ini mempunyai
pengikut yang luas, dengan praktisi terdapat di semua benua.
Konsep dasar dari client-centered therapy
adalah bahwa inidividu memiliki kecenderungan untuk mengakutalisasikan diri (actualizing
tendencies) yang berfungsi satu sama lain dalam sebuah organisme. Para
terapis lebih terfokus pada “potensi apa yang dapat dimanfaatkan”. Didalam
terapi, terdapat dua kondisi inti: congruence dan unconditional
positive regard. Congruence merujuk pada bagaimana terapis dapat
mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien sadar dan memaknai
pengalaman tersebut. Unconditional positive regard adalah bagaimana
terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan dan
menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di samping itu ,
terdapat juga sejumlah konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept,
locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada
bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri. Locus
of evaluation merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang
yang bermasalah akan terlalu menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain
(eksternal). Experiencing, adalah proses di mana klien mengubah pola
pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi lebih terbuka.[7]
Di
jantung teori berfokus pribadi terdapat optimisme mendasar tentang kemampuan
dan motivasi primer kita.
a)
Memberikan yang
terbaik dari diri kita: kecenderungan beraktualisasi
Rogers
menegaskan bahwa setiap pribadi itu adalah keseluruhan yang utuh, atau
organism, dengan kecenderungan motivasi dasar, kecenderungan untuk
beraktualisasi. Seperti yang dikatakan Rogers inilah kecenderungan organisme
yang melekat pada dirinya untuk mengembangkan semua kapasitasnya sedemikian
rupa untuk mempertahankan atau memperkuat organisme itu sendiri. Oleh karena
itu, ketika kita bertumbuh dan berkembang, secara alami kita mendekati orang
lain, lingkungan yang lebih luas dan pengalaman diri kita dengan cara yang
mengantarkan kita menuju hal-hal positif dan membantu kita menghindari hal-hal
yang negatif bagi kebaikan kita.
b)
Mempelajari
siapa diri kita: perkembangan konsep diri
Meskipun
teori berfokus pribadi mengkonseptualisasikan idividu sebagai kesatuan utuh,
satu aspek keberadaan kita memainkan peran kunci dalam perkembangan dan
pemfungsian. Konsep diri mulai terbentuk pada usia dini, ketika kita mulai
melihat terpisah dari mereka di sekitar kita. Kita mulai memikirkan diri
sendiri dengan istilah ‘aku’ sebagai subjek dan ‘aku’ sebagai objek, sebagai
pribadi unik dengan beragam karakteristik. Pengetahuan dan kesadaran diri ini
awalnya tidak diartikulasikan, namun ketika kita bertumbuh, terutama ketika
kita belajar bicara, secara bertahap kita mengonsolidasikan ide tentang diri sendiri.
Jika perkembangan pengetahuan diri itu terjadi secara lengkap seirama dengan
kecenderungan beraktualisasi, yaitu jika kita mulai mengenal diri sendiri
sebagai pribadi yang sebenarnya, maka kita terus melangkah di sepanjang jalan
kehidupan yang utuh dan memuaskan. Namun, mengenal diri kita tidak terjadi
dalam isolasi dan aspek relasional keberadaan kita lah yang menyebabkan
masalah.
c)
Kehilangan
kepercayaan diri dan sumber kesedihan
Pemahaman
diri kita berkembang pada suatu waktu ketika kita sangat tergantung pada orang
lain untuk kebaikan fisik dan emosi kita. Hal itu menimbulkan konflik potensial
antara pertumbuhan kita dan kepuasan orang-orang di sekitar kita. Memberi dan
menerima kasih sayang, penerimaan dan cinta adalah positif, karena perasaan seperti
itu memang memuaskan, namun kebutuhan untuk di senangi dan mendapatkan
kehangatan dari orang lain bisa berkonflik dengan yang kita pandang sebagai hal
yang baik bagi diri kita.
Pada
tahap tertentu, kita bisa menahami diri melalui pesan yang diterima dari orang
lain dan respon emosional mereka kepada kita. Pengakuan positif yang tak
bersyarat ini diterima dimana di mungkinkan ada pesan dan bahkan cocok dengan
pengalaman kita.
d)
Harga
mempertahankan diri
Terkadang,
konsep diri kita terancam terbuka kesenjangan antara yang kita perlukan untuk
mempertahankan pemahaman kita tentang dunia dan diri kita, dan kasus apa yang
sebenarnya kita rasakan. Tantangan radikal bisa terasa benar-benar seperti
mengancam hidup kita, karena beberapa pengalaman menimbulkan pukulan yang
sangat kuat dalam cara kita memandang diri, kita tak lagi mengenali siapa kita
dan keterasingan diri seperti itu sangat mengerikan. Untuk melindungi terhadap
ketidaknyamanan dan konflik internal, kita menyaring pengalaman internal dan
eksternal dengan dua proses yang dikenal sebagai distorsi dan penyangkalan.
Dalam mendistorsi pengalaman kita secara selektif mengambil yang sedang terjadi
dan meninggalkan lainnya, atau kita memahami sesuatu dengan cara tertentu
ketimbang cara lain.
Mendistorsi
dan menyangkal pengalaman berarti bahwa kita terus menopang keterpecahan
internal. Tekanan mental dan emosional adalah harga yang harus kita bayar. Bagi
beberapa orang, sejauh mana kondisi berharga yang di proyeksikan itu di serap
membuat kehidupan menjadi sumber ketakutan yang menetap. Selain itu, kedataran
dan kekosongan yang menjadi bagian dari depresi menunjukkan harga yang harus di
bayar karena meredam perasaan, ketidakpuasan, kesepian, kebingungan, kecemasan,
kelelahan, kematian emosional, semuanya bisa berasal dari upaya kita memisahkan
apa yang secara sadar kita tanggung dari pengetahuan terdalam kita.
e)
Transformasi
kesedihan
Tujuan
konseling berfokus pribadi adalah menawarkan kondisi yang akan memampukan
terjadinya penyembuhan keterpecahan nurani dan memulai proses untuk
menghubungkan kembali secara utuh dengan pengalaman dan proses penghargaan yang
ada sejak lahir. Bertumpu pada alasan tunggal, namun sulit dijangkau bahwa
menawarkan rasa hormat, pemahaman mendalam dan kehadiran yang tulus dan terbuka
kepada klien akan menciptakan iklim keamanan dan kepercayaan tak bersyarat.
Secara bertahap, klien akan semakin membutuhkan perlindungan terhadap
pengalaman yang mengancam lapisan pelindung yang di bangunnya. Perasaan,
pikiran dan persepsi yang sebelumnya telah di transformasikan atau di buang
jauh-jauh dapat di pegang dalam kesadaran dan di nilai ulang, mengizinkan
penyerapan pengalaman yang lebih memuaskan ke dalam diri.[8]
D. Tujuan Person Center Therapy
Tujuan
utama pendekatan person-centered therapy adalah untuk menciptakan iklim yang
kondusif sebagai usaha untuk membantu konseli menjadi pribadi yang utuh, yaitu
pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya dirinya. Tidak
ditetapkan tujuan khusus dalam pendekatan person-centered, sebab konselor digambarkan
memiliki kepercayaan penuh pada konseli untuk menentukan tujuan-tujuan yang
ingin dicapainya dari dirinya sendiri.
Secara
lebih terperinci, tujuan konseling person-centered adalah :
a) Membantu
konseli untuk menyadari kenyataan yang terjadi terhadap dirinya
b) Membantu
konseli untuk membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru
c) Menumbuhkan
kepercayaan diri konseli
d) Membantu
konseli membuat keputusan sendiri
e) Membantu
konseli menyadari bahwa manusia tumbuh dalam suatu proses
Konseli yang bisa dibantu menggunakan person-centered therapy, di antaranya
adalah konseli dengan kondisi awal sebagai berikut :
a) Konseli
takut pada konselor dan konseling itu sendiri
b) Konseli
tidak bisa mengekspresikan pengalaman-pengalamannya
c) Konseli
menggunakan pandangan orang lain atau lingkungan sekitarnya dalam mengevaluasi
tindakan dirinya
d) Konseli
menunjukkan perasaan negatif baik secara terang-terangan maupun tersembunyi,
misalkan tidak bisa mempercayai konselor
e) Konseli
belum bisa menerima tanggung jawab pada diri sendiri
f) Konseli
sering memandang dunia dengan suatu cara mekanik, sehingga menyulitkan diri
untuk memisahkan objek dari pengalaman, fakta, dan situasi eksternal.
E. Hubungan dan Peran terapis dalam
Peson Center Therapy
Terapis
meletakkan tanggung jawab proses terapi pada klien, dan ia berfungsi sebagai
katalisator bagi perubahan klien. Terapis lebih sebagai cerminbagi sikap dan
perilaku klien. Konselor membantu klien menyadar kekuatan-kekuatan yang
dimiliki, sehingga ia sanggup mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi
diri klien.
Tugas
terapis atau konselor adalah membangun hubungan yang membantu klien mengalami
kebebasan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang didistorsi atau
diingkarinya.[9]
Client-centered therapy(CCT) menekankan pada sikap dan kepercayaan dalam proses
terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari pendekatan terapi ini
adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan nonposesif dan empati yang
akurat. Client-centered therapy beranggapan bahwa klien sanggup
menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Perlu adanya respek
terhadap klien dan keberanian pada seorang terapis untuk mendorong klien agar
bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti arah-arahannya sendiri
terutama pada saat klien membuat pilihan-pilihan yang bukan merupakan pilihan
yang diharapkan terapis.Selain itu, juga mempunyai hubungan yang membantu
keberhasilan terapi yang sudah disebutkan oleh Rogers yaitu kongruen, peneriaan
positif tanpa syarat dan empatik terapis mencoba memahami situasi saat itu yang
terjadi pada klien dan mencoba mendapatkan tanggapan kembali dari klien dengan
lebih banyak informasi. [10]
F.
Proses Person Center Therapy
Proses konselingnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)
Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila datang atas
suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat
bebas dan permisif, dengan tujuan agar klien mampu memilih sendiri apakah ia
akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya.
b)
Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, maka
konseling menyadarkan hal ini kepada klien.
c)
Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya atau
permasalahannya secara apa adanya, lengkap dan jelas. Dalam hal ini konselor
harus menunjukkan sikap ramah, bersahabat dan menerima klien sebagaimana
adanya.
d)
Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
e)
Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan
dirinya/masalahnya.
f)
Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk
mengatasi masalah yang dihadapinya.
g)
Klien merealisasikan pilihan itu dalam tindakan/perbuatan.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penemu
Person Centered Therapy yaitu Carl Ransom Rogers. Rogers mengangap bahwa setiap
individu merupakan manusia yang berpotensi,setiap sat mereka pasti akan
beraktualisasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliknya. Dalam terapinya,
pengalaman yang dimiliki klien memiliki peranan penting dalam penyelesaian
akhir dari masalah-masalah yang dialami klien. Pengalaman yang dimiliki klien akan membantu menumbuhkan
kesadaran pada diri klien. Jadi, pribadi yang utuh akan membantu klien untuk
beraktualisasi pada arah positif.
Selan
itu, terapis harus memiliki tiga kunci penting untuk keberhasilan terapinya,
yaitu kongruen, penerimaan positif tanpa syaratn dan rasa empati pada klien.
Jika semua itu diterapkan, maka klien dapat mengungkapkan segala permasalahanya
kepada terapis dengan leluasa.
Pada
perkembangannya, metode terapi yang ditemukan Rogers yaitu metode terapi
tradisional, tahun 1942 atau disebut dengan konselin nonderektif. Lalu, pada
tahun 1950, Client Center Therapy menjadi terapi yang begitu sering diterapkan
rogers. Terapi ini, terapis menghormati seluruh kemampuan yang dimiliki klien
dalam proses konseling. Selanjutnya, tahun 1960, merupaan perkembangan dari
meode sebelumnya. Rogers menyebutnya sebagai Person Center Therapy.
Teori
dan konsep dasar Person Center Therapy yaitu aktualisasi diri merupakan hal
yang dapat membantu klien untuk menemukan konsep diri dan menjadikan dirinya
sebagai pribadi yang utuh. Dalam proses terapi harus terdapat kongruen dan
uncondisional positif regard dan empati. Selain itu, konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept,
locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada
bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri.
Tujuan dari terapi ini yaitu terapis membanu
mengarahkan klien untuk menyadari potensi yang dimilikinya dan menjadikan
dirinya sebagai pribadi yang utuh. Setelah klien memahami kekurangan dan
kelebihan dirinya, maka klien dapat mengekspresikan isi hatinadan dapat
menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pada diri klien.
Bagaimana hubungan antara terapis dan klien menjadi
factor keberhasilan terapi. Hubungan yang diharapkan dari terapi ini bahwa antara
terapis dan klien mempunyai hubungan yang hangat dan rasa saling percaya.
Terapis mepercayai jika klien mampu menemukan penyelesaian yang baik, begitu
juga klien, mempercayai akan kuitas yang dimiliki terapis.
Dalam proses terapi, klien akan kondisi inti pada
klien akan mengarahkan diri klien pada konsep diri yang dimiliknya.
Selanjutnya, klien akan mengeksplorasi cara baru dalam memandang dan menyadari
dirinya. Setelah semua itu dilalui klien, maka klien dapat merealisasikan
pilihan dan hasil akhir.
B.
Kelebihan dan kekurangan
Person Center Therapy
a)
Kelebihan:
1.
Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
2.
Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama dalam mengubah
kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada sikap terapi
3.
Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan optimis
4.
Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam
menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya
secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi, selain itu
klien diberikan peluang yang lebih luas untuk mendengar dan didengar
5.
Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman
psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
6.
Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok
b)
Kekurangan:
1.
Tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai
individu
2.
Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien
yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk membantu klien memecahkan
masalahnya
3.
Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan
interpersonal
4.
Terapi menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan
pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup, orang bisa memiliki
kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik mendengar dan merefleksi.
5.
Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah
6.
Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu terpusat pada klien
sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan rasa sebagai pribadi yang
unik.
7.
Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan sikap-sikap yang
harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah praktisi terkadalang
menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari
posisi person-centered.
C. Saran
Setelah mempelajari Person Center Therapy, diharapakan
mahasiswa dapat menerapkan terapi ini dalam sehari-hari. Walaupun banyak teori
lain yang kita pelajari, tidak ada salahnya menerapkan terapi ini. Hal ini akan
menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang berbagai terapi khususnya Person
Center terapi. Materi yang ada dalam makalah ini merupakan sebagaian kecil dari
sekian banyak pengetahuan tentang Person Center Therapy. Penyusun mohon maaf,
dan mengharap kritik dan saran untuk perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Palmer, Stephen. Konseling dan Psikoterapi, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2010
Geldard, Kathryn. Teknik Konseling, Pustaka pelajar:
Yogyakarta, 2008
Gunarsa, Singgih. Konseling dan Psikoterapi, Libri:
Jakarta, 2012
Erhamwilda. Konseling Islam, Graha Ilmu: Yogyakarta,
2009
http://marisameadow.blogspot.com/2013/04/person-centered-therapy.html
[3] ErhamWilda, Konseling Islam
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hal.101
[4] Stephen Palmer, Konseling dan
Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 310-314
[5]
Kathryn Geldard, Teknik
Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hal. 44
[6]
Singgih D.Gunasra,
Konseling dan Ksikoterapi (Jakarta: Libri) hal. 70-75
[8]
Stephen Palmer, Konseling
dan Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 303-309
[9]
ErhamWilda, Konseling Islam
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hal. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar