Kamis, 14 Mei 2015

Makalah Person Center Therapy (PCT)/Konseling dan Psikoterapi

MAKALAH
”Person Center Therapy”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Konseling dan Psikoterapi”
Dosen Pengampu :
Ayu Imasria Wahyu Liarni M.Psi
Disusun Oleh: Kelompok 4
1.      Amidana Hikmah                (2833133005)
2.      Duwi Apriana                      (2833133015)
3.      Ibrahim Hasan                     (2833133022)
4.      Luthfiyatus Sholihah           (2833133029)

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD)
Jurusan Tasawuf Psikoterapi (TP) 4 -A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR


Bismillahirrahmaanirrahim,
Alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah Swt, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul Person Center Therapy pada mata kuliah Konseling dan Psikoterapi.
Di dalam penyusunan makalah ini kami banyak menemui hambatan, namun berkat kerja keras dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya semua hambatan itu bisa teratasi. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada yang terhormat:
1.    Dr. Maftukhin M.Ag, selaku ketua Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung.
2.    Ayu Imasria M.Psi selaku dosen mata kuliah “Konseling dan Psikoterapi” sekaligus dosen pembimbing kami dalam pembuatan makalah ini.
3.    Segenap teman-teman yang telah memberikan banyak bantuan dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
              Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan atapun kurang detail, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami juga berharap semoga materi dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penyusun pada khususnya.


Tulungagung, 16 Mei 2015

                                                                                                            Penulis




DAFTAR ISI


DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Carl Ronsen Rogers (1902-1987) merupakan pelopor penemu Person Center Therapy. Rogers beranggapan bahwa setiap individu pada intinya merupakan sosok yang kreatif, sosialis, penuh hormat dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Untuk itu, dalam prakteknya Rogers memberikan kesempatan kepada klien untuk menumbuhkan kesadaran diri  dan dapat memahami dirinya sendiri. Lebih ditekankan lagi pada pengalaman pribadi yang dimiliki individu karena dapat membantu klien lebih mudah untuk mencari jalan keluar dari masalahnya.
Rogers menyatakan bahwa terdapat tiga kondisi yang harus dimiliki konselor dalam melakukan proses terapi, yaitu kongruens, penerimaan positif tanpa syarat, dan empati. Jadi terapeutik akan berhasil jika faktor-faktor tersebut juga dijalankan dengan baik.

B.     Manfaat Pembelajaran

Setelah memahami Person Center Therapy, maka mahasiswa dapat menerapkan terapi ini dalam kasus-kasus yang sering ditemui. Selain itu, mahasiswa juga menjadi yakin pada kemampuan yang dimilikinya dan menjadi pribadi yang utuh.

C.    Tujuan

Tujuan mempelajari Person Center Therapy yaitu untuk mengetahui tentang:
1.    Pengertian dan tehnik Person Center Therapy
2.    Perkembangan Person Center Therapy
3.    Teori dan konsep dasar Person Center Therapy
4.    Tujuan Person Center Therapy
5.    Hubungan dan Peran terapis dalam Peson Center Therapy
6.    Proses Person Center Therapy

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian dan tehnik Person Center Therapy

Person Center Therapy di cetuskan oleh Carl Ransom Rogers (1902-1987) dengan sebutan nondirective counseling. Rogers (sebagai terapis) meminimalkan pengarahannya dan membantu kliennya memperjelas persepsi mereka mengenai diri sendiri. Rogers meneliti tentang persepsi klien terhadap self-aktual dan self-idealnya. Reflection of feelings adalah teknik yang dilakukan terapis dalam  memposisikan dirinya sebagai cermin bagi klien, agar klien dapat lebih mengenal dirinya, menerima diri sendiri, dan kemudian dapat mempersepsikan keadaannya sekarang (Sundberg et al, 2002).[1]
Dalam pendekatan-pendekatan Person Centered, prinsip-prinsip dasar dalam terapi menurut Rogers bahwa manusia berpotensi menemukan masalah-masalahnya sendiri, hubungan antar individu lebih penting daripada masalah itu sendiri, dan individu lebih penting daripada solusi atas masalahnya. [2]
Tidak ada metode atau teknik yang spesifik dalam Person Center Therapy. Dalam Therapi ini, antara konselor dan konseli harus memilik hubungan yang dapat mendorong klien lebih terbuka mengungkapkan permasalahanya dan mempercayai terapis sepenuhnya. Karena itu disebut Client-Center Theraphy yang tehniknya menitik beratkan pada sikap-sikap terapis. Metode ini dikutip H.M.Arifin dari William  E.Hulme & Wayne K.Clymer yang mengemukakan bahwa metode Client-Center Therapi sering digunakan oleh pastoral counselor. Pada proses bimbinganya konselor lebih memahami kenyataan penderitaan klien yang biasanya bersumber pada perasaan berdosa yang banyak menimbulkan perasaan cemas konflik kejiwaan dan gangguan lainnya. Konselor harus bersikap sabar mendengarkan dengan penuh perhatian semua ungkapan batin yang diutarakan klien kepadanya.[3] Namun ada beberapa teknik dasar yang harus dimiliki terapis yaitu
a)      Mengalami dan Memperlihatkan Kongruen
Antara Terapis dan Klien harus memiliki hubungan yang kongruen, yaitu tercipta kecocokan dan kesesuaian. Konselor menunjukan tindakan yang apa adanya kepada klien seperti sikap hangat dan sabar dari terapis saat klien tertekan, kemarahan terapis saat klien menyerang dengan paksaan-paksaan yang kuat, kebosanan saat konseli mengomel. Akan tetapi sikap terapis tetap menunjukkan keprofesionalnya dihadapan klien sehingga klien semakin menumbuhkan rasa percayanya kepada terapis. Tanpa kepercayaan ini, klien tidak akan merasa bebas dalam mengungkapkan masalah-masalahnya.[4]
b)      Mengalami dan Menunjukkan Penerimaan Positif tanpa Syarat
Untuk membantu keberhasilan terapi, konselor harus memiliki sejenis rasa suka dan hormat kepada konseli. Sehingga hubungan hangat yang terjalin antara konselor dan konseli menumbuhkan minat yang dalam dari konseli untuk melanjutkan terapi. Dalam menunjukan sikap penerimaan tanpa syarat ini harus didahului sikap kongruen, agar sikap konselor terkesan serius dan apa adanya.
Sikap hormat berarti menghargai orang lain sebagai manusia yang mampu menemukan solusi-solusi atas permasalahannya sendiri dan memandang positif kepada klien bahwa terlepas dari apa yang dilakukannya dia telah berbuat yang terbaik sesuai dengan kemampuannya.[5]
c)      Mengalami dan Menunjukkan Rasa Empati.
Dengan berempati, seseorang masuk dalam diri orang lain dan menjadi orang lain agar bisa menghayati dan merasakan orang lain. Jadi, seseorang dimungkinkan untuk bisa memahami orang lain karena seseorang masuk dan menjadi sama dengan orang lain sehingga empati merupakan cara yang efektif untuk mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain. Menurut Rogers, empati bukan hanya bersifat kognitif saja, namun berupa emosi dan pengalaman.
Mengenai Empati ini, George & Cristiani (1981) mengemukakannya sebagai kemampuan untuk mengambil kerangka berpikir klient sehingga memahami dengan tepat kehidupan dunia dalam dan makna-maknanya dan bisa dikomunikasikaan dengan jelas terhadap klien. Menrut beberapa tokoh, perasaan empati ini dapat menyebabkan terapis ikut karut dalam kesedihan klient. Hal ini berdampak pada hilangnya identitas diri pada klien, dan hilang pula fungsinya sebagai terapis. Evey, at al (1987) mengutip Rogers yang mengingatkan ‘jika terapis bisa menangkap dunia pribadi klien, sebagaiman klien melihat dan merasakannya tanpa kehilngandiri identitasnya sendiri, perubahan konstruktif niscaya terjadi.[6]
Penemu teori berfokus pribadi adalah psikolog Carl Ransom Rogers (1902-1987). Rogers mengembangkan kepercayaan pada potensi semua individu untuk berkembang dalam kondisi yang suportif, penuh hormat, dan memercayai secara tulus. Pada 1942, Rogers mempublikasikan idenya dalam buku pertamanya Counselling and psychotherapy (konseling dan psikoterapi) yang merupakan konseling nondirective dengan menggunakan metode terapi tradisional. Selanjutnya, Clien-centered Therapy (terapi berfokus klien) pada muncul pada taun 1951, menekankan pada konselor harus menghormati kemampuan konseli pada proses konseling. Tahap yang ketiga yaitu tahun 1960, yang disebut dengan Person Center Therapy, merupakan  terapi berfokus pada pribadi, yang menekankan pada kemampuan dan perkembangan diri.
Debat dan diskusi selalu memastikan pertumbuhan terapi berfokus pribadi, termasuk munculnya varian-varian baru. Terapi keluarga berfokus pribadi, aliran berfokus yang terpisah dan penerapan prinsip-prinsip pribadi pada klien yang didiagnosis menderita gangguan mental berat, hanyalah tiga contoh perkembangan dari terapi itu. Yang mutakhir, dimensi spiritual dalam terapi berfokus pribadi juga telah di eksplorasi. Meskipun terdapat aspirasi religiusnya, baru tahun-tahun belakangan Rogers mempertimbangkan pengalaman transendental dalam konseling.
Prinsip-prinsip dasar pendekatan berfokus pribadi sekarang luas di terima sebagai basis pembentukan relasi positif yang memberdayakan dan sangat berpengaruh pada pendidikan, ketetapan kesehatan yang diatur undang-undang maupun sukarela, dan layanan social. Sebagai orientasi terapeuetik, pendekatan ini mempunyai pengikut yang luas, dengan praktisi terdapat di semua benua.
Konsep dasar dari client-centered therapy adalah bahwa inidividu memiliki kecenderungan untuk mengakutalisasikan diri (actualizing tendencies) yang berfungsi satu sama lain dalam sebuah organisme. Para terapis lebih terfokus pada “potensi apa yang dapat dimanfaatkan”. Didalam terapi, terdapat dua kondisi inti: congruence dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada bagaimana terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien sadar dan memaknai pengalaman tersebut. Unconditional positive regard adalah bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan dan menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di samping itu , terdapat juga sejumlah konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept, locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri. Locus of evaluation merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang yang bermasalah akan terlalu menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain (eksternal). Experiencing, adalah proses di mana klien mengubah pola pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi lebih terbuka.[7] Di jantung teori berfokus pribadi terdapat optimisme mendasar tentang kemampuan dan motivasi primer kita.
a)    Memberikan yang terbaik dari diri kita: kecenderungan beraktualisasi
Rogers menegaskan bahwa setiap pribadi itu adalah keseluruhan yang utuh, atau organism, dengan kecenderungan motivasi dasar, kecenderungan untuk beraktualisasi. Seperti yang dikatakan Rogers inilah kecenderungan organisme yang melekat pada dirinya untuk mengembangkan semua kapasitasnya sedemikian rupa untuk mempertahankan atau memperkuat organisme itu sendiri. Oleh karena itu, ketika kita bertumbuh dan berkembang, secara alami kita mendekati orang lain, lingkungan yang lebih luas dan pengalaman diri kita dengan cara yang mengantarkan kita menuju hal-hal positif dan membantu kita menghindari hal-hal yang negatif bagi kebaikan kita.
b)   Mempelajari siapa diri kita: perkembangan konsep diri 
Meskipun teori berfokus pribadi mengkonseptualisasikan idividu sebagai kesatuan utuh, satu aspek keberadaan kita memainkan peran kunci dalam perkembangan dan pemfungsian. Konsep diri mulai terbentuk pada usia dini, ketika kita mulai melihat terpisah dari mereka di sekitar kita. Kita mulai memikirkan diri sendiri dengan istilah ‘aku’ sebagai subjek dan ‘aku’ sebagai objek, sebagai pribadi unik dengan beragam karakteristik. Pengetahuan dan kesadaran diri ini awalnya tidak diartikulasikan, namun ketika kita bertumbuh, terutama ketika kita belajar bicara, secara bertahap kita mengonsolidasikan ide tentang diri sendiri. Jika perkembangan pengetahuan diri itu terjadi secara lengkap seirama dengan kecenderungan beraktualisasi, yaitu jika kita mulai mengenal diri sendiri sebagai pribadi yang sebenarnya, maka kita terus melangkah di sepanjang jalan kehidupan yang utuh dan memuaskan. Namun, mengenal diri kita tidak terjadi dalam isolasi dan aspek relasional keberadaan kita lah yang menyebabkan masalah.
c)         Kehilangan kepercayaan diri dan sumber kesedihan
Pemahaman diri kita berkembang pada suatu waktu ketika kita sangat tergantung pada orang lain untuk kebaikan fisik dan emosi kita. Hal itu menimbulkan konflik potensial antara pertumbuhan kita dan kepuasan orang-orang di sekitar kita. Memberi dan menerima kasih sayang, penerimaan dan cinta adalah positif, karena perasaan seperti itu memang memuaskan, namun kebutuhan untuk di senangi dan mendapatkan kehangatan dari orang lain bisa berkonflik dengan yang kita pandang sebagai hal yang baik bagi diri kita.
Pada tahap tertentu, kita bisa menahami diri melalui pesan yang diterima dari orang lain dan respon emosional mereka kepada kita. Pengakuan positif yang tak bersyarat ini diterima dimana di mungkinkan ada pesan dan bahkan cocok dengan pengalaman kita.
d)   Harga mempertahankan diri
Terkadang, konsep diri kita terancam terbuka kesenjangan antara yang kita perlukan untuk mempertahankan pemahaman kita tentang dunia dan diri kita, dan kasus apa yang sebenarnya kita rasakan. Tantangan radikal bisa terasa benar-benar seperti mengancam hidup kita, karena beberapa pengalaman menimbulkan pukulan yang sangat kuat dalam cara kita memandang diri, kita tak lagi mengenali siapa kita dan keterasingan diri seperti itu sangat mengerikan. Untuk melindungi terhadap ketidaknyamanan dan konflik internal, kita menyaring pengalaman internal dan eksternal dengan dua proses yang dikenal sebagai distorsi dan penyangkalan. Dalam mendistorsi pengalaman kita secara selektif mengambil yang sedang terjadi dan meninggalkan lainnya, atau kita memahami sesuatu dengan cara tertentu ketimbang cara lain.
Mendistorsi dan menyangkal pengalaman berarti bahwa kita terus menopang keterpecahan internal. Tekanan mental dan emosional adalah harga yang harus kita bayar. Bagi beberapa orang, sejauh mana kondisi berharga yang di proyeksikan itu di serap membuat kehidupan menjadi sumber ketakutan yang menetap. Selain itu, kedataran dan kekosongan yang menjadi bagian dari depresi menunjukkan harga yang harus di bayar karena meredam perasaan, ketidakpuasan, kesepian, kebingungan, kecemasan, kelelahan, kematian emosional, semuanya bisa berasal dari upaya kita memisahkan apa yang secara sadar kita tanggung dari pengetahuan terdalam kita.
e)    Transformasi kesedihan
Tujuan konseling berfokus pribadi adalah menawarkan kondisi yang akan memampukan terjadinya penyembuhan keterpecahan nurani dan memulai proses untuk menghubungkan kembali secara utuh dengan pengalaman dan proses penghargaan yang ada sejak lahir. Bertumpu pada alasan tunggal, namun sulit dijangkau bahwa menawarkan rasa hormat, pemahaman mendalam dan kehadiran yang tulus dan terbuka kepada klien akan menciptakan iklim keamanan dan kepercayaan tak bersyarat. Secara bertahap, klien akan semakin membutuhkan perlindungan terhadap pengalaman yang mengancam lapisan pelindung yang di bangunnya. Perasaan, pikiran dan persepsi yang sebelumnya telah di transformasikan atau di buang jauh-jauh dapat di pegang dalam kesadaran dan di nilai ulang, mengizinkan penyerapan pengalaman yang lebih memuaskan ke dalam diri.[8]

D.  Tujuan Person Center Therapy

Tujuan utama pendekatan person-centered therapy adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu konseli menjadi pribadi yang utuh, yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya dirinya. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam pendekatan person-centered, sebab konselor digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada konseli untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri.
Secara lebih terperinci, tujuan konseling person-centered adalah :
a)    Membantu konseli untuk menyadari kenyataan yang terjadi terhadap dirinya
b)   Membantu konseli untuk membuka diri terhadap pengalaman-pengalaman baru
c)    Menumbuhkan kepercayaan diri konseli
d)   Membantu konseli membuat keputusan sendiri
e)    Membantu konseli menyadari bahwa manusia tumbuh dalam suatu proses
      Konseli yang bisa dibantu menggunakan person-centered therapy, di antaranya adalah konseli dengan kondisi awal sebagai berikut :
a)    Konseli takut pada konselor dan konseling itu sendiri
b)   Konseli tidak bisa mengekspresikan pengalaman-pengalamannya
c)    Konseli menggunakan pandangan orang lain atau lingkungan sekitarnya dalam mengevaluasi tindakan dirinya
d)   Konseli menunjukkan perasaan negatif baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, misalkan tidak bisa mempercayai konselor
e)    Konseli belum bisa menerima tanggung jawab pada diri sendiri
f)    Konseli sering memandang dunia dengan suatu cara mekanik, sehingga menyulitkan diri untuk memisahkan objek dari pengalaman, fakta, dan situasi eksternal.

E.  Hubungan dan Peran terapis dalam Peson Center Therapy

Terapis meletakkan tanggung jawab proses terapi pada klien, dan ia berfungsi sebagai katalisator bagi perubahan klien. Terapis lebih sebagai cerminbagi sikap dan perilaku klien. Konselor membantu klien menyadar kekuatan-kekuatan yang dimiliki, sehingga ia sanggup mengambil keputusan-keputusan yang tepat bagi diri klien.
Tugas terapis atau konselor adalah membangun hubungan yang membantu klien mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area hidupnya yang sekarang didistorsi atau diingkarinya.[9]
Client-centered therapy(CCT) menekankan pada sikap dan kepercayaan dalam proses terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari pendekatan terapi ini adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat. Client-centered therapy beranggapan bahwa klien sanggup menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Perlu adanya respek terhadap klien dan keberanian pada seorang terapis untuk mendorong klien agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti arah-arahannya sendiri terutama pada saat klien membuat pilihan-pilihan yang bukan merupakan pilihan yang diharapkan terapis.Selain itu, juga mempunyai hubungan yang membantu keberhasilan terapi yang sudah disebutkan oleh Rogers yaitu kongruen, peneriaan positif tanpa syarat dan empatik terapis mencoba memahami situasi saat itu yang terjadi pada klien dan mencoba mendapatkan tanggapan kembali dari klien dengan lebih banyak informasi. [10]

F.   Proses Person Center Therapy

Proses konselingnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)        Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif, dengan tujuan agar klien mampu memilih sendiri apakah ia akan terus minta bantuan atau akan membatalkannya.
b)        Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, maka konseling menyadarkan hal ini kepada klien.
c)        Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya atau permasalahannya secara apa adanya, lengkap dan jelas. Dalam hal ini konselor harus menunjukkan sikap ramah, bersahabat dan menerima klien sebagaimana adanya.
d)       Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.
e)        Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya/masalahnya.
f)         Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.
g)        Klien merealisasikan pilihan itu dalam tindakan/perbuatan.[11]



BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Penemu Person Centered Therapy yaitu Carl Ransom Rogers. Rogers mengangap bahwa setiap individu merupakan manusia yang berpotensi,setiap sat mereka pasti akan beraktualisasi untuk mengembangkan potensi yang dimiliknya. Dalam terapinya, pengalaman yang dimiliki klien memiliki peranan penting dalam penyelesaian akhir dari masalah-masalah yang dialami klien. Pengalaman  yang dimiliki klien akan membantu menumbuhkan kesadaran pada diri klien. Jadi, pribadi yang utuh akan membantu klien untuk beraktualisasi pada arah positif.
Selan itu, terapis harus memiliki tiga kunci penting untuk keberhasilan terapinya, yaitu kongruen, penerimaan positif tanpa syaratn dan rasa empati pada klien. Jika semua itu diterapkan, maka klien dapat mengungkapkan segala permasalahanya kepada terapis dengan leluasa.
Pada perkembangannya, metode terapi yang ditemukan Rogers yaitu metode terapi tradisional, tahun 1942 atau disebut dengan konselin nonderektif. Lalu, pada tahun 1950, Client Center Therapy menjadi terapi yang begitu sering diterapkan rogers. Terapi ini, terapis menghormati seluruh kemampuan yang dimiliki klien dalam proses konseling. Selanjutnya, tahun 1960, merupaan perkembangan dari meode sebelumnya. Rogers menyebutnya sebagai Person Center Therapy.
Teori dan konsep dasar Person Center Therapy yaitu aktualisasi diri merupakan hal yang dapat membantu klien untuk menemukan konsep diri dan menjadikan dirinya sebagai pribadi yang utuh. Dalam proses terapi harus terdapat kongruen dan uncondisional positif regard dan empati. Selain itu, konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept, locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri.
Tujuan dari terapi ini yaitu terapis membanu mengarahkan klien untuk menyadari potensi yang dimilikinya dan menjadikan dirinya sebagai pribadi yang utuh. Setelah klien memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, maka klien dapat mengekspresikan isi hatinadan dapat menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pada diri klien.
Bagaimana hubungan antara terapis dan klien menjadi factor keberhasilan terapi. Hubungan yang diharapkan dari terapi ini bahwa antara terapis dan klien mempunyai hubungan yang hangat dan rasa saling percaya. Terapis mepercayai jika klien mampu menemukan penyelesaian yang baik, begitu juga klien, mempercayai akan kuitas yang dimiliki terapis.
Dalam proses terapi, klien akan kondisi inti pada klien akan mengarahkan diri klien pada konsep diri yang dimiliknya. Selanjutnya, klien akan mengeksplorasi cara baru dalam memandang dan menyadari dirinya. Setelah semua itu dilalui klien, maka klien dapat merealisasikan pilihan dan hasil akhir.

B.     Kelebihan dan kekurangan Person Center Therapy

a)              Kelebihan:
1.    Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
2.    Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada sikap terapi
3.    Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan optimis
4.    Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi, selain itu klien diberikan peluang yang lebih luas untuk mendengar dan didengar
5.    Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
6.    Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok

b)             Kekurangan:
1.    Tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu
2.    Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
3.    Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
4.    Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik mendengar dan merefleksi.
5.    Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah
6.    Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
7.    Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah praktisi terkadalang menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi person-centered.

C.  Saran

Setelah mempelajari Person Center Therapy, diharapakan mahasiswa dapat menerapkan terapi ini dalam sehari-hari. Walaupun banyak teori lain yang kita pelajari, tidak ada salahnya menerapkan terapi ini. Hal ini akan menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang berbagai terapi khususnya Person Center terapi. Materi yang ada dalam makalah ini merupakan sebagaian kecil dari sekian banyak pengetahuan tentang Person Center Therapy. Penyusun mohon maaf, dan mengharap kritik dan saran untuk perbaikan makalah.

DAFTAR PUSTAKA


Palmer, Stephen. Konseling dan Psikoterapi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2010
Geldard, Kathryn. Teknik Konseling, Pustaka pelajar: Yogyakarta, 2008
Gunarsa, Singgih. Konseling dan Psikoterapi, Libri: Jakarta, 2012
Erhamwilda. Konseling Islam, Graha Ilmu: Yogyakarta, 2009
http://marisameadow.blogspot.com/2013/04/person-centered-therapy.html









[2] [2] Kathryn Geldard, Teknik Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hal. 36-37
[3] ErhamWilda, Konseling Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hal.101
[4] Stephen Palmer, Konseling dan Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 310-314
[5] Kathryn Geldard, Teknik Konseling (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) hal. 44
[6] Singgih D.Gunasra, Konseling dan Ksikoterapi (Jakarta: Libri) hal. 70-75
[7] http://herjuno-tisnoaji.blog.ugm.ac.id/2012/03/15/client-centered-therapy/
[8] Stephen Palmer, Konseling dan Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal. 303-309
[9] ErhamWilda, Konseling Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) hal. 85
[10] http://herjuno-tisnoaji.blog.ugm.ac.id/2012/03/15/client-centered-therapy/
[11] http://marisameadow.blogspot.com/2013/04/person-centered-therapy.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar