Jumat, 11 Maret 2016

LAPORAN PENELITIAN KUALITATIF
DINAMIKA PSIKOLIGIS CITRA DIRI NEGATIF
MAHASISWA IAIN TULUNGAGUNG
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF”
Dosen Pengampu :
Arman Marwing, S.Psi, M.A


Disusun Oleh:
1.       Amidana Hikmah                  : (2833133005)
2.       Evi Cholifatur Rohmah         : (2833133018)
3.       Fatmawati Ramadhani          : (2833133019)
4.       Khusnul Fuad                        : (2833133027)
5.       Melda Andyani Sari              : (2833133031)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI 5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG

2015



KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Dinamika Psikologis Citra Diri Negatif Mahasiswa IAIN Tulungagung” ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
  1. Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)  Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini.
  2. Arman Marwing, S.Psi, M.A selaku Dosen Pembimbing matakuliah Metodologi Penelitian Kualitatif Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
  3. Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada pembaca pada umumnya.

     Tulungagung, 03 Januari 2016

                                 Penulis



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I      PENGANTAR
A.  Latar Belakang Penelitian.................................................................... 1      
B.   Rumusan Masalah Penelitian.............................................................. 6      
C.   Keaslian Penelitian.............................................................................. 6
D.  Tujuan Penelitian ................................................................................  8
E.   Manfaat Penelitian ..............................................................................  8
BAB II     TINJAUAN PUSTAKA
A.  Citra Diri Negatif dan Kecemasan...................................................... 10    
B.   Karakteristik Kepribadian Citra Diri Negatif..................................... 13    
C.   Dukungan Sosial Citra Diri Negatif.................................................... 17
D.  Strategi Coping Citra Diri Negatif .....................................................  24
E.   Dampak Psikologis Citra Diri Negatif ...............................................  29
F.   Kerangka Pikir Penelitian.................................................................... 31
G.          Pertanyaan Penelitian...................................................................... 33
BAB III   METODE PENELITIAN
A.  Pendekatan Fenomenologi................................................................... 35    
B.   Sumber Data......................................................................................... 36    
C.   Analisi Data......................................................................................... 41
D.  Keabsahan Data ...................................................................................  42
BAB IV   HASIL PENELITIAN
A.  Pelaksaan Penelitian............................................................................ 44    
B.   Hasil Penelitian.................................................................................... 45    
C.   Pembahasan.......................................................................................... 50
BAB V    PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................... 57    
B.    Saran..................................................................................................... 58
LAMPIRAN

BAB I
PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah
Percaya diri dalam segala aktifitas merupakan hal yang selalu diinginkan bagi setiap orang. Mereka akan melakukan apapun untuk mendapatkan kepercayaan dirinya. Yang perlu digaris bawahi adalah kekurangan dan kelebihan fisik bukan hal utama yang dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri diperoleh dari keyakinan dan dibalik semua yang ada dalam diri pasti memiliki potensi yang dapat digali. Jadi, bukan sibuk untuk menyembunyikan kekurangan fisiknya yang ada tapi lebih pada mengembangkan potensi yang dimiliki.
Penampilan fisik yang sempurna memberikan kontribusi yang besar terhadap kepercayaan diri. Tubuh merupakan bagian utama dalam penampilan fisik. Bentuk tubuh  menjadi  representasi  diri  yang pertama  dan  paling  mudah  terlihat.  Hal ini  menyebabkan  orang  kemudian menjadi  terdorong  untuk  memiliki  tubuh yang  ideal  (Breakey,  1996).  Keinginan untuk  memiliki  bentuk  tubuh  yang  ideal berkaitan  erat  dengan  istilah  citra  tubuh.
Ada beberapa diantaranya yang merubah penampilannya sebagian atau bahkan secara keseluruhan. Misalnya perubahan penampilan yang dilakukan dengan cara operasi plastik mulai mereka gunakan untuk mempercantik diri. Data-data mengenai bedah plastik dibeberapa negara menurut sebuah jejak pendapat terbaru di Korea menyatakan bahwa 77 persen wanita di Korea merasa perlu melakukan operasi plastik (Korean times). Terdapat lebih dari 1,8 juta prosedur bedah kosmetik dilakukan di AS pada tahun 2006. Bedah plastik di AS dalam setahun terdapat 10,2 juta orang yang melakukan bedah plastik. Menurut ASAPS (American Society for Aesthetic Plastic Surgery), jumlah pasien estetik meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan terbesar, 44 persen terjadi dari tahun 2003-2004. Dalam rentang tahun 1997-2004 jumlah pasien bedah plastik di AS meningkat 465%. Di Inggris setiap tahun yang menjalani operasi plastik sekitar 750.000 orang. Sedangkan di Shanghai Cina terdapat data dilakukan rata-rata 100 pembedahan setiap harinya.
Di Indonesia, sebenarnya operasi plastik juga bukan “barang baru” lagi. Menurut dr. Irene selaku dokter di R.S Kanker Darmais, mendefinisikan bedah plastik estetik adalah tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penampilan tubuh yang sudah baik menjadi lebih baik. Bedah plastik estetik di Indonesia mulai berkembang sejak awal periode 1980-an. Namun, jumlah pasiennya memang belum sebanyak saat ini. Misalnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo, jumlah pasien bedah plastik estetik sepanjang tahun 2005 mencapai 126 orang, dan di klinik Bedah Plastik Bina Estetika, tiap tahun menerima sekitar 1.500 pasien. Sedangkan di Resort Gunung Geulis-Bogor, sejak tahun 2005 telah berdiri  Aibee Hospital, sebuah rumah sakit khusus bedah plastik estetik yang didukung penuh oleh konsultan-konsultan dokter ahli bedah plastik terbaik di Brazil dan PERAPI (Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia).
 Mereka merasa jika orang lain mengatakan bahwa penampilannya itu sempurna, maka kepercayaan itu akan mereka dapatkan. Mereka belum memahami dirinya dengan baik, memahami kekurangannya dengan baik. Oleh karena itu, makna kecantikan saat ini harus diarahkan pada aspek ruhaniah atau inner beauty. Kecantikan yang seharusnya adalah dengan memberikan energy positif bagi lingkungan dan orang-orang sekitar. Sehingga pandangan mengenai kecantikan akan berubah, yang sebelumnya kecantikan itu dipandang dari kesempurnaan fisik berubah menjadi pribadi yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang baik, dan peduli terhadap sesama.
Fakta dari beberapa informasi beberapa mahasiswa adalah beberapa gambaran diri yang dimiliki oleh wanita bahwa kecantikan sebagai sumber utama untuk memperoleh kepercayaan diri. Yang terjadi dalam realitanya adalah lingkungan dalam setiap waktu dan budaya memiliki perbedaan dalam menilai kecantikan seseorang. Beberapa mengatakan bahwa kecantikan didapatkan dengan memiliki tubuh yang langsing, berkulit putih, memiliki hidung yang mancung. Pandangan seperti itu yang memberikan dampak lebih besar terhadap citra diri negative mahasiswa. Lingkungan social lebih banyak menganggap bahwa dengan kesempurnaan fisik, seseorang memiliki suatu keistimewaan.  Kecantikan,  keberhasilan,  kebahagiaan,  dan  harga  diri  dapat  diraih  bila  para  perempuan memiliki  bentuk  tubuh  yang  ideal dan sempurna. 
Strategi coping banyak dilakukan beberapa kaum wanita karena terkena dampak citra diri negative. Hal itu mereka lakukan sebagai salah satu upaya untuk memiliki kesempurnaan fisik, Diantaranya yaitu fenomena dalam dunia selebriti yang marak melakukan operasi plastic, melakukan make over yang menjadikan bentuk wajah asli tersamarkan.
Mereka melakukan strategi coping itu dengan berbagai alasan. Sesuai dengan citra diri yang negative pada diri perempuan, maka akan menentukan tujuan membentuk dan melakukan strategi coping. Hasil dari strategi coping yang dilakukan perempuan misalnya yaitu bertujuan memiliki fisik yang sempurna, mempunyai kulit putih, membentuk lesung pipit, mengencangkan kulit wajah dan mempunyai bentuk bibir yang bagus. 
Selain itu, strategi coping yang dilakukan para remaja misalnya dengan melakukan diet. Remaja perempuan yang memiliki sikap yang mendukung terhadap persuasi untuk bertubuh ideal menurut ukuran  media  akan  lebih  mudah  mengalami  ketidakpuasan  terhadap  citra  tubuhnya  (body  image  dissatisfaction). Esther (2002) menemukan beberapa fakta, yaitu (1) 62% subjek penelitian ingin menurunkan berat badan setelah menonton acara peragaan busana dan penampilan para artis di televisi dan (2) 75% subjek penelitian yang  suka membaca artikel tentang bentuk tubuh yang langsing di media cetak merasa tidak puas dengan citra tubuh mereka.
Attie dan Brooks-Gunn; Strong dan Huon (dalam Haugaard, 2001)  menyatakan  bahwa  perempuan  yang  merasa  tidak  puas  dengan  bentuk  tubuh  mereka  akan  berisiko  lebih tinggi untuk melakukan diet yang serius dan  mengalami gangguan makan dibandingkan dengan perempuan yang telah merasa puas dengan bentuk tubuh mereka. Ketidakpuasan terhadap citra tubuh dapat meningkatkan perilaku merokok  di  kalangan  remaja  perempuan  karena  merokok  merupakan  salah  satu  metode  penurunan  berat  badan yang umum digunakan oleh remaja masa kini (Berg, dalam Dittrich, 2003).
Guiney  dan  Furlong  (dalam  Rice  dan  Dolgin,  2002)  menyatakan  bahwa  pada  remaja  perempuan, ketidakpuasan terhadap citra tubuh berdampak pada harga diri yang lebih rendah daripada remaja perempuan yang lain. Penelitian dari Siegel dkk. (dalam Rice & Dolgin, 2002) menemukan bahwa citra tubuh yang negatif merupakan penyebab  utama  remaja  perempuan  menjadi  lebih  depresif  daripada  remaja  laki-laki.  Rodin  dkk.  (dalam  Dittrich, 2003) menambahkan bahwa perasaan devaluasi diri, disforia (depresi), dan tidak berdaya lebih sebabkan karena standar  “ideal”  budaya  yang  tidak  dapat  dicapai  oleh  kebanyakan  perempuan.  Bahkan,  menurut  American Association of University Women (dalam Dittrich, 2003), ketidakpuasan terhadap citra tubuh ini berhubungan dengan risiko bunuh diri pada remaja perempuan.
Beberapa pandangan itu berdampak pada sikap individu yang mudah tertarik dengan alat-alat kosmetik, media massa yang menawarkan berbagai penunjang karir. Mereka bahkan menjadi pribadi yang kurang nyaman dengan apa yang dimilikinya, dan kesulitan mengontrol stimuli-stimuli pemicu stress karena mereka seperti dituntut oleh lingkungan.
Fakta diatas merupakan salah satu alasan mengapa mereka melakukan berbagai upaya untuk tampil secara sempurna. Bahkan mereka yang terlihat tidak memiliki kekurangan secara fisik juga merasa kurang sempurna. Lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap kepercayaan diri dan citra diri seseorang. Seperti halnya citra diri negative yang dialami oleh beberapa mahasiswa. Beberapa siswa merasa bahwa dirinya terlalu gemuk, memiliki kulit yang hitam dan penampilan kurang menarik.
Subjek yang pertama pada penelitian kami misalnya, merasa kurang lebih pandai dalam hal apapun dari teman-temannya. Penampilan yang kurang menarik, sehingga dia mengalami kesulitan untuk bergaul sebagai salah satu alasanya. Subjek yang kedua lebih terobsesi pada kesempurnaan fisik dengan memiliki tubuh langsing. Tubuh yang dimilikinya sekarang dirasakannya sebagai kecacatan fisik yang harus diperbaiki.
Subjek yang pertama maupun subjek yang kedua sama-sama merasa memiliki fisik yang kurang sempurna. Subjek yang pertama memiliki strategi coping pada hal negative, yaitu menyembunyikan kegelisahan atas kekurangan yang dirasakanya. Hal itu berdampak pada kehidupan sosial yang dia lakukan dengan teman-teman pergaulannya. Strategi coping yang dilakukanya itu berupa keengganan untuk bergaul dan menjadi pribadi yang lebih tertutup.
Dari beberapa wawancara yang kami lakukan, citra diri negative sering membawa dampak dalam segala aktifitasnya. Dia merasa dirinya kurang sempurna, walaupun pada kenyataannya dia memiliki fisik yang sempurna. Citra diri negative muncul karena dilatarbelakangi oleh berbagai factor, misalnya pola asuh orang tua yang kurang memperhatikan kehidupan anak, kurang adanya dukungan social, dan konsep diri yang belum terbentuk dengan matang.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang strategi coping citra diri negatif mahasiswa.
Mahasiswa yang memiliki citra diri negative menyandang stigma kurang sempurnaannya yang membuat mereka termarjinalkan dari penerimaan sosial yang utuh sehingga hal ini dapat membuat arahan pada pembentukan identitas sosial yang rusak.
Penelitian ini mengarah pada pembahasan tentang karakteristik kepribadian begi mahasiswa yang memiliki citra diri negatif, dukungan sosial yang didapatkan, dan strategi pengatasan masalah yang digunakan serta dampak psikologisnya. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain study kasus untuk menghasilkan pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena yang diteliti.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
rumusan masalah penelitian adalah bagaimana dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negatif. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian,
permasalahan penelitian dibatasi dalam sub problematik sebagai berikut;
1.      Bagaimana pengaruh citra diri negative mahasiswa?
2.       Bagaimana karakteristik kepribadian mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
3.       Apa dukungan sosial yang didapatkan oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
4.       Bagaimana strategi pengatasan coping mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
5.       Bagaimana dampak psikologis pada mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
C. Keaslian Penelitian
Hal yang membedakan dari penelitian ini adalah pada metode
penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Penelitian tentang strategi coping citra diri negative mahasiswa yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain sebagai berikut:
1.   Kussein (1997), Berpendapat bahwa pada dasarnya citra diri adalah penafsiran seseorang secara subyektif pada dirinya sendiri, oleh karena itu sering terjadi kekeliruan dalam menafsirkan karena individu mengabaikan faktor-faktor obyektif yang ada. Contohnya remaja putri menganggap bahwa tubuh mereka kegemukan walaupun pengamat-pengamat lainnya menilai mereka tidak kegemukan. Memiliki bintik diwajah maupun memakai kaca mata dapat dianggap sebagai cacat besar, dan memiliki cacat fisik mungkin dapat dipandang sebagai keadaan puncak yang mengarah pada perasaan tidak puas dan penolakan terhadap fisik.
2.     Hadisubrata (1997), menyatakan bahwa citra diri bersifat subyektif, sebab hanya didasarkan pada interpretasi pribadi tanpa mempertimbangkan atau meneliti lebih jauh kenyataan benarnya. Penelitian tersebut tidak didasarkan pada apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang lain, tetapi didasarkan pada interpretasi pribadi terhadap apa yang menurut pendapatnya dipikirkan oleh orang lain tentang kenyataan dirinya dan penilaian itu dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, dapat terjadi orang yang secara obyektif memiliki banyak kelebihan namun citra dirinya negatif.
3.   Mahasiswa yang tidak berpikir positif cenderung memiliki tingkatan citra diri negative yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini dikembangkan dari model pendekatan berpikir positif Elfiky (2008) yang dikombinasikan dengan beberapa pendekatan psikologi, yaitu relaksasi,  visualisasi,  dan  afirmasi.  Kepribadian yang baik membawa diri agar selalu berpikir  positif, hal ini didasarkan  pada  asumsi  bahwa  manusia  memiliki kesanggupan untuk berpikir, maka manusia mampu untuk melatih dirinya sendiri agar dapat mengubah atau menghapus keyakinan yang  merusak dirinya sendiri (Ellis dalam Corey, 2007). Dalam tinjauan pustaka dijelaskan bahwa akibat ketidakpuasan terhadap citra tubuh meliputi gangguan makan, diet yang justru menyebabkan kelebihan berat badan, olahraga yang berlebihan (kadang-kadang disebut exercise bulimia) dan perilaku-perilaku menghukum diri yang lain.
4.   Penelitian  tentang  citra  tubuh  (body  image)  dan  konsep  tubuh  ideal  sudah  banyak dilakukan  selama  beberapa  tahun  terakhir  dengan  berbagai  macam  metode  dan  sudut  pandang bidang-bidang keilmuan yang berbeda. Pada kesempatan kali ini, peneliti tertarik untuk menggali lebih  dalam  mengenai  citra  tubuh  dan  konsep  tubuh  ideal  yang  berkembang  di  kalangan mahasiswi  perguruan  tinggi IAIN Tulungagung dengan  menggunakan  metode  wawancara  mendalam  dan  sudut pandang biokultural. Penelitian sebelumya tidak membahas tentang system coping citra diri negative yang digunakan oleh mahasiswi. Untuk itu, penelitian yang kami lakukan masih jarang dilakukan atau bahkan belum pernah dilakukan dari sepengetahuan peneliti.
5.   Secara  umum,  mahasiswi  perguruan  tinggi  termasuk  dalam  kelompok  usia  remaja  pradewasa (Kartono, 1990). Dalam usia ini, biasanya para mahasiswi mulai sibuk memikirkan dan merencanakan masa depannya, misalnya dengan siapa dia akan menikah dan pekerjaan apa yang akan dilakukan setelah lulus kuliah. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi citra tubuhnya. Pada penelitian ini, subyek yang dipilih adalah para mahasiswi semua jurusan pada perguruan t|inggi IAIN Tulungagung. Peneliti ingin mengetahui persoalan-persoalan  apa  saja  yang  dihadapi  oleh  para  mahasiswi  tersebut  berkenaan  dengan  tubuhnya, kemudian  bagaimana  persoalan-persoalan  tersebut  membentuk  citra  tubuh  dan  konsep  tubuh ideal mereka. Sebagai upanyanya strategi coping dampak citra diri negative begitu meluas dilakukan beberapa mahasiswa
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menelaah dan memahami tentang dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negatif. Mahasiswa sebagai kejadian yang berhubungan dengan konsep diri yang belum matang, karakter kepribadian, dukungan sosial yang didapatkan, strategi pengatasan masalah dan dampak psikologis. Pendekatan kualitatif dengan studi kasus dilakukan untuk menggali dan mengungkap pengalaman mahasiswa tentang strategi coping secara menyeluruh (komprehensif).
E. Manfaat Penelitian
1.       Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat menunjukkan mengenai gambaran tentang
dampak citra diri negative terhadap konsep diri mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang  melakukan berbagai upaya strategi coping citra diri negative mahasiswa mengalami keadaan mental yang kurang nyaman dan pemicu-pemicu stress mudah muncul
. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Psikologi, yaitu dapat memberikan informasi tentang dampak citra diri negatif, yang berakibat pada terganggunya kondisi mental seseorang.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan
tambahan informasi bagi mahasiswa untuk menjadikan kecantikan fisik bukan sebagai prioritas utama.
Kecantikan yang seharusnya adalah dengan memberikan energy positif bagi lingkungan dan orang-orang sekitar. Sehingga pandangan mengenai kecantikan akan berubah, yang sebelumnya kecantikan itu dipandang dari kesempurnaan fisik berubah menjadi pribadi yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, memiliki perilaku yang baik, dan peduli terhadap sesama.
Pola berfikir positif dapat diterapkan oleh semua mahasiswa kususnya wanita sebagai subjek utama dari penelitian kami. Denagn berfikir positif, maka akan berdampak pada pembentukan kesadaran diri, pemahaman diri, dan konsep diri yang baik. Jika kepribadian dapat terbentuk dengan baik, maka konsep penerimaan diri para mahasiswa menjadi hal yang mudah untuk diterapkan.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Citra Diri Negative dan Kecemasan
1.    Pengertian Citra Diri Negatif
Menurut Honigman dan Castle, body image  adalah  gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif (Dewi, 2009).
Menurut  Stuart  (1995)  citra diri  adalah  sikap  seseorang  terhadap tubuhnya  secara  sadar,  sikap  ini mencakup  persepsi  dan  perasaan  tentang ukuran,  bentuk,  fungsi,  penampilan, potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara  berkesinambungan  dimodifikasi dengan pengalaman yang baru.
Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh  dipengaruhi oleh pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dari pandangan orang lain (Potter & Perry, 2005).
Sejak lahir individu mengeksplorasikan bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya dan menerima stimulus orang lain. Pandangan realistis terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis.
Citra diri yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk individu, perasan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu sebenarnya. Individu merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk tubuh dan ukuran tubuh individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu merasakan malu, self-conscious, dan khawatir akan badannya. Individu merasakan canggung dan gelisah terhadap badannya.
Jadi, citra diri merupakan bagaimana cara individu mempersepsikan tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi tubuh berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, citra tubuh adalah kumpulan sikap individu, baik yang disadari ataupun tidak yang ditujukan terhadap dirinya.
2.    Penyebab Munculnya Citra Diri Negatif
Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan aspek lainnya dari konsep diri. Selain itu, sikap dan nilai kultural dan sosial juga mempengaruhi citra tubuh.
Pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan oleh persepsi dan pandangan orang lain. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistik terhadap dirinya, menerima dan mengukur bagian tubuhnya akan membuatnya lebih merasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri.
Proses tumbuh kembang fisik dan kognitif perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh bila dibandingkan dengan aspek lain dari konsep diri (Potter & Perry, 2005).
Santrock (2003) juga  menegaskan bahwa perhatian pada tampilan fisik atau citra  tubuh  seseorang  sangat  kuat  terjadi pada  masa  remaja,  baik  pada  remaja perempuan maupun laki-laki. Para remaja akan  melakukan  berbagai  usaha  untuk mendapatkan  tampilan  fisik  yang  ideal sehingga  terlihat  menarik,  seperti menggunakan  pakaian  yang  sesuai ataupun  melakukan perawatan tubuh dan wajah,  namun  itupun  belum  memuaskan penampilan mereka.
Dari uraian diatas, beberapa hal yang dapat mempengaruhi terbentuknya citra diri negative yaitu individu terlalu fokus terhadap bentuk fisiknya, cara individu memandang dirinya berdampak penting terhadap   aspek psikologis individu tersebut. Selain itu Citra tubuh seseorang sebagian dipengaruhi oleh sikap dan respon  orang lain terhadap dirinya, dan sebagian lagi oleh eksplorasi individu terhadap dirinya. Gambaran yang realistis tentang menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman serta mencegah kecemasan dan meningkatkan harga diri.
3.    Kecemasan Terhadap Citra Diri Negatif
Pada  aspek  pikiran, terdapat kecemasan  terhadap diri seseorang yang memiliki citra diri negatif.  Dalam aspek  ini  subjek  mengalami kecemasan  terhadap  tubuhnya  dengan seringkali  bercermin,  memperhatikan wajahnya  dan  berpikir  untuk  selalu tampil  cantik  dan  kekurangan  fisik tertutupi.  Meski  demikian,  subjek tidak merasa  cemas  saat  orang  lain memperhatikan  dirinya.
Begitupun dalam  pikiran  negatif  tentang  tubuh, subjek  seringkali  berpikir  negatif tentang  tubuhnya  dimana  subjek minder dan malas bicara jika bersama dengan  orang  yang  tampilan  fisiknya lebih  cantik  daripada  subjek,  subjek lebih  memilih  untuk  diam  karena berpikir  bahwa  subjek  akan  kalah cantik  atau  takut  tersaingi  dengan orang  lain  yang  dianggapnya  lebih cantik daripada dirinya.
Dalam  aspek  Aspek  Perasaan (Afeksi)  ketidakpuasan  terhadap bagian  tubuh,  ketidakpuasan  subjek tepat  pada  bagian  tubuh,  mulai  dari hidung,  tinggi  badan,  kulit,  rambut, payudara,  bokong,  bahkan  hampir seluruh  tubuh.  Begitupun  dalam perasaan negatif tentang tubuh,  subjek memiliki  perasaan  negatif  dimana subjek  merasa  benci  dengan  kulitnya saat  ini  karena  menggelap,  sehingga timbul  perasaan  tidak  puas  dengan fisiknya.
Pada  faktor  standar  kecantikan yang  tidak  mungkin  dicapai, lingkungan  subjek  tidak  menuntut subjek untuk tampil  ideal, kesan awal yang  sempurna  membuat  subjek menuntut  dirinya  sendiri  untuk  tetap sempurna.  Subjek  merasa banyak kekurangan dan ingin merubah fisik  (seperti  memutihkan  kulit, memancungkan  hidung,  transplantasi tulang  dan  berpayudara  besar).  Biaya adalah  satu-satunya  alasan  mengapa subjek  belum  mampu  mencapai tampilan  fisik  yang  sesuai keinginannya.
Jadi, kecemasan itu muncul karena adanya faktor  rasa  tidak  puas  yang mendalam terhadap kehidupan dan diri sendiri,  dimana  dalam  subjek  ini bentuk  ketidakpuasan  subjek terefleksikan  dari  kebiasaannya bercermin  dan  memperhatikan wajahnya  dengan  intensitas  yang sering,  subjek  juga  mengeluhkan bentuk  wajahnya  yang  menurutnya jelek  dan  selalu  menggunakan  makeup  untuk  atasi  ketidakpuasan  fisiknya tersebut.
B.    Karakteristik Kepribadian Citra Diri Negative
1.   Pengertian Kepribadian
Kepribadian  menurut  GW.  Allport  adalah  suatu  organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku  dan  pemikiran  individu  secara  khas. Kepribadian  juga merupakan jumlah total kecenderungan bawaan atau herediter dengan berbagai pengaruh dari lingkungan serta pendidikan, yang membentuk kondisi  kejiwaan seseorang  dan  mempengaruhi  sikapnya  terhadap kehidupan.
Sedangkan  karakter adalah cara  berpikir dan berperilaku yang menjadi  ciri  khas  tiap  individu  untuk  hidup  dan  bekerja  sama,  baik dalam  lingkup  keluarga,  masyarakat,  bangsa  dan  negara.  Individu yang  berkarakter  baik  adalah  individu  yang  bisa  membuat  keputusan dan siap  mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Alwisol  menjelaskan  pengertian  karakter  sebagai penggambaran  tingkah  laku  dengan  menonjolkan  nilai  (benar-salah, baik-buruk)  baik  secara  eksplisit  maupun  implisit.  Karakter  berbeda dengan  kepribadian  karena  pengertian  kepribadian  dibebaskan  dari nilai.  Meskipun  demikian  baik  kepribadian  (personality)  maupun karakter  berwujud  tingkah  laku  yang  ditujukan  kelingkungan  sosial, keduanya  relatif  permanen  serta  menuntun,  mengerahkan  dan mengorganisasikan aktifitas individu.
Berdasarkan  pengertian  tersebut,  dapat  disimpulkan  bahwa kepribadian  meliputi  segala  corak  perilaku  dan  sifat  yang  khas  dan dapat diperkirakan pada diri seseorang atau lebih bisa dilihat dari luar, yang  digunakan  untuk  bereaksi  dan  menyesuaikan  diri  terhadap rangsangan,  sehingga  corak  tingkah  lakunya  itu  merupakan  satu kesatuan  fungsional  yang  khas  bagi  individu  itu,  seperti  bagaimana kita  bicara,  penampilan  fisik,  dan  sebagainya.  Sedangkan  karakter lebih  bersifat  inheren  dan  tidak  tampak  secara  langsung.  Seperti bagaimana  sikap  kita  menghadapi  orang  lain,  sifat  kita,  dan sebagainya.
2.   Karakteristik Kepribadian Citra Diri Negatif
Seseorang yang memiliki citra diri negative dapat diketahui dari karakteristik-karakterisik kepribadian tertentu. Misalnya mereka akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan linkungannya tanpa memikirkan apakah hal yang dilakukannya bermanfaat ataukah justru dapat memberikan dampak yang buruk.
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjusment atau personal adjustment. Haber & Runyon (1984) memberikan pengertian penyesuaian diri sebagai tingkah laku yang ditunjukkan seseorang yang disesuaikan dengan tuntutan situasi yang dialami.
Schneiders (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, adalah orang yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap dirinya, dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku.
Corsini (2002) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan modifikasi dari sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif. Grasha dan Kirschenbaum (1980) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah tingkah laku yang ditunjukkan oleh seseorang yang disesuaikan dengan tuntutan situasi yang dialami. Gerungan (1988) mendefenisikan penyesuaian diri secara aktif dan pasif.
Secara aktif, yaitu ketika individu mempengaruhi lingkungan sesuai dengan keinginannya. Sedangkan secara pasif, yaitu ketika kegiatan individu dipengaruhi lingkungannya. Tidjan (dalam Kristiyanti, dkk, 1990) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang lebih baik antara dirinya dengan lingkungan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, tuntutan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya secara matang, bermanfaat, efisien, efektif, dan memuaskan yang disesuaikan dengan tuntutan situasi yang dialami individu. Individu dapat mempengaruhi lingkungan secara aktif dan pasif.
Pada kepribadian individu yang memiliki citra diri negative akan bersikap secara pasif. Mereka akan bertindak karena tuntutan dari lingkungan sosialnya. Selain itu, penyesuaian diri akan selalu dilakukannya sebagai kebutuhan yang mendasar. Hal ini dapat berdampak kurang baik terhadap psikologisnya jika penyesuaian diri yang dilakukannya tidak berhasil, atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
3.   Pengaruh Kepribadian terhadap Citra Diri Negatif
Sejalan dengan itu, Keliat (1992) menyatakan bahwa citra tubuh berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistis terhadap diri serta kemampuan menerima keadaan tubuh akan membuat individu terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri individu.
Pernyataan ini dikuatkan dengan penelitian oleh Casper & Offer (1990) bahwa pada wanita, keinginan untuk mengubah tubuh dan penampilan diasosiasikan dengan menurunnya tingkat harga diri. Hal ini bisa mendorong munculnya gangguan makan. Dalam beberapa kasus, gangguan ini bisa berkembang menjadi patologis, seperti anorexia atau bulimia (Casper & Offer, 1990).
Persepsi negative terhadap tubuh membuat wanita tidak bisa menghargai diri mereka sendiri. Wanita yang fokus hanya fokus pada tubuhnya tidak akan mampu menggunakan energinya untuk aspek lain dalam hidupnya. Usaha yang terus menerus untuk mencapai tubuh yang ideal bisa menimbulkan obsesi terhadap makanan. Selain itu, timbul masalah psikologis lainnya, seperti mudah marah, merasa gagal dan  inferior, masalah ingatan, kecemasan, dan gangguan penyesuaian (Barnard, 1992).
Berscheid (Papalia & Olds, 2004) menyatakan bahwa wanita yang memiliki persepsi positif terhadap citra tubuh lebih mampu menghargai dirinya. Individu tersebut cenderung menilai dirinya sebagai orang degan kepribadian cerdas, asertif, dan menyenangkan. Dacey dan Kenny (1994) mengemukakan bahwa persepsi negatif remaja terhadap citra tubuh akan menghambat perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang positif dengan remaja lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh individu memiliki pengaruh terhadap kepribadian. Individu yang memiliki citra tubuh positif cenderung memiliki kepribadian sehat yang diasosiasikan dengan peningkatan kualitas hidup, seperti peningkatan harga diri, kepercayaan diri, dan kesehatan mental. Sebaliknya, individu yang memiliki citra tubuh negatif cenderung mengembangkan kepribadianya yang tidak sehat, seperti penurunan harga diri, kemampuan interpersonal yang buruk, bahkan dalam banyak kasus berkembang menjadi patologis, seperti anorexiadan bulimia.
C.    Dukungan Sosial Citra Diri Negative
1.   Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan sumber daya sosial yang dapat membantu individu dalam menghadapi suatu kejadian menekan. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok.
Senada dengan pendapat diatas, beberapa ahli Cobb, 1976; Gentry and Kobasa, 1984; Wallston, Alagna and Devellis, 1983; Wills, 1984 : dalam Sarafino, 1998) menyatakan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial akan meyakini individu dicintai, dirawat, dihargai, berharga dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya.
Menurut Schwarzer and Leppin, 1990 dalam Smet, 1994; dukungan sosial dapat dilihat sebagai fakta sosial atas dukungan yang sebenarnya terjadi atau diberikan oleh orang lain kepada individu (perceived support) dan sebagai kognisi individu yang mengacu pada persepsi terhadap dukungan yang diterima (received support).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Bentuk dukungan ini dapat berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.
2.               Klasifikasi Dukungan Sosial
Cohen & Syme (1985), mengklasifikasikan dukungan sosial dalam empat kategori yaitu :
a.    Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi individu. Dukungan ini, meliputi memberikan nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap.
b.   Dukungan emosional, yang meliputi ekspresi empati misalnya mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi.
c.    Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan, permainan atau bantuan yang lain.
d.   Dukungan appraisal atau penilaian, dukungan ini bisa terbentuk penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.
Dari pendapat tersebut kembali di perkuat oleh Sheridan & Radmacher (1992) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang melibatkan aspek- aspek informasi, perhatian emosi, penilaian dan bantuan instrumental. Ciri-ciri setiap aspek tersebut oleh Smet (1994) dan Taylor (1995), dijelaskan sebagai berikut ;
a.    Informasi dapat berupa saran-saran, nasihat dan petunjuk yang dapat dipergunakan oleh korban dalam mencari jalan keluar untuk pemecahan masalahnya.
b.   Perhatian emosi berupa kehangatan, kepedulian dan dapat empati yang meyakinkan korban, bahwa dirinya diperhatiakan orang lain.
c.    Penilaian berupa penghargaan positif, dorongan untuk maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan individu lain.
d.   Bantuan instrumental berupa dukungan materi seperti benda atau barang yang dibutuhkan oleh korban dan bantuan finansial untuk biaya pengobatan, pemulihan maupun biaya hidup sehari- hari selama korban belum dapat menolong dirinya sendiri.
Berdasarkan ciri-ciri dan klasifikasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial itu mencakup adanya dukungan informasi yang berupa saran atau nasehat, dukungan perhatian atau emosi yang berupa perasaan kehangatan, kepedulian dan empati, dalam dukungan instrumental berupa bantuan materi atau finansial serta penilaian berupa penghargaan positif terhadap gagasan atau perasaan orang lain.
3.   Sumber Dukungan Sosial
Menurut Rook dan Dootey (1985) yang dikutip oleh Kuntjoro (2002), ada 2 sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural.
a.    Dukungan sosial artifisial
Dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.
b.   Dukungan sosial natural
Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupanya secara spontan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga (anak, isteri, suami dan kerabat), teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat non- formal.
Sumber dukungan sosial yang bersifat natural berbeda dengan sumber dukungan sosial yang bersifat artifisial dalam sejumlah hal.


Perbedaan tersebut terletak dalam hal sebagai berikut:
a. Keberadaan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga lebih mudah diperoleh dan bersifat spontan.
b. Sumber dukungan sosial yang natural memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan.
c. Sumber dukungan sosial yang natural berakar dari hubungan yang telah berakar lama.
d. Sumber dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan label psikologis.
e. Sumber dukungan sosial yang natural memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang- barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan penyampaian salam.
Menurut Wangmuba (2009), sumber dukungan sosial yang natural terbebas dari beban dan label psikologis terbagi atas:
a. Dukungan sosial utama bersumber dari keluarga
Mereka adalah orang-orang terdekat yang mempunyai potensi sebagai sumber dukungan dan senantiasa bersedia untuk memberikan bantuan dan dukungannya ketika individu membutuhkan. Keluarga sebagai suatu sistem sosial, mempunyai fungsi- fungsi yang dapat menjadi sumber dukungan utama bagi individu, seperti membangkitkanpersaan memiliki antara sesama anggota keluarga, memastikan persahabatan yang berkelanjutan dan memberikanrasa aman bagi anggota- anggotanya.
Menurut Argyle (dalam Veiel & Baumann,1992), bila individu dihadapkan pada suatu stresor maka hubungan intim yang muncul karena adanya sistem keluarga dapat menghambat, mengurangi, bahkan mencegah timbulnya efek negatif stresor karena ikatan dalam keluarga dapat menimbulkan efek buffering (penangkal) terhadap dampak stresor. Munculnya efek ini dimungkinkan karena keluarga selalu siap dan bersedia untuk membantu individu ketika dibutuhkan serta hubungan antar anggota keluarga memunculkan perasaan dicintai dan mencintai. Intinya adalah bahwa anggota keluarga merupakan orang- orang yang penting dalam memberikan dukungan instrumental, emosional dan kebersamaan dalam menghadapi berbagai peristiwa menekan dalam kehidupan.
b. Dukungan sosial dapat bersumber dari sahabat atau teman.
Suatu studi yang dilakukan oleh Argyle & Furnham (dalam Veiel & Baumann,1992) menemukan tiga proses utama dimana sahabat atau teman dapat berperan dalam memberikan dukungan sosial. Proses yang pertama adalah membantu meterial atau instrumental. Stres yang dialami individu dapat dikurangi bila individu mendapatkan pertolongan untuk memecahkan masalahnya. Pertolongan ini dapat berupa informasi tentang cara mengatasi masalah atau pertolongan berupa uang. Proses kedua adalah dukungan emosional. Perasaan  tertekan dapat dikurangi dengan membicarakannya dengan teman yang simpatik. Harga diri dapat meningkat, depresi dan kecemasan dapat dihilangkan dengan penerimaan yang tulus dari sahabat karib. Proses yang ketiga adalah integrasi sosial. Menjadi bagian dalam suatu aktivitas waktu luang yang kooperatif dan diterimanya seseorang dalam suatu kelompok sosial dapat menghilangkan perasaan kesepian dan menghasilkan perasaan sejahtera serta memperkuat ikatan sosial.
c. Dukungan sosial dari masyarakat, misalkan yang peduli terhadap korban kekerasan.
Dukungan ini mewakili anggota masyarakat pada umumnya, yang dikenal dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan dilakukan secara profesional sesuai dengan kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Hal ini berkaitan dengan faktor- faktor yang mempengaruhi efektifitas dukungan sosial yaitu pemberi dukungan sosial. Dukungan yang diterima melalui sumber yang sama akan lebih mempunyai arti dan berkaitan dengan kesinambungan dukungan yang diberikan, yang akan mempengaruhi keakraban dan tingkat kepercayaan penerima dukungan.
Proses yang terjadi dalam pemberian dan penerimaan dukungan itu dipengaruhi oleh kemampuan penerima dukungan untuk mempertahankan dukungan yang diperoleh. Para peneliti menemukan bahwa dukungan sosial ada kaitannya dengan pengaruh- pengaruh positif bagi seseorang yang mempunyai sumber-sumber personal yang kuat. Kesehatan fisik individu yang memiliki hubungan dekat dengan orang lain akan lebih cepat sembuh dibandingkan dengan individu yang terisolasi.
4.   Pengaruh Dukungan Sosial
Dukungan sosial merupakan bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya. Diharapkan dengan adanya dukungan sosial maka seseorang akan merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai. Dengan pemberian dukungan sosial yang bermakna maka seseorang akan mengatasi rasa cemasnya terhadap pembedahan yang akan dijalaninya (Suhita, 2005).
Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan itu sendiri mempengaruhi strategi untuk mengatasi kecemasan dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan kecemasan dan efeknya. Pada derajat dimana kejadian yang menimbulkan kecemasan mengganggu kepercayaan diri dan dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.
Sheridan and Radmacher (1992), Rutter, dkk. (1993), Sarafino (1998) serta Taylor (1999); mengemukakan 2 model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan kecemasan, yaitu;
a.  Model efek langsung. Model ini melibatkan jaringan sosial yang besar dan memiliki efek positif pada kesejahteraan. Model ini berfokus pada hubungan dan jaringan sosial dasar. Model ini juga dideskripsikan sebagai instruktur dari dukungan sosial yang meliputi faktor status perkawinan, keanggotaan dalam suatu kelompok, peran sosial dan keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan.
b. Model buffering. Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif dari kecemasan. Model ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi individu dari efek negatif kecemasan dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan oleh kejadian yang mengakibatkan kecemasan. Model ini bekerja dengan mengerahkan kembali hal- hal yang menimbulkan kecemasan atau mengatur keadaan emosional yang disebabkan oleh hal- hal tersebut. Model ini berfokus pada fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada.
5.   Dampak Dukungan Sosial
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dari efek kecemasan. Dalam Sarafino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain:
a.    Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.
Dilihat dari pemaparan diatas, dikatakan bahwa dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu, yang mana hal ini dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan kecemasan. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan kecemasan. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya kecemasan.
Lemahnya dukungan sosial yang diperoleh seseorang yang memiliki citra diri negative, maka akan berdampak pada meningkatnya kecemasan dari diri individu. Hal itu, dapat mendorong seseorang melakukan segala hal untuk memperbaiki penampilan dengan tujuan untuk mendapatkan reward yang positif dari lingkungan sosialnya.
D.    Strategi Coping Citra Diri Negative
1.               Pengertian Strategi Coping Citra Diri Negatif
Banyak definisi yang dilontarkan oleh para pakar psikologi untuk memberikan pengertian terhadap  coping, bisa diartikan strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.
Lazarus mendefinisikan coping sebagai suatu cara individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang dialami baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan. Dengan perkataan lain, strategi coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Umumnya coping strategi  dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi kehidupannya, dan coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun ingat coping bukanlah suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi yang menekan, karena tidak semua situasi tertekan dapat benar-benar dikuasai.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa strategi coping merupakan upaya yang dilakukan individu untuk menanggulangi masalah yang tengah dihadapinya yang mengakibatkan individu mengalami tekanan. Sehingga individu harus mengubah kognitif atau perilakunya agar dapat membangun rasa aman dalam dirinya sendiri.
Coping yang efektif umtuk dilaksanakan  adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya.
2.   Bentuk Strategi Coping
Strategi coping itu sendiri dapat diartikan sebuah cara atau prilaku individu untuk menyelesaikan  suatu permasalahan. Sedangkan macam-macam coping itu sendiri menurut Santrock (1996):
a.    Strategi pendekatan (approach strategy) yaitu usaha kognitif untuk memahami penyebab stres atau stressor dan  usaha untuk menangani hal tersebut dengan cara menghadapinya.
b.   Strategi menghindar (avoidance strategy) yaitu usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisir stessor yang muncul dalam prilaku dengan cara menghindar dari hal tersebut.
Bentuk-bentuk strategi coping yaitu :
a.    Perilaku coping yang beorientasi pada masalah (problem focused coping-PFC) yaitu strategi kognitif dalam penanganan stress/ strategi kognitif yang digunakan individu dalam rangka menangani masalahnya.
b.   Perilaku coping yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping-EFC) yaitu strategi penanganan stress dimana individu  memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara emosional.


3.               Aspek Strategi Coping
Strategi coping terdiri dari dua jenis, yaitu strategi coping yang berorientasi pada masalah, dan strategi coping yang berorientasi pada emosi. Masing-masing jenis memiliki aspek yang bermacam-macam, diantara jenis-jenis strategi coping Lazarus dan Folkman,  ada 2 jenis strategi coping, yaitu:
a.    Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan kecemasan, dan dipaparkan para ahli bahwa aspek-aspek yang digunakan individu di bagi menjadi lima, sebagai berikut:
1)   Distancing, ini adalah suatu bentuk coping yang sering kita temui, yaitu usaha untuk menghindar dari permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positf, dan seperti menganggap remeh/lelucon suatu masalah.
2)   Planful Problem Solving, atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stress, dengan melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap dan analitis.
3)   Positive Reapraisal, yaitu usaha untuk mencari makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri, dan stategi ini terkadang melibatkan hal-hal religi.
4)   Self Control, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.
5)   Escape, usaha untuk menghilangkan stress dengan melarikan diri dari masalah, dan beralih pada hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak dll.
b.   Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Berikut adalah aspek-aspeknya:
1)   Self Control, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara mengendalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.
2)   Seeking Social Support (For Emotional Reason), adalah suatu cara yang dilakukan individu dalam menghadap masalahnya dengan cara mencari dukungan sosial pada keluarga atau lingkungan sekitar, bisa berupa simpati dan perhatian.
3)   Positive Reinterpretation, respon dari suatu individu  dengan cara merubah dan mengembangkan dalam kepribadiannya, atau mencoba mengambil pandangan positif dari sebuah masalah (hikmah),
4)   Acceptance, berserah diri, individu menerima apa yang terjadi padanya atau pasrah, karena dia sudah beranggapan tiada hal yang bisa dilakukannya lagi untuk memecahkan masalahnya.
5)   Denial (avoidance), pengingkaran, suatu cara individu dengan berusaha menyanggah dan mengingkari dan melupakan masalah-masalah yang ada pada dirinya.
Jadi, jenis-jenis strategi coping coping yang digunakan pada citra diri negative ada dua macam strategi, pertama yaitu jika individu berperan aktif untuk menyelesaikan masalah yang menekannya pada kecemasan, maka individu menggunakan problem-solving focused coping sebagai strategi copingnya. Kedua, jika individu lebih menggunakan pengaturan emosi sebagai usaha mencari rasa aman pada dirinya terhadap kecemasan-kecemasannya, maka individu tersebut menggunakan Emotion-Focused Coping sebagai strategi copingnya.
4.               Dampak Strategi Coping
Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Folkman, 1984).
Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana kondisi atau masalah yang dialaminya. Misalnya seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan, sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau Aids.
Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping, yaitu active & avoidant coping strategi (Lazarus mengkategorikan menjadi Direct Action & Palliative). Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres atau kecemasan.
Avoidant Coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres.
Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategi sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman.
Dari dua strategi yang dilakukan oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative, maka strategi yang lebih baik digunakan adalah pada active coping, karena dia berusaha untuk memperbaiki cara pandangnya terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan stress. Jika hal itu terus dilakukan, maka nantinya dapat menjadikan individu untuk memperbaiki cara pandang terhadap citra dirinya.

E.    Dampak Psikologis Citra Diri Negative
1.   Pengertian Dampak Psikologis
Psikologis merupakan kondisi mental yang terganggu karena menadapatkan suatu tekanan atau permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Seseorang yang memiliki citra diri yang  negatif, akan mempunyai persepsi yang negatif dengan bentuk dan ukuran tubuh mereka, membandingkan  tubuh  mereka  dengan  yang  lain, merasa  malu  dan cemas tentang tubuh mereka sehingga tidak puas dengan dirinya, menjadi sulit menerima diri apa adanya, peka terhadap kritik, responsive terhadap pujian  dan  pesimis.
Menjadi  tidak  bahagia  dengan  tubuhnya  dapat mempengaruhi  bagaimana  dia  berpikir  dan  merasakan  tentang  dirinya. Body  image  yang  lemah  atau  jelek  dapat  menuju  emotional  distress, kepercayaan diri rendah, perilaku diet, kecemasan, depresi dan gangguan makan (Simanjutak, 2009).
Jadi, dampak psikologis citra diri negative merupakan kondisi psikologis yang terganggu karena terpengaruh oleh citra diri negative. psikologis seseorang lambat laut akan mengalami perubahan jika citra diri tidak segera diperbaiki. Misalnya perasaan cemas yang muncul oada tahap awal, akan menjadi depresi berat sehingga dia tidak memiliki ketenangan dalam menjalani setiap aktifitasnya.
2.   Dampak Psikologis Citra Diri Negatif
Guiney  dan  Furlong  (dalam  Rice  dan  Dolgin,  2002)  menyatakan  bahwa  pada  remaja  perempuan, ketidakpuasan terhadap citra tubuh berdampak pada harga diri yang lebih rendah daripada remaja perempuan yang lain. Penelitian dari Siegel dkk. (dalam Rice & Dolgin, 2002) menemukan bahwa citra tubuh yang negatif merupakan penyebab  utama  remaja  perempuan  menjadi  lebih  depresif  daripada  remaja  laki-laki.  Rodin  dkk.  (dalam  Dittrich, 2003) menambahkan bahwa perasaan devaluasi diri, disforia (depresi), dan tidak berdaya lebih sebabkan karena standar  “ideal”  budaya  yang  tidak  dapat  dicapai  oleh  kebanyakan  perempuan.  Bahkan,  menurut  American Association of University Women (dalam Dittrich, 2003), ketidakpuasan terhadap citra tubuh ini berhubungan dengan risiko bunuh diri pada remaja perempuan.
Paparan  fakta  diatas  menunjukkan  betapa  serius  dampak  yang  mengancam  remaja  perempuan  akibat ketidakpuasan terhadap citra tubuh (body image dissatisfaction). Perkembangan ilmu psikologi membuka berbagai ruang baru dalam memberikan berbagai alternatif terkait intervensi, salah satunya berupa pelatihan berpikir positif (Sdorow,  1990).  Ellis  (dalam  Corey,  2007)  menyatakan  seseorang  mampu  memodifikasi  keyakinan-keyakinannya dengan  melatih  kemampuan    berpikirnya.  Hayes  &  Rogers  (2008)  menambahkan  bahwa  cara  dan  pola  berpikir seseorang  mempengaruhi  perilaku  dan  perasaan  yang  akan  dimunculkan  dalam situasi  spesifik.
Penelitian  Loehr (dalam  Santrock,  2003)  menunjukkan  bahwa  suasana  hati  yang  negatif  memungkinkan  untuk  marah,  merasa bersalah,  dan  memperbesar  kesalahan  yang  telah  terjadi.  Berpikir  positif  berkaitan  dengan  hidup  positif  yang berorientasi pada keyakinan. Dengan berpikir positif, seseorang mampu bertahan dalam situasi yang penuh stres seperti ketika mengalami ketidakpuasan terhadap citra tubuh (Brissette dkk. dalam Kivimaki dkk, 2005).
Fenomena  ketakutan  dan  kebencian  terhadap  kegemukan  ini  bukan  hanya  berhenti  pada  diri  sendiri, perempuan  juga  peduli  untuk  sekedar mengingatkan  atau bahkan  sampai  pada  kritik terhadap  perempuan lain  di sekitarnya (menjadi significant person). Persuasi dari  significant person  (keluarga dan teman sebaya) menjadi faktor lain perhatian perempuan terhadap bentuk tubuhnya (Moreno & Thelen; Pike & Rodin, dalam Vincent & McCabe, 1999). Akibatnya sejumlah besar remaja perempuan mendiskusikan tentang berat badan dan perilaku diet dengan teman-teman mereka (Mukai; dan Paxton dalam Vincent dan McCabe, 1999).
Namun, konfrontasi  media  massa  dalam  berbagai  penelitian  dianggap berhasil, misalnya dalam penelitian Staffieri (dalam Rice, 1995) menyatakan bahwa sejak usia empat dan lima tahun telah mengembangkan stereotip-stereotip yang sangat negatif terhadap kegemukan. Ciri-ciri kepribadian yang tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan kegemukan antara lain  penipu, pemalas, tidak rapi, jelek, kejam, dan bodoh.
Ketidakpuasan  yang  mendalam  terhadap  diri  sendiri  dan  kehidupan,  terutama  jika meningkat menjadi kebencian terhadap tubuh, merupakan suatu ekspresi dari harga diri yang rendah dan perasan inadekuat (Leibel dkk., dalam Rice 1995). Kemampuan mengontrol tubuhnya sendiri menyebabkan seseorang merasa setidak-tidaknya mempunyai pengaruh terhadap hidupnya sendiri (Rice, 1995).
Menurut Berger dan Kano (dalam Rice, 1995), dalam sebuah budaya yang mengukur nilai seorang perempuan  berdasarkan  daya  tarik  tubuhnya,  identitas  perempuan  itu  akan  menjadi  sangat  terkait  dengan penampilannya.
Jadi, perempuan yang memiliki citra diri negative berdampak pada penilaian terhadap diri yang relative rendah. Sehingga perempuan lebih mudah mengalami depresif. Seperti halnya jika fisik yang dimilikinya tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka mereka tidak mengahrgai dirinya sendiri bahkan membenci dirinya sendiri. Dengan membenci dirinya sendiri dapat berdampak pada suasana perasaan individu, sering merasa sedih, marah, dan tertekan.
F.     Kerangka Pikir Penelitian
Citra diri negatif pada mahasiswa kini menjadi suatu fenomena yang banyak memberikan pengaruh terhadap persepsi tentang penampilan fisik yang sempurna. Hal tersebut melatarbelakangi mahasiswa untuk mencari jalan keluar dari permasalahan citra negative yang dialami dengan tujuan untuk memiliki fisik yang sempurna.
Strategi coping yang dipilih oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative dikategorikan dalam dua bentuk coping yaitu coping yang lebih focus pada problem citra diri negative, dan coping yang lebih focus pada emosi, yaitu upaya untuk mengatur emosi yang muncul dari dirinya karena dampak dari penilaian terhadap dirinya.
Dukungan sosial dari lingkungan pergaulan dan media massa memiliki pengaruh yang besar terhadap penilaian terhadap diri mahasiswa. Lingkungan pergaulan yang cenderung selalu mengikuti alur modernisasi, maka berpengaruh terhadap stadar penampilan dalam pergaulan mahasiswa yang sesuai dengan mode-mode era modern. Persepsi tentang fisik yang sempurna dipelajari dari lingkungan social yang sudah menjadi budaya. Sebagian besar dari mereka mengalami kecemasan karena mengikuti trend dari lingkungan social, sehingga secara tidak langsung mereka merasa dituntut oleh budaya yang ada di lingkungannya.
Keluarga memiliki peranan penting sebagai pendukung perkembangan kepribadian setiap orang. Karakter dan prinsip dalam hidup merupakan hasil pendidikan yang diperoleh dalam lingkungan keluarga. Seseorang yang merasa dihargai dan dicintai oleh lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial akan lebih menghargai diri. Mereka sadar bahwa penerimaan dirinya dalam lingkungannya bukan karena kesempurnaan fisik yang dimilikinya, akan tetapi lebih pada kualitas yang dimiliknya telah memberikan pengaruh besar untuk lingkungan.
Psikologis pada seseorang yang memiliki citra diri negative lebih mengarah pada perasaan tertekan terhadap berbagai tuntutan dari lingkungannya untuk memiliki penampilan  yang sempurna. Perasaan sensitive terhadap keadaan fisiknya semakin bertambah dan kepercayaan diri yang semakin menurun sebagai dampak selanjutnya. Hal ini merupakan pemicu munculnya emosional distrees, dan depresi.
Dari pernyataan tersebut, peneliti ingin mengkaji lebih mengenai strategi coping mahasiswa yang memiliki citra diri negatif dengan bagan seperti dibawah ini.

Dampak psikologis
 
 




Text Box: Strategi coping








G.   Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini focus penelitian kami mengarah pada dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Penelitian ini diuraikan dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1.   Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya citra diri negative pada mahasiswa?
2.   Bagaimana karakteristik kepribadian pada mahasiswa yang memiliki citra diri negatif?
3.   Apakah bentuk dukungan sosial yang didapatkan oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
4.   Bagaimana strategi coping yang digunakan mahasiswa yang memiliki citra diri negative?
5.   Bagaimana dampak psikologis yang terjadi pada mahasiswa yang memiliki citra diri negative?





BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sebagai pendekatan yang diharapkan nantinya dapat membawa hasil yang terbaik. Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6)
Penjelasan lain juga dipaparkan oleh  (D.Sudjana, 2004, 06) bahwa penelitian kualitatif dalam mencari jawaban atas sebuah permasalahan adalah peneliti berusaha memahami secara mendalam dan menyeluruh untuk meghasilkan kesimpulan dalam konteks, waktu dan situasi tertentu, tidak mengutamakan kuatifikasi, menggunakan pendekatan konstruktifis, naturalistic, interpretative dengan penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empirik”.
Penelitian kualitatif lebih mengutamakan penggunaan logika induktif dimana kategorisasi dilahirkan dari perjumpaan peneliti dengan informan di lapangan atau data-data yang ditemukan. Sehingga penelitian kualitatif bericirikan informasi yang berupa ikatan konteks yang akan menggiring pada pola-pola atau teori yang akan menjelaskan fenomena sosial (Creswell, 1994: 4-7).
Adapun jenis pendekatan penelitian ini dipaparkan secara deskriptif. Peneliti berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data. Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai dinamika psikologis mahasiswa IAIN Tulungagung yang memiliki citra diri negative.

A.      Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi menjadi pendekatan yang peneliti lakukan untuk menggali informasi dari subjek, seperti halnya pengalaman subjek, makna-makna dari pengalaman subjek. Informasi dari subjek dapat menambah pengetahuan dan wawasan dari peneliti, sehingga peneliti dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengelola hasil penelitian sebagai keilmuan yang penting.
Penelitian fenomenologi berorientasi untuk memahami, menggali, dan menafsirkan arti dan peristiwa-peristiwa, dan hubungan dengan orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu. Ini biasa disebut dengan penelitian kualitatif dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena-fenomena atau gejala-gejala sosial yang alamiah yang berdasarkan kenyataan lapangan (empiris) (Iskandar, 2008:204; Moleong, 2007:17). Pendekatan fenomenologi berusaha memahami makna dari suatu peristiwa atau fenomena yang saling berpengaruh dengan manusia dalam situasi tertentu.
Fenomenologi merupakan suatu metode penelitian yang kritis dan menggali fenomene yang ada secara sistematis (Steubert &Carpenter, 2003). Tujuan dari penelitian dengan pendekatan fenomenologi adalah mengembangkan  makna pengalaman hidup dari suatu fenomena dalam mencari kesatuan makna dengan mengidentifikasi inti fenomena dan menggambarkan secara akurat dalam pengalaman hidup sehari-hari (Rose, Beeby & Parker, 1995, dalam Staubert & Carpenter, 2003).
Dengan demikian, untuk memahami dinamika psikologis dari mahasiswa yang memiliki citra diri negatif, penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Selain itu sifat pendekatan fenomenologi yang sangat mengedepankan individual differences (perbedaan individual) merupakan kelebihan fenomenologi dibandingkan dengan bentuk pendekatan lainnya.
Spiegelberg (1965, dalam Staubert & Carpenter, 2003) mengidentifikasi ada tiga langkah proses dalam fenomeneologi deskriptif, yaitu intuiting, analyzing, dan describing. Langkah pertama adalah intuiting, bahwa peneliti secara total memahami fenomena yang terjadi. Peneliti menggali fenomena yang ingin diketahui dari pengalaman dari subjek tentang gambaran terhadap dirinya yang negative. Hal ini, peneliti berusaha menghindari kritik, evaluasi atau opini tentang hal-hal yang disampaikan oleh partisipan dan menekankan pada fenomena yan diteliti, sehingga mendapatkan gambaran yang sebenarnya. Pada tahap intuiting ini, peneliti sebagai instrument dalam proses wawancara.
Tahap kedua yaitu analyzing, merupakan tahap dimana peneliti mengidentifikasi arti dari fenomena yang telah digali dan mengeksplorasi hubungan serta keterkaitan antara data dengan fenomena yang ada, data yang perlu dianalisis secara seksama. dengan demikian, peneliti mendapatkan dua yang diperlukan untuk memastikan suatu kemurnian dan gambaran yang akurat.
Langkah ketiga yaitu, phonological describing, merupakan peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklasifikasian dan pengelompokan fenomena. Dalam penelitian ini, peneliti telah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang fenomena dinamika psikologis mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Dengan menggali respon dari setiap pertanyaan yang diajukan peneliti, termasuk dukungan dan segala aktifitas subjek nantinya dapat ditemukan makna dari pengalaman yang dimiliki subjek.
B.  Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, ada 4 sumber data (Koentjoro, 2007)  yang di gunakan yaitu :
1.   Subjek Penelitian
Mengingat sifat konteks dalam asumsi kualitatif bersifat kritis sehingga masing-masing konteks harus ditangani dari segi konteksnya sendiri, maka pada penelitian kualitatif ini  tidak ada sampel acak. Subjek dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan prosedur pengambilan sampel bertujuan (purposive sampling). Menurut Arikunto (1998),  jenis sampel ini tidak didasarkan atas strata, maupun random, melainkan dengan adanya tujuan tertentu. Jika  merujuk pada pendapat Arikunto (2002). Maka, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi jika menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan, yaitu :
a.        Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b.       Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.
c.        Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.
Adapun penetapan subjek didasarkan pada beberapa kriteria, diantaranya yaitu secara praktis, Moustakas (1994) mengemukakan bahwa beberapa kriteria utama yang harus dipenuhi oleh subjek penelitian, yaitu (1) Subjek penelitian telah mengalami fenomena yang menjadi fokus penelitian, (2) Subjek sangat tertarik untuk memahami latar belakang dan makna dari fenomena tersebut, (3) Subjek bersedia untuk berpartisipasi dalam proses wawancara, serta (4) Subjek membolehkan peneliti untuk merekam data dan mempresentasikan data yang diperoleh dalam laporan penelitian.
Menurut Neumann (2006), dalam menentukan subjek penelitian dapat dilakukan dengan menggunakan social mapping. Social mapping dilakukan melalui jalinan sosial pertemanan. Jenis social mapping yang dipilih peneliti adalah snowball sampling. Subjek penelitian memiliki kriteria sebagai berikut:
a)       Perempuan, tercatat sebagai mahasiswa IAIN Tulungagung.
b)       Usia antara 18-25 tahun.
c)       Berstatus belum menikah.
Penggunaan metode snowing ball menyebabkan besaran jumlah subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini  tidak dapat ditentukan secara pasti. Besar atau kecilnya jumlah unit informan dalam hal ini lebih disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Selain itu, peneliti tidak terlalu dirisaukan oleh kebutuhan akan besar atau kecilnya jumlah unit subjek karena peneliti lebih berorientasi kepada seberapa besar kekayaan informasi (information rich) yang dimiliki informan.
Subjek penelitian mahasiswa dengan jurusan Perbankan Syari’ah, yang menetap disebuah rumah dan tidak jauh dari kampus. Usianya 21 tahun, yang memiliki kriteria sesuai dengan apa yang ditetapkan peneliti. Sibjek tersebut peneliti peroleh dari teman dekat subjek, yang kebetulan juga teman dekat peneliti.
2.   Informan penelitian
Informan di bagi menjadi 2 yaitu informan tahu dan informan pelaku. Informan tahu adalah informan yang hanya mengetahui tentang subjek secara umum, sedangkan informan pelaku adalah informan yang merasakan dampak dari perilaku subjek. Jumlah informan penelitian ini ditentukan sesuai kebutuhan, Selain dipilih berdasarkan keterkaitan dengan subjek penelitian, pemilihan informan  juga didasarkan pada pemahaman mereka terhadap permasalahan atau fokus penelitian.
Informan tahu dalam penelitian ini adalah teman dekat peneliti yang juga menjadi teman dekat subjek. Informan juga sering menemani subjek dalam melakukan beberapa aktifitasnya.
3. Dokumen tertulis (Written documents)
Untuk melengkapi dan mendukung informasi, peneliti juga menggunakan dokumen tertulis. Sumber ini dapat diperoleh melalui kepustakaan atau sumber tulisan yang relevan dalam tulisan ini (Gottschalk, 1993). Perlunya penggunaan dokumen tertulis ini disebabkan karena tidak semua hal dapat dikatakan secara verbal dan terdapat hal-hal tertentu yang hanya dapat dilihat melalui data sekunder. Dokumen tertulis menjadikan informasi lebih akurat dan kaya. Dokumen tertulis juga dapat dijadikan sebagai bukti informasi verbal yang diberikan oleh subjek penelitian. Dalam hal ini dokumen tertulis dalam penelitian ini adalah data-data penelitian yang peneliti dari jurnal, juga beberapa data-data penelitian dari buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian yang peneliti ambil.
3. Dokumen tidak tertulis (Unwritten documents)
Dokumen tidak tertulis dalam penelitian ini berupa simbol-simbol yang yang dapat diamati pada subjek dan lingkungannya. Simbol-simbol yang dimaksud secara spesifik antara lain cara berpakaian subjek, tempat kerja atau tempat kumpul subjek, kondisi fisik subjek, dan keadaan lingkungan rumah tempat subjek tinggal. Simbol dalam penelitian ini berfungsi untuk memberikan informasi tambahan kepada peneliti. Hal-hal tertentu yang tidak dapat dikatakan secara verbal juga dapat dilihat melalui simbol penelitian. Hal ini turut membuat informasi menjadi lebih akurat dan kaya. Disamping menggunakan observasi,  untuk menangkap simbol-simbol tersebut, peneliti menggunakan dokumentasi berupa foto-foto sehingga dapat  menyajikan  simbol tersebut secara visual.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi pnelitian ini berada di IAIN Tulungagung, tepatnya terletak di Desa Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru. Kabupaten Tulungagung.
4. Metode Pengumpulan Data
Pada dasarnya, data dalam penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan melalui triangulasi (multi-method). Data primer diperoleh dengan pengamatan dan wawancara (interview). Observasi partisipan digunakan untuk menggali data-data yang bersifat gejala. Sementara, wawancara mendalam digunakan untuk menggali kategori data kesan atau pandangan  (Moleong, 2001).
Tahap awal, Observasi partisipan atau pengamatan terlibat. Dalam hal ini  selama di lapangan pada kesempatan-kesempatan tertentu peneliti berusaha untuk mengamati beberapa mahasiswa yang sesuai dengan kriteria penelitian. Selain itu, peneliti juga mencari informan tau sebagai upaya untuk mencari subjek, dan mengetahui bagaimana keseharian subjek. Dari sini peneliti mencatat segala aktivitas, sikap, dan perilaku subjek, berkaitan dengan kondisi informasi mengenai kondisi psikologis subjek.
Tahap yang kedua yaitu, wawancara. Selain observasi, alat pengumpul data yang utama dalam penelitian kualitatif ialah wawancara. Hal ini dikarenakan sumber data utama dalam penelitian Fenomenologi adalah kata-kata, ide, ataupun komentar dalam proses wawancara (Groenewald, 2004). Lebih dari itu, menurut Poerwandari (1998), wawancara dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dengan maksud mengeksplorasi isu tersebut yang tidak dapat dijangkau dengan pendekatan lain.
Dalam hal ini peneliti melakukan inkorporasi dengan subjek guna menggali pengalaman terdalam mereka. Dengan menggunakan wawancara tak terstruktur (unstructured interview)  peneliti mencoba menggali informasi serta mencoba memahami dari dalam (from within) dengan cara menjadikan diri peneliti sebagai bagian dari subjek sekaligus obyek penelitian. Penelitian ini menekankan pada sikap empathy, sehingga peneliti dapat memperkaya bahan informasi yang bersumber dari makna terdalam yang mendasari sebuah tindakan.
Fokus peneliti dalam hal ini diarahkan kepada bagaimana penjelasan subjek mengenai gambaran tentang dirinya. Setelah subjek menjelaskan yang menurut peneliti dirasa sudah cukup, maka peneliti juga mengamati perilaku subjek. Beberapa informasi yang diperoleh peneliti nantinya akan diklarifikasi lagi apakah hal ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada diri subjek.
Dinamika psikologis yang dialami yang terartikulasikan melalui pikiran dan perasaan pelaku pada diri subjek merupakan tujuan utama apa yang ingin diketahui peneliti. Keseluruhan komponen ini pada akhirnya akan dirangkaikan untuk membangun gambaran dinamika problem psikologis dan coping apa yang dilakukan pada mahasiswa yang memiliki citra diri negative.
Tahap yang ketiga yaitu dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang datanya diperoleh dari buku, internet, atau dokumen lain yang menunjang penelitian yang dilakukan. Dokumen merupakan catatan mengenai peristiwa yang sudah berlalu. Peneliti mengumpulkan dokumen yang dapat berupa tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012:240).
Dalam penelitian ini peneliti juga berusaha untuk mengambil dokumentasi-dokumentasi yang mendukung penelitian ini. Dokumentasi itu di antaranya meliputi aktivitas-aktivitas subjek di dalam kost, bagaimana subjek berinteraksi dengan teman-temannya.
C. Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis dengan metode fenomenologi, yaitu mencoba menyajikan dan memahami makna di balik data yang diperoleh ke dalam tema-tema tertentu (Creswell, 1998). Lebih lanjut, menurut Creswell (1998)  metode analisis dan interpretasi data yang paling sering digunakan adalah modifikasi metode Stevick- Colaizzi-Keen dari Moustakas (1994). Prosedur analisis dan interpretasi data meliputi:
1.   Memulai dengan deskripsi tentang pengalaman peneliti terhadap phenomenon.
2.   Peneliti kemudian mencari pernyataan (dalam interview) mengenai bagaimana individu-individu mengalami topik (Phenomenon) tersebut, membuat daftar dari pernyataan-pernyataan tersebut (horizonalization) dan perlakukan tiap pernyataan dengan seimbang (mempunyai nilai yang sama), dan mengembangkan daftar dari pernyataan yang tidak berulang (non repetitive) atau tidak tumpang tindih (non overlapping).
3.   Pernyataan kemudian dikelompokkan ke dalam unit-unit makna (meaning units), buat daftar dari unit-unit ini, dan menuliskan deskripsi dari tekstur (deskripsi tekstural) dari pengalaman, yaitu apa yang terjadi, disertai contoh-contoh verbatim.
4.   Peneliti kemudian merefleksikan berdasarkan deskripsinya sendiri dan menggunakan imaginative variation atau deskripsi struktural, mencari semua makna yang memungkinkan dan perspektif yang divergen, memperkaya kerangka pemahaman dari phenomenon, dan membuat deskripsi dari bagaimana phenomenon dialami.
5.   Peneliti kemudian membuat deskripsi keseluruhan dari makna dan esensi dari pengalaman.
6.   Dari deskripsi tekstural-struktural individu, berdasarkan pengalaman tiap partisipan, peneliti membuat composite textural-structural description dari makna-makna dan esensi pengalaman, mengintegrasikan semua deskripsi tekstural-struktural individual menjadi deskripsi yang universal dari pengalaman, yang mewakili kelompok (responden) secara keseluruhan (Moustakas, 1994).
D. Keabsahan Data
Setiap penelitian memerlukan adanya standar untuk melihat derajad kepercayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan keabsahan data. Moleong (2007) mengemukakan bahwa kriteria yang digunakan memeriksa keabsahan data antaralain, derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependebility), serta kepastian (confirmability).
Derajat kepercayaan (Credibility), untuk mencapai kriterium ini, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan triangulasi, yakni sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah dengan chek-recheck temuan fakta dengan cara membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, dan teori. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengamatan dengan hasil wawancara yang dikatakan di depan umum dengan yang dikemukakan secara pribadi. Triangulasi metode dilakukan dengan melihat temuan hasil penelitian yang memakai metode yang sama. Sedangkan triangulasi teori, menggunakan penjelasan banding (rival explanations) mengambil teori lain sebagai bahan komparasi. Proses check dan recheck temuan ini  ialah dengan adanya pembuktian  adanya dinamika psikologis citra diri negatif yang dialami mahasiswa IAIN Tulungagung.
Keteralihan (transferability). Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut, maka peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Dengan demikian, peneliti berusaha untuk menyediakan data atau fakta empiris yang mirip atau sama konteksnya, misalnya beberapa kasus yang dimuat dalam beberaapa jurnal tentang beberapa hal yang dialami beberapa orang yang memiliki citra diri negatif.
Kebergantungan (dependability), berupa audit yang mengikuti langkah-langkah seperti pra-entri, penetapan yang dapat diaudit, kesepakatan formal dan penentuan keabsahan data. Dalam konteks ini, dependabilitas, dilakukan dengan cara tes-retes, atau mengecek ulang data yang ditemukan peneliti dengan hasil kerja teman-teman dalam satu kelompoknya.
Kepastian (Confirmability), berupa audit kepastian. Tahap ini merupakan tahap akhir dengan memberikan audit akhir pada proses yang dilakukan yang terdiri dari pemeriksaan kembali data-data yang telah diperoleh, mendiskusikan dengan auditi lain dan menyimpulkan secara keseluruhan. Secara jelas, objektivitas atau konfirmabilitas dalam penelitian ini tidak hanya berupa meneliti kembali catatan lapangan, tetapi peneliti juga mengkonfirmasi kepada subjek atau merujuk pada pemahaman Moleong (2007), data divalidasi oleh orang yang menjadi subjek penelitian. Peneliti juga melakukan tukar pikiran, baik informal maupun formal seperti diskusi atau bahkan melalui seminar dengan pembimbing, yang peneliti anggap memiliki pengetahuan metodologis dan teoritis secara akurat. Hal ini dilakukan setahap demi setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini berfokus pada identifikasi bagaimana dinamika psikologis yang dialami oleh mahasiswa yang memiliki citra diri negative. Pengamatan ini berkaitan dengan bagaimana coping yang mereka gunakan untuk  menyelesaikan problem psikologisnya. Identifikasi selanjutnya adalah apa saja yang mempengaruhi citra diri negative yang dialami oleh mahasiswa. Data diperoleh melalui wawancara mendalam, serta dokumen-dokuman yang bisa memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Data yang telah diperoleh kemudian ditranskrip, dicari serta dikategorisasikan pernyataan-pernyataan penting dalam transkrip untuk kemudian dilakukan analisis.
1. Tempat dan Sumber Data Penelitian
Proses penelitian ini dilaksanakan satu kali pertemuan, pada hari Rabu, 30 Desember 2015. Waktu yang kami habiskan untuk wawancara yaitu selama 36 menit di Sekretariat UKM Mapala Himalaya. Penelitian dilakukan dengan subyek penelitian yang memenuhi purposivitas yang telah ditentukan oleh peneliti. Pelaksanaan penelitian dilakukan oleh rekan kami yang mengenal dekat dengan subjek. Hal ini dapat menambah informasi dari orang yang menjadi subjek penelitian kami.
Pada proses penelitian ini terdapat tiga jenis sumber data yaitu subyek penelitian, informan penelitian dan dokumen yaitu unwritten document maupun written document (Koentjoro, 2007). Selanjutnya untuk melengkapi data yang telah diperoleh peneliti menggunakan wawancara untuk memperolah informasi dari ketiga sumber data penelitian tersebut. Hasil wawancara yang telah diperoleh kemudian dibuat verbatim wawancara, melakukan pengkategorian pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan penelitian serta melakukan analisis data. Hasil analisis yang kami lakukan akan diperoleh beberapa makna yang terkait dengan tema penelitian, setelah itu akan dapat menjawab dari pertanyaan penelitian.
2. Cara Memperoleh Data
Data yang diperolah dari subyek penelitian didapat dari hasil observasi, catatan lapangan, dukumentasi serta wawancara yang mendalam. Kedekatan antara peneliti dan subyek penelitian sangat ditentukan oleh rapport yang dibangun oleh peneliti, apabila pembangunan rapport dilakukan dengan baik maka proses wawancara yang dilakukan akan berjalan dengan lancar serta tidak akan mendapatkan kesulitan yang berarti. Subyek tidak akan merasa keberatan dengan mengungkapkan apa yang dirasakan dan dialaminya serta mampu mengungkap fakta yang sebenarnya dalam wilayah privasinya. Data yang mendalam tentang subjek peneliti peroleh dengan melihat aktifitas subjek sehari-hari ketika kuliah.
B. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan pemaparan dari wawancara mendalam, catatan lapangan, hasil observasi dan dokumentasi yang dilakukan terhadap subyek penelitian. Data pendukung lainnya diperoleh dari hasil diskusi dengan tim pedamping lapangan, dokumentasi hasil pendampingan dan data-data yang mendukung untuk melengkapi hasil penggalian data yang dilakukan oleh peneliti. Subyek penelitian adalah mahasiswa IAIN Tulungagung yang memiliki citra diri negative. Adapun paparan dari hasil penelitian atau temuan di lapangan secara sistematis diuraikan pada bagian-bagian berikut ini.
1. Subyek Penelitian
Subyek merupakan anak pertama dari dua besaudara,  adiknya sedang bekerja di luar kota. Subyek saat ini tinggal di sebuah rumah bersama ayahnya. Peneliti menilai bahwa kehidupan subjek berada pada kondisi kecukupan. Ayahnya adalah seorang Securiti, dan ibunya bekerja di luar negeri sebagai pelayan di Restoran. Sedangkan dalam keluarga, pembiayaan yang dikeluarkan hanya untuk subjek, karena adiknya sudah memiliki penghasilan sendiri.
Subjek termasuk anak yang penurut, hal ini terlihat dari usianya yang masih belia, akan tetapi berusaha membantu pendapatan keluarganya. Subjek memilih untuk bekerja sejak smp, hingga sekarang. Subjek merasa bahwa apa yang diberikan orang tuanya itu tidak cukup.
Pekerjaan subjek membutuhkan penampilan fisik yang menarik. Diusianya yang masih remaja awal, dia belum memiliki konsep yang matang tentang diri yang sempurna. Sehingga, berawal dari tuntutan pekerjaan, subjek merasa bahwa orang-orang disekitarnya menerima subjek karena melihat dari kesempurnaan fisik subjek.
2. Citra Diri Negatif
Seperti yang telah dilampirkan dalam hasil wawancara, proses subjek mendapatkan konsep fisik yang sempurna berawal dari tuntutan profesi yang pernah dilakukannya. Seiring dengan perkembangannya, subjek semakin mengalami kecemasan dan ketakutan ketika memiliki target untuk menjadi wanita yang sempurna. Pekerjaan subjek mengharuskan agar subjek memiliki penampilan yang menarik, ataupun memiliki penampilan yang menjual. Hal ini sangat menguntungkan bagi perusahaan yang menjadi bagian kerjanya.
Selain melakukan berbagai tindakan yang mengarah pada perbaikan fisik,  subjek juga bergaul dengan lingkungan sosial yang sangat mempedulikan penampilan. Subjek mengaku, bahwa teman-temannya selalu menjadikan kesempurnaan penampilan sebagai hal yang paling diunggulkan. Seperti yang telah dipaparkan subjek,
“…kalau dikampus saya sering saingan dalam hal penampilan. Musuh saya kebanyakan malah dari kakak tingkat, seperi keren-kerenan, cantik-cantikan, sayanya yang sering kalah dalam hal penampilan.…. “
Setelah mengevaluasi dari beberapa pernyataan subjek, hal-hal yang mempengaruhi subjek selain dari lingkungan pergaulan yaitu jurusan perkuliahan yang diambil subjek sangat menuntuk kesempurnaan penampilan. Bahkan, mereka juga diajarkan, bagaimana caranya memiliki penampilan yang mampu menarik perhatian oranglain. Seperti paparan dari subjek,
“…menurut saya penampilan itu nomer satu. Karena dari orang-orang sekitar itu yang dilihat dari segi penampilan dulu. Terutama orang-orang yang menilai orang lain dari segi penampilan. Difakultas saya juga, seperti ada tuntutan untuk berpenampilan menarik, sehingga diajarkan untuk berdandan. Kita juga diajarkan bagaimana menjual penampilan,. Dalam ekonomi bisnis memang diajarkan bagaimana kita membuat orang lain menjadi tertarik dengan kita. Jadi, masalah penampilan, saya rasa sudah sesuai dengan jurusan saya.…”.
Keterangan subyek tersebut diatas dapat diketahui bahwa subyek sangat teliti dalam hal penampilan. Subjek cenderung memiliki target-target pencapaian terhadap kepuasan ukuran kesempurnaan fisik ataupun penampilan.
3. Faktor Penyebab Citra Diri Negatif
Berdasarkan temuan data di lapangan dapat dijabarkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya citra diri negative. Adapun faktor-fakor yang menyebabkan citra diri negatif yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a.    Faktor pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa yang harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan anaknya. Orang tua kedua subyek lebih memilih untuk mementingkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya daripada harus memperhatika pertumbuhan, perkembangan serta pergaulan anaknya.
b.   Faktor lingkungan pergaulan. Faktor ini juga yang menyebabkan terbentuknya citra diri negative pada subyek. Lingkungan kerja yang pernah ditekuninya memberikan efek yang negative terhadap pembentukan konsep diri subjek. Subjek memiliki citra diri negative karena ketakutannya jika dirinya tidak diterima dalam lingkungan pergaulan. Subjek melakukan apapun untuk mendapatkan kepuasan fisik yang diinginkannya dan memiliki benyak relasi.
c.    Faktor pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku mendapatkan ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan relasi pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambilnya sekarang.
4. Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dalam penelitian ini bahwa subyek mengalami ketakutan, kecemasan, memiliki pandangan yang negatif terhadap dirinya sendiri dan orang disekitarnya, sering mendapatkan masalah dengan teman-teman pergaulannya terutama teman kuliah,  serta sering mengalami gangguan konsentrasi. Adapun gambaran mengenai dinamika psikologis akan dijelaskan dibawah ini.
a.    Gangguan Kecemasan
Citra diri yang dialami subjek dalam penelitian ini, subjek banyak mengalami perubahan terhadap pola hidup dan perilaku sehari-harinya. Bentuk ganguan kecemasan yang ditunjukkan oleh ubyek adalah subyek menjadi sosok yang memiliki ketakutan berlebih jika sedikit saja ada orang yang ada disekitarnya sedang membicarakan kekurangannya. Hal itu dapat terlihat dari perilaku subjek yang mengatakan bahwa sering adanya saingan akan penampilan dengan kakak kelas, pengakuan bahwa dirinya sering kalah dengan persaingan itu dengan perasaan tidak nyaman. Sebagaimana yang dituturkan oleh subyek sebagai berikut:
“….Kalu menurut saya, mereka menerima saya karena penampulan saya. Jadi saya merasa, saya harus tetap bisa menyesuaikan penampilan saya dengan situasi dan kondisi….”

“….Ketika di kampus itu bosennya pas pelajaran. Terutama pas pelajaran yang itung-itungan.….”

Selain adanya gangguan kecemasan yang dialami subjek telah mempengaruhi keseharian. Subyek juga sering mengalami gangguan belajar. Hal yang diinginkan subjek akan proses belajarnya sekarang adalah yang penting mendapatkan ijasah kuliah, dan tidak begitu memperdulikan hasil kuliah yang baik. Seperti pernyataan subjek,
“……Kalau orangtua saya tidak terlalu memperhatikan bagaimana kuliah saya. Yang penting saya harus tetap belajar, jadi tidak terlalu memperhitungkan nilai saya.yang saya harus menyelesaikan S1 saya dalam waktu yang tepat, dan selanjutnya saya melanjutkan S2,….”
Penjelasan subyek tersebut diatas, citra diri negative yang dialami mahasiswa yang memiliki citra diri negative menyumbangkan beberapa  tekanan-tekanan dari dalam diri subyek maupun kemungkinan tekanan-tekanan yang berasal dari lingkungan sekitar subyek. Gangguan kecemasan yang muncul dari diri subjek disebabkan karena adanya ketakutan-ketakutan yang sering hinggap dalam pikiran subyek, sehingga subjek selalu melakukan segala cara untuk menghilangkan kecemasan tersebut dengan berbagai cara.
b.   Kepribadian perfecsionis. Memberikan sumbangan yang besar terhadap munculnya citra diri negaatif. Dampak yang paling banyak ditunjukkan oleh subyek seperti halnya, keinginan untuk memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang serba sempurna. Hal ini bukan hal yang mudah, karena jika suatu saat jika keinginan itu tidak berhasil dilakukannya, maka muncul cemas yang hebat, bahkan depresi menjadi dampak yang paling serius.
“…Kalau saya pribadi, saya kan gendut, jadi saya pengen merubah penampilan menjadi cewek langsing…”

“…Kalau saya pribadi, saya lebih suka cantik dengan berdandan dan dengan penampilan yang wah, tapi ada beberapa orang yang menganggap cantik itu dengan yang natural saja…”

Subyek memberikan keterangan-keterangan yang sangat jelas tentang prioritas utama dalam hal kesempurnaan dirinya adalah dalam hal kesempurnaan fisik. Citra diri negative sangat erat kaitanya dengan kepribadian yang menginginkan segala hal bagi dirinya harus serba sempurna.
C. Pembahasan
1. Citra Diri Negative dan Kecemasan
Menurut Honigman dan Castle, body image  adalah  gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan bagaimana kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya.
Dalam penelitian ini, konsep tubuh ideal diartikan sebagai bentuk dan ukuran tubuh yang dinilai sempurna dan paling diinginkan oleh seseorang. Sama halnya dengan citra tubuh, konsep keidealan tubuh juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi dan budaya yang sangat bervariasi (Brown dan Konner, 1987).
Sejak lahir individu mengeksplorasikan bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya dan menerima stimulus orang lain. Pandangan realistis terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman, terhindar dari rasa cemas dan menigkatkan harga diri. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis. Persepsi orang lain dilingkungan pasien terhadap tubuh pasien turut mempengaruhi penerimaan pasien pada dirinya (Keliat, 1998).
Ketidakpuasan seseorang terhadap tubuhnya bisa muncul karena orang tersebut telah memiliki konsep tubuh ideal dalam pikirannya, namun dia merasa bahwa tubuhnya sendiri tidak  atau  belum  memenuhi  kriteria  tubuh  ideal  tersebut  (Cash  dan  Szymansk,  1995  dalam Grogan, 2008).
Ukuran  dan  bentuk  tubuh  menjadi  sesuatu  yang  penting,  terutama  jika  dihubungkan dengan  penampilan.  Menurut  para  mahasiswi,  ukuran  dan  bentuk  tubuh  yang  ideal  sangat menunjang penampilan. Wanita dengan bentuk tubuh yang ideal dinilai lebih menarik, salah satu alasannya  karena  bisa  menggunakan  berbagai  macam  jenis  dan  model  pakaian  sesuai  dengan yang mereka inginkan.
Karena  merasa  tubuhnya  masih  belum  ideal,  para  mahasiswi  pun  sering  merasa  kurang percaya diri. Mereka suka menutupi atau menyamarkan bagian-bagian tubuh yang tidak mereka sukai,  biasanya  dengan  cara  menggunakan  pakaian  tertentu  yang  dapat  menyembunyikan “kekurangan”  fisiknya.  Mereka  yang  merasa  bertubuh  gemuk  terpaksa  harus  menggunakan pakaian yang tidak terlalu menonjolkan lemak-lemak di tubuhnya.
Begitu  pula  dengan  mereka  yang  merasa  terlalu  kurus,  berusaha  menggunakan  pakaian yang  dapat  membuat  tubuh  mereka  nampak  lebih  berisi  dan  berlekuk,  serta  menyembunyikan tulang-tulang yang nampak menonjol. Padahal, sebenarnya mereka ingin menggunakan berbagai macam  model  pakaian  dan  tidak  perlu  khawatir  akan  terlihat  jelek  atau  aneh  ketika  sedang memakainya.
Untuk  tampil  lebih  percaya  diri,  para  mahasiswi  juga  menggunakan  beberapa  cara  lain, misalnya dengan menonjolkan bagian-bagian tubuh yang mereka sukai, memakai kosmetik, atau aksesoris tambahan. Namun, ada pula beberapa dari mereka yang lebih suka tampil apa adanya dan  lebih  memperhatikan  penampilan  hanya  di  waktu-waktu  tertentu  saja.  Menurut  mereka, menjaga  penampilan  itu  penting  untuk  membuat  kesan  yang  baik  di  mata  orang  lain.  Mereka tidak ingin orang lain memberi penilaian yang buruk atau salah tentang diri mereka hanya karena melihat penampilan luar.
Berbicara tentang pendapat orang lain, memang inilah yang menjadi faktor pemicu utama mengapa para mahasiswi ingin mempunyai tubuh yang ideal. Pikiran, pendapat, dan perlakuan dari  orang  lain  terhadap  diri  mereka  mempengaruhi  penilaian  mereka  terhadap  diri  sendiri.\


2. Faktor Penyebab Citra Diri Negatif
Kepercayaan diri oleh sebagian orang mereka dapatkan karena memiliki ukuran fisik yang sempurna. Citra diri yang negative, merupakan penyebab kurangnya kepercayaan diri. Citra  tubuh  lebih  sering  dikaitkan  dengan  wanita  daripada  pria  karena  wanita  cenderung lebih memperhatikan penampilannya (Mappiare, 1982). Perubahan-perubahan fisik yang dialami oleh  wanita,  terutama  pada  masa  remaja,  menghasilkan  persepsi  yang  berubah-ubah  mengenai citra tubuh, namun hampir selalu bersifat negatif dan menunjukkan penolakan terhadap fisiknya
Hal-hal  yang  menyebabkan  remaja  putri  tidak  menerima  keadaaan  fisiknya antara  lain:  tinggi  badan,  berat  badan,  warna  kulit,  bentuk  susunan  gigi,  jenis  rambut,  dan jerawat. Berdasarkan temuan data di lapangan dapat dijabarkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya citra diri negative. Adapun faktor-fakor yang menyebabkan citra diri negatif yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:
a.    Faktor pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa yang harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan anaknya. Orang tua kedua subyek lebih memilih untuk mementingkan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya daripada harus memperhatika pertumbuhan, perkembangan serta pergaulan anaknya.
b.   Faktor lingkungan pergaulan. Faktor ini juga yang menyebabkan terbentuknya citra diri negative pada subyek. Lingkungan kerja yang pernah ditekuninya memberikan efek yang negative terhadap pembentukan konsep diri subjek. Subjek memiliki citra diri negative karena ketakutannya jika dirinya tidak diterima dalam lingkungan pergaulan. Subjek melakukan apapun untuk mendapatkan kepuasan fisik yang diinginkannya dan memiliki benyak relasi.
c.    Faktor pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku mendapatkan ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan relasi pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambilnya sekarang.
3.  Kepribadian Citra Diri Negatif
Kepribadian  menurut  GW.  Allport  adalah  suatu  organisasi yang dinamis dari sistem psikofisis individu yang menentukan tingkah laku  dan  pemikiran  individu  secara  khas. Tingkah laku subyek dilatarbelakangi oleh pemikiran subyek. Dari wawancara yang telah peneliti lakukan, pemikiran subyek terbentuk karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan subyek. Misalnya saja pada usia perkembangannya saat remaja, subyek diharuskan untuk memiliki penampilan yang menarik ketika berada dalam lingkungan kerja. Lingkungan kerja subyek memberikan pengaruh besar terhadap pengaruh perkembangan pemikiran subyek selanjutnya.
Seperti halnya pemikiran subyek yang menginginkan jika dirinya belum tenang jika berat badannya belum mencapai target ideal. Selain itu, pemakaian kosmetik pemutih wajah, make over wajah juga menjadi peralatan wajib setiap harinya. Perilaku subyek mengarah pada keinginan untuk menjadi diri yang sempurna. Pribadi sempurna yang dimaksud disini adalah diri perfectionis atau terciptanya target-target yang harus dipenuhi sebagai penunjang `memiliki penampilan yang menarik.
Schneiders (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya.
Keinginan subyek akan kemampuan untuk menyesuaikan diri merupakan hal yang terpenting dalam kehidupannya. Untuk itu, dengan diri yang sempurna subyek berfikir akan lebih mudah dalam menyesuaikan diri dan diterima baik dalam relasi sosialnya. Penyesuaian diri menjadi sumber utama kecemasan-kecemasan dan ketegangan psikologis subyek.


4. Dinamika Psikologis Citra Diri Negatif
Persepsi negative terhadap tubuh membuat wanita tidak bisa menghargai diri mereka sendiri. Wanita yang fokus hanya fokus pada tubuhnya tidak akan mampu menggunakan energinya untuk aspek lain dalam hidupnya. Usaha yang terus menerus untuk mencapai tubuh yang ideal bisa menimbulkan obsesi terhadap makanan. Selain itu, timbul masalah psikologis lainnya, seperti mudah marah, merasa gagal dan  inferior, masalah ingatan, kecemasan, dan gangguan penyesuaian (Barnard, 1992).
Obsesi untuk mempercantik diri merupakan aktifitas yang sering menibukkan subyek. Bisnisnya dalam bidang kecantikan telah mendrong subyek untuk tetap terlihat cantik, sebagai cara untuk menarik peminat. Kegiatan subyek tersebut berdampak pada belajar subyek dalam kuliah. Seperti kesulitan focus dalam belajar dikelas, beberapa teman yang menaruh citra buruk terhadap subyek juga sering dialami subyek. Adapun secara singkat mengenai gambaran dinamika psikologis pada subyek pertama dapat dilihat dalam bagan gambar berikut ini:
 














Citra diri yang dialami subyek berawal dari masa remaja. Hal itu dimulai dengan pembentukan kensep diri yang sempurna yang kurang tepat. Subyek bekerja disebuah diskotik, yang mengharuskan dirinya untuk berpenampilan menarik. Lingkungan keluarga juga berperan sedikit dalam membimbing perkembangan subyek. Lingkungan keluarga yang kurang berperan aktif, citra diri itu mulai berlanjut ketika subyek menjadi mahasiswa. Sesuai jurusan yang diambilnya, begitu mengutamakan penampilan yang menarik sebagai penunjang kesuksesan karirnya nanti. Selain itu, subyek juga bergaul dengan teman-teman yang tidak ketinggalan dengan trend mode busana dan penampilan.
Beberapa dampak yang diakibatkan karena citra diri negative yaitu munculnya ketakutan-ketakutan yang berasal dari fikiran subyek. Misalnya ketakutan akan kenaikan berat badan, sehingga melakukan beberapa cara untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan akan dilakukan oleh subyek. Ketakutan jika dirinya tidak diterima dalam relasi sosial juga memberikan sumbangan terhadap bertambahnya ketakutan.
Anggapan yang negative terhadap diri subyek merupakan asal muasal munculnya ketakutan. Enggapan negative sangat berperan terhadap perilaku subjek dan menjadikan subjek kesulitan menerima pelajaran. Subjek terlalu menyibukkan diri untuk memperbaiki penampilan dan mengesampingkan perkuliahan. Secara tidak langsung, subyek merasa tertekan dengan kondisinya yang semakin mengacaukan fikiran. Kesulitan dalam meminimalisir tekanan sering dirasakan subyek. Jika hal itu terus menerus terjadi, maka akan terbentuk kepercayaan yang negative terhadap diri sendiri. Beberapa coping menjadi cara yang dapat mengurangi tekana-tekanan dalam diri subyek. Menjadi lebih percaya diri, dan relasi yang subyek bangun akan memberikan dukungan untuk mempertahankan rasa percaya diri itu.



5. Strategi Coping Citra Diri Negative
Lazarus mendefinisikan coping sebagai suatu cara individu untuk mengatasi situasi atau masalah yang dialami baik sebagai ancaman atau suatu tantangan yang menyakitkan.
Untuk meminimalisir tekanan-tekanan psiologis yang menimpanya subyek memiliki beberapa strategi coping sebagaimana yang dijelaskan oleh Taylor, (1995) bahwa kadang-kadang Problem Focused Coping dan Emotional Focuseds Coping yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (1984) dapat terjadi secara bersamaan ketika menghadapi situasi yang dirasa menekan.
Strategi pengatasan masalah juga digambarkan sebagai cara seseorang mengatasi tuntutan-tuntutan yang dirasa menekan, sehingga ia harus melakukan penyeimbangan dalam usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan (Sarafino 1990).
Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Dampak yang diakibatkan citra diri negative pada diri subyek sangat mengganggu kondisi emosionalnya. Memperbanyak relasi merupakan cara terbaik untuk subyek untuk mengatur kondisi emosionalnya. Selain untuk mengurangi ketegangan dan ketakutan, relasi subyek dengan teman-teman subyek akan menumbuhkan rasa percaya diri dari diri subyek.
Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan kecemasan. Hal ini dapa dilihat pada strategi coping merupakan cara yang dipakai subyek untuk menghilngkan kecemasan.
Jadi, pada penelitian ini subjek menggunakan strategi coping yang lebih focus pada mencari penyelesaian dari masalah juga strategi coping yang lebih mengarah pada usaha untuk mengurangi ketegangan emosionalnya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hasil penelitian dan pembahasan terhadap  citra diri negative yang dialami oleh mahasiswa merupakan sebagai kejadian menekan. Karakteristik kepribadian korban, dukungan sosial yang didapatkan dan strategi pengatasan masalah yang digunakan serta dampak psikologis dan dinamika psikologis pada mahasiswa yang memiliki citra diri negatif, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1.   Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya citra diri negated dalam penelitian ini adalah: (a) Faktor pola asuh orang tua. Orang tua subyek cenderung kurang memperhatikan apa yang harus diperoleh anak sesuai dengan kebutuhan dalam setiap perkembangan anaknya. (b) Faktor lingkungan pergaulan. Lingkungan kerja yang pernah ditekuninya memberikan efek yang negative terhadap pembentukan konsep diri subjek.  dan (c) Faktor pendidikan. Sebagaimana yang terjadi pada subyek dalam penelitian ini, pelaku mendapatkan ajaran tentang pentingnya penampilan sebagai cara untuk mendapatkan relasi pergaulan yang baik, dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang diambilnya sekarang.
2.   Dampak psikologis yang dihadapi memiliki kepribadian yang menginginkan segala sesuatu harus perfecsionis. Upaya mengatasi masalah, cara memanipulasi kognisi, serta dukungan sosial memberikan dampak pada bertambahnya rasa percaya diri.
3.   Adapun dinamika psikologis subyek apabila tidak memiliki relasi sosial yang baik, subyek memiliki berbagai pandangan negatif terhadap dirinya. Subyek merasa rendah diri, tidak diterima lagi dalam lingkungan pergaulan. Pikiran-pikiran negatif yang dimiliki ini terjadi berulang-ulang sampai pada akhirnya menjadi negative belief yang terekam dalam sistem kognisi subyek. Manipulasi kognisi yang disertai dengan dukungan sosial dari relasi sosialnya, membantu subyek untuk mampu membantuk strategi coping atas segala permasalahan yang dihadapinya. Adanya strategi coping yang telah dimiliki ini, kemudian menjadikan subyek sebagai sosok yang lebih percaya diri dalam menjalankan aktifitas sehari-harinya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Subjek
Bagi subyek penelitian diharapkan untuk lebih membiasakan diri berfikir posotif terhadap diri sendiri. Hal terbaik yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemahaman kepada diri sendiri tentang kesempurnaan fisik yang menjadikan penampilan menarik itu bukan segalanya. Penampilan memang penting, akan tetapi akan lebih sempurna apabila  wanita itu menjadi wanita yang cerdas secara spiritual, emosional dan intelektual.
2. Bagi Orang Tua
Citra diri negative memang kemungkinan besar pernah dirasakan siapapun, terutama wanita. Peneliti menyarankan kepada orang tua agar selalu memperhatikan anaknya mengingat pergaulan sekarang ini sudah tidak bisa diandalkan lagi. Anak bisa dengan leluasanya mengikuti perkembangan jaman tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Mengikuti trend penampilan bukan masalah, akan tetapi harus lebih teliti lagi apakah penampilan yang diikuti sesuai dengan tatanan dalam agama ataukah bukan.
Perhatian orang tua serta dukungan terhadap anak juga merupakan faktor terpenting dalam proses meminimalisir terhadap kecemasan-kecemasan yang dialami anak. Penelitian ini menununjukkan bahwa dukungan sosial mampu meringankan beban berat yeng diterima oleh anak ketika menghadapi situasi-situasi menekan. Penanaman dan pemahaman agama yang tepat merupakan alternative terbaik yang dapat membentuk keribadian agamis pada anak.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Pelaksanaan penelitian kualitatif yang memakan waktu lama memerlukan ketekunan, kesabaran, dan kemampuan peneliti untuk menjaga mood atau suasana hati subyek penelitian. Hal ini berfungsi untuk melakukan pengalian data yang dalam sehingga akan menghasilkan data yang valid dan mendalam, oleh sebab itu peneliti seharusnya membangun kepercayaan subyek penelitian dengan baik.
Bagi peneliti mendatang diharapkan dapat memperluas jangkauan sudut pandang penelitian, baik dari segi etnografi maupun biopsikososial. Hal tersebut dikarenakan peneliti dengan metode kualitatif tentunya masih memiliki banyak kekurangan yang disebabkan oleh terbatasnya waktu untuk melakukan penggalian data yang mendalam tentang dampak dan dinamika psikologis subyek penelitian.
Apabila penelitian dilakukan secara berkelompok, lebih membutuhkan kebersamaan dan kerja antar tim yang baik. Komunikasi dan kerjasama antar tim menjadi hal utama yang harus diperhatikan demi terselesaikannya penelitian. Konflik dan kesalah fahaman menjadi hal yang wajar, untuk itu bagaimana sikap peneliti untuk menyelesaikan konflik dan perbedaan menjadi hal yang harus diperhatikan.


LAMPIRAN-LAMPIRAN




Tidak ada komentar:

Posting Komentar