Senin, 04 Januari 2016

BUDAK NAFSU (AMARAH)

MAKALAH
BUDAK NAFSU
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
ESQ
Dosen Pengampu :
Ahmad Sholihuddin Zuhdi, M.pd


Disusun Oleh:

         Amidana Hikmah  : (2833133005)

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI 5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2015
KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ESQ” ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
1.     Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)  Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini.
2.     Ahmad Sholihuddin Zuhdi, M.pd selaku Dosen Pembimbing matakuliah ESQ  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
3.     Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada pembaca pada umumnya.

Tulungagung,16 Oktober 2015

Penulis



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .......................................................................................  i
KATA PENGANTAR .....................................................................................  ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii

BAB I      PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang................................................................................ 1      
B.      Rumusan Masalah........................................................................... 1      
C.      Tujuan.............................................................................................. 1

BAB II     PEMBAHASAN
A.        Budak Nafsu, Amarah Membangun Amarah, Anatomi Amarah.... 2      
B.        Upaya Meredam Amarah................................................................ 4
C.        Marah dalam Konsep Psikologi...................................................... 6      

BAB III    PENUTUP
A.      Kesimpulan...................................................................................... 8
B.      Saran................................................................................................ ...... 8

DATAR PUSTAKA......................................................................................... iv








BAB 1
Pendahuluan

A.  Latar Belakang
Marah merupakan keadaan emosi yang tidak stabil. Marah dalam psikologis memiliki dampak yang kurang baik, baik dampak secara psikologis maupun psikis. Kemampuan untuk mengendalikan diri dan kemampuan mengatur kehidupan sangat dibutuhkan dalam kehidupan menusia. Hal ini bertujuan agar tercipta ketenangan dan berkepribadian baik.
Emosi yang muncul bukan untuk ditekan, akan tetapi dikendalikan oleh diri kita. Emosi yang tidak terkendalikan dapat berdampak kurang baik, misalnya amarah yang meluap-luap, menjadi sumber penyakit, depresi berat, cemas yang berlebihan, gangguan emosional yang berlebihan (mania). Akan tetapi, jika emosi itu terlalu ditekan, maka dapat membawa diri pada keadaan kebosanan dan kekecewaan yang mendalam.
Penguasaan diri merupakan faktor yang paling penting untuk mengendalikan amarah. amarah dibangun oleh amarah, dan amarah yang tidak dapat dikendalikan lagi oleh nalar maka dapat berlanjut pada tindak kekerasan. Selain itu, ada beberapa cara untuk mengendalikan amarah, misalnya memahami orang lain, juga melakukan selingan-selingan tertentu untuk mengalihkan memutuskan rangkaian amarah, dan yang lainnya
B.  Rumusan Masalah
1.   Bagaimana penjelasan tentang Budak Nafsu dalam hal anatomi amarah, gelombang amarah dan amarah membangun amarah?
2.   Apa saja upaya peredam amarah?
3.   Bagaimana konsep dalam psikologi tentang Amarah?
C.  Tujuan
1.   Untuk mengetahui penjelasan budak nafsu amarah membangun amarah
2.   Untuk mengetahui upaya peredam amarah
3.   Untuk mengetahui konsep dalam psikologi tentang Amarah.


















BAB II
Pembahasan


1.   Budak Nafsu
a.     Anatomi Amarah
Aristoteles mengatakan bahwa sebenarnya kita hanya boleh marah secara wajar, lebih sering amarah kita muncul tak terkendali. Benjamin Franklin merumuskannya dengan bagus, “ amarah itu tak pernah tanpa alasan, tetapi jarang yang alasannya benar.
Amigdala merupakan sumber utama pemicu penyebab amarah. Ketika amarah itu muncul, maka keadaan emosi menjadi tegang. Misalnya kasus seorang laki-laki pengemudi yang sangat narah, ketika tiba-tiba ada mobil yang mendahuluinya hingga menyerempet mobilnya. Bila pikiran automatis yang muncul dalam pikirannya “brengsek!”, pikiran itu sangat besar pengaruhnya terhadap perjalanan amarah. Apalagi jika diikuti pikiran-pikiran jengkel dan balas dendam. Bahkan, jika tiba-tiba ada mobil dibelakangnya yang membunyikan klakson, maka kemarahan akan bergerak pada pengemudi yang ada dibelakangnya.
Berbeda lagi jika seandainya pengemudi yang tersrempet mobil tadi memikirkan hal lain pada saat amarah itu muncul.  Misalnya, “barangkali dia tidak melihatku,” ataukah mungkin dia lagi menolong orang yang sedang dalam keadaan darurat”. Jadi, alur kemungkinan tersebut sekurang-kurangnya membuat pikiran lebih terbuka dan menggagalkan amarah. Dengan memikirkan segala sesuatu dengan titik pandang yang berbeda akan mengurangi api amarah.

b.     Gelombang Amarah
Pemicu amarah diantaranya yaitu perasaan terancam bahaya, ancaman simbolik terhadap harga diri dan martabat, dicaci-maki dan yang lainnya. Persepsi itulah yang menyebabkan terjadinya lonjakan limbic yang berakibat ganda pada otak. Salah satu bagian lonjakan itu adalah dikeluarkannya zat katekolamin, yang membangkitkan gelombang energy cepat sesaat, cukup untuk melakukan tindakan dahsyat.
Sementara denyutan lain yang ditimbulkan oleh amigdala melalui cabang adrenokorteks dalam sistem syaraf menciptakan suatu latar perkondisian umum agar tubuh siap bertindak yang berlangsung jauh lebih lama daripada lonjakan energy katekolamin. Penggugahan adrenal dan korteks secara menyeluruh ini dapat berlangsung berjam-jam bahkan berhari-hari. Pada umumnya kondisi siap siaga pada adrenokorteks ini menjelaskan mengapa orang menjadi mudah marah apabila mereka telah dirangsang sedikit saja atau diganggu oleh hal lain.
Dalam percobaan Zillman, rekannya ia minta untuk memanas-manasi pria dan wanita sukarelawan dengan melontarkan umpatan-umpatan yang menyakitkan mereka. Setalah itu, sukarelawan tadi diminta untuk menonton film yang menyenangkan atau menyedihkan. Kemudian, mereka diminta untuk memberikan penilaian terhadap rekan Zillman  yang menurut mereka digunakan untuk memegang keputusan apakah mereka nanti bisa dipekerjakan ataukah tidak. Ternyata intensitas balas dendam mereka lebih besar bagi mereka yang menonton film yang menyedihkan.

c.        Amarah Membangun Amarah
Amarah terjadi karena keadaan emosi yang kurang stabil. Apabila antara emosi positif dan negative yang muncul dapat dikelola dengan baik, maka tidak akan menimbulkan amarah. Amarah yang tak terkendali juga disebabkan oleh pembajakan emosi yang dipicu oleh kejadian-kejadian lain.
Studi-studi dalam penelitian Zillman, tentang apa yang dialami seorang ibu rumah tangga yang sedang mengajak anak kecilnya yang masih balita kesupermarket. Tahap awal, ibunya begitu ramah, penuh empati dan lemah lembut. Ketika anaknya mengambil botol susu disupermarket, ibunya mengatakan “kembalikan itu ketempatnya nak!”. Anak kecilnya tidak menghiraukan ucapan ibunya, dia malah merengek, “aku mau itu bu,” sambil memegang botol-botol yang lain. Tahap kedua, suara ibunya agak mengeras, dengan berkata “kembalikan!” amarahnya mulai menguasainya.  Tidak beberapa lama, anak itu menjatuhkan beberapa botol susu dari rak di supermarket hingga berantakan. Kejadian ini memicu amarah yang meluap-luap dari ibunya, sehingga ibunya langsung menarik pinggang anak itu keluar secara paksa. Si anak menangis histeris sambil menghentak-hentakkan kakinya dan memprotes “lepaskan! lepaskan!”
Dari rangkaian kejadian yang dialami ibu tersebut, setiap pikiran dan persepsi yang memicu amarah berikutnya, menjadi pemicu minor terjadinya lonjakan katekolamin yang dibangkitkan oleh amygdala, masing-masing berdasarkan momentum hormon lonjakan-lonjakan sebelumnya. Sehingga ketika ibu itu memaksa anaknya keluar, dia kehilangan pedoman kognitif, dorongan limbiknya meningkat, dan terperangkap dalam respon-respon primitive.[1]

2.     Upaya Meredam Amarah
Setelah mengamati analisis anatomi amarah ini, Zillman melihat ada dua cara untuk mengatasi amarah. Salah satu meredakan  amarah adalah dengan menggunakan dan mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan amarah, karena pikiran-pikiran itu merupakan tanggapan asli interaksi yang mempertegas dan mendorong letupan awal amarah dan tanggapan-tanggapan ulang berikutnya yang mengobarkan api amarah tersebut.[2]
Beberapa upaya untuk meredakan amarah, menurut Anthony Dio Martin penulis buku Smart Emotion yaitu
Pertama, pikirkanlah akibat jangka panjang dari kemarahan. Jika secara spontan meluapkan amarah, maka dapat berdampak kurang baik terhadap kehidupan dan masa depan.
Kedua, jangan sampai kemarahan anda merugikan diri dan orang lain, baik kerugian materi, fisik dan psikologis.
Ketiga, lampiaskan dengan hal-hal positif yang mengembangkan potensi kita. Jadi, marah itu menumbuhkan motivasi dan membangkitkan kemauan untuk menjadi lebih baik.
Keempat, kemarahan harus berorientasi pada solusi, bukan hanya melampiaskan kemarahan.[3]
Menurut Gilman, terdapat beberapa pandangan yang keliru mengenai pelampiasan amarah yang menimbulkan katarsis yang terkadang di puji sebagai salah satu cara mengatasi amarah. Teori yang berkembang berbunyi “akan membuat anda merasa lebih enakan”. Tetapi, sebagaimana diisyaratkan dalam temuan-temuan zillman, ada alasan menentang katarsis. Alasan tersebut telah muncul sejak tahun 1950-an, ketika para ahli psikologi menguji efek-efek katarsis dalam percobaan dan berulang kali, menemukan bahwa melampiaskan amarah tak ada atau sedikit sekali hubungannya dengan meredakannya (meskipun, karena sifat amarah yang memikat, tindakan itu terasa memuaskan).
Tice menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakannya. Ledakan amarah biasanya memompa perangsangan memompa otak emosional, akibatnya orang justru lebih marah, bukannya berkurang. Cerita orang-orang tentang saat-saat mereka melampaiaskan amarahnya kepada orang yang membuatnya marah, Tice menemukan bahwa tindakan itu justru memperpanjang suasana marah bukan menghentikannya yang jauh lebih efektif adalah terlebih dahulu menenangkan diri, dan kemudian dengan  cara yang lebih kontrruktif atau terarah, menghadapi orang yang bersangkutan untuk menyelesaikan perbantahan. Sebagaimana pernah saya dengar dari seorang guru dari Tibet, yang memberi jawaban ketika di Tanya bagaimanakah cara terbaik untuk mengatasi amarah ”jangan menekannya .tetapi,jangan melampiaskannya.”[4]

3.     Marah dalam Konsep Psikologi
      Emosi mulai memasuki 2 struktur bangunan berbentuk almond di dalam otak yang disebut amygdala. Amygdala bertanggung jawab mengidentifikasi ancaman-ancaman, dan mengirimkan peringatan, ketika ancaman teridentifikasi. Amygdala sangat efisien dalam memperingatkan adanya ancaman ini. Sehingga, menyebabkan seseorang mengambil tindakan sebelum ancaman itu sampai ke korteks (bagian otak yang bertanggung jawab untuk berpikir dan menimbang), tanpa mampu mengecek kelayakan reaksi yang terjadi. Dalam kata lain,otak kita punya semacam saluran yang dapat melaksanakan tindakan sebelum konsekuensinya dipertimbangkan secara logis (refleks).
      Ketika seseorang marah, otot-otot tubuh menegang. Di dalam otak, bahan kimia yang berfungsi sebagai neutrontransmitter yang bernama catecholamine dilepas,menyebabkan ledakan energi yang bertahan selama beberapa menit. Pada saat yang bersamaan, detak jantung meningkat, tekanan darah naik, dan demikian juga laju pernapasan. Wajah biasanya kemerah-merahan seiring dengan peningkatan aliran darah menuju anggota badan, sebagai persiapan aksi fisik. Dalam rangkaian yang cepat, tambahan hormon dan neutrontransmitter otak, adrenalin dan noradrenalin dilepaskan, yang akan memicu suatu kondisi rangsangan yang lebih lama.
      Aliran amarah, biasanya terhenti sebelum seseorang menjadi tak terkontrol. Korteks bagian depan menahan emosi sesuai proporsi rangsangan (marah). Amygdala memulai emosi tersebut, sedangkan korteks bagian depan meredakan emosi melalui penilaian. Korteks bagian depan sebelah kiri dapat meredakan amarah tersebut. Bagian itu bertugas menjaga sesuatu menjadi terkontrol.
      Jika marah punya suatu fase persiapan psikologis untuk melampiaskannya secara fisik, dia punya fase “pendinginan” juga. Tubuh mulai rileks menuju posisi normal (sebelum marah), ketika target kemarahan tidak terjangkau atau ada ancaman mendadak.
      Sulit untuk meredakan marah dalam waktu singkat. Adrenalin, pemicu rangsangan yang terjadi selama marah, bertahan dalam waktu yang lama (berjam-jam, terkadang berhari-hari), dan merendahkan batas ambang marah. Hal ini, membuat seseorang lebih mudah marah lagi setelahnya. Biasanya, tubuh membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali dalam kondisi tenang. Selama periode penenangan ini, orang yang tadinya marah, lebih rentan untuk marah lagi jika menanggapi sedikit gangguan saja.[5]















BAB II
Penutup

A. Kesimpulan
      Seseorang dapat dikatakan menjadi budak nafsu, jika dia tidak dapat mengendalikan amarah yang muncul dalam dirinya. Ketika amarah itu muncul, orang itu tidak dapat mengontrolnya dan cenderung dilampiaskan terhadap hal-hal lain. amarah. Pemicu amarah diantaranya yaitu perasaan terancam bahaya, ancaman simbolik terhadap harga diri dan martabat, dicaci-maki dan yang lainnya.
      Amarah membangun amarah, karena setiap pikiran dan persepsi yang memicu amarah berikutnya, menjadi pemicu minor terjadinya lonjakan katekolamin yang dibangkitkan oleh amygdala, masing-masing berdasarkan momentum hormon lonjakan-lonjakan sebelumnya.
      Zillman melihat ada dua cara untuk mengatasi amarah. Salah satu meredakan  amarah adalah dengan menggunakan dan mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan amarah, karena pikiran-pikiran itu merupakan tanggapan asli interaksi yang mempertegas dan mendorong letupan awal amarah dan tanggapan-tanggapan ulang berikutnya yang mengobarkan api amarah tersebut.
B. Saran
       Amarah merupakan keadaan emosi yang kurang stabil. pemahaman diri menjadi hal yang utama untuk mengendalikan amarah. Amarah sebaiknya tidak terlalu ditekan, karena dapat memberikan perasaan kurang nyaman terhadap diri. Akan tatapi, amarah juga sebaiknya tidak dilampiaskan, karena jika amarah itu menjadi terlalu extream, maka menjadi sumber penyakit, seperti depresi berat, cemas berlebihan, dan amarah yang meluap-luap.



DAFTAR PUSTAKA


Goelmen, Daniel, 1996. Alih Bahasa, T Hermaya, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional, Mengapa El Lebih Penting daripada IQ), Yogyakarta: Gramedia

Dion Martin, Anthony, 2007. Smart Emotion . Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama

https://jmabuka.wordpress.com/2009/04/26/bagaimana-marah-bisa-terjadi/







[1] Daniel Goleman, Alih Bahasa, T Hermaya, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional, Mengapa El Lebih Penting daripada IQ) (Yogyakarta: Gramedia, 1996) hal, 77-84
[2] Ibid, hal 86
[3] Anthony Dion Martin, Smart Emotion (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2007) hal. 91-94
[4] Daniel Goleman, Alih Bahasa, T Hermaya, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional, Mengapa El Lebih Penting daripada IQ) (Yogyakarta: Gramedia, 1996) hal, 85-87
[5] https://jmabuka.wordpress.com/2009/04/26/bagaimana-marah-bisa-terjadi/

Minggu, 03 Januari 2016

Makalah Tazkiyat Al-Nafs

MAKALAH
TAZKIYAT AL-NAFS
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“TERAPI SUFISTIK”
Dosen Pengampu :
AHMAD FAUZAN, S.S, M.PD.I


Disusun Oleh:

                                    AMIDANA HIKMAH   : (2833133005)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI  5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Sufistik” ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
1.     Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)  Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini.
2.     Ahmad fauzan, S.S, M.Pd.I selaku Dosen Pembimbing matakuliah Terapi Sufistik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
3.     Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada pembaca pada umumnya.

Tulungagung, 18 Desember 2015

                                                                                                      Penulis




DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I      PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang..................................................................................... 1      
B.      Rumusan Masalah................................................................................ 1      
C.      Tujuan                                                                                                   2

BAB II     PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tazkiyat Al-Nafs............................................................... 2
B.    Konsep Tazkiyat Al-Nafs ................................................................... 4
C.    Metode-Metode Tazkiyat Al-Nafs ..................................................... 5
D.    Manfaat Dari Tazkiyat Al-Nafs........................................................... 7

BAB III    PENUTUP
A.      Kesimpulan.......................................................................................... 10
B.      Saran…................................................................................................. 10

DATAR PUSTAKA.................................................................................... iv


                                                                        BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs
Manusia merupakan makhluk yang memilik unsur materi dan immateri. Unsur materi merupakan jasad, sedangkan unsur immateri merupakan akal dan jiwa. Akal menjadikan manusia dapat memahami berbagai pengetahuan sehingga menghasilkan ilmu, sedangkan jiwa dapat mewujudkan kesucian dan etika. Unsur materi dan immateri merupakan unsur yang saling berkaitan, karena jasmani dapat menghasilkan keterampilan jika dibina dengan  baik. Jadi, keseimbangan antara jasmani, akal dan jiwa merupakan hal yang harus ada pada diri manusia. Jika keseimbangan itu tidak ada, maka dalam kehidupannya, manusia sulit untuk mendapatkan ketenangan, kepuasan dan kebahagiaan.
Nafs pada pembahasan ini bermakna jiwa, sebagai sesuatu yang menggerakkan jasmani, dan bisa dididik agar dapat dikendalikan. Ayat Al-Qur’an dalam surat As-Syams ayat 8, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. Dari sepenggal ayat tersebut menjelaskan bahwa, setiap nafs tercipta dalam keadaan sempurna. Tergantung pada manusia sendiri, apakah akan membawa nafs pada jalan taqwa, ataukah pada jalan kebathilan.[1]
Sebagian sufi mengkategorikan Nafs menjadi tujuh tingkatan, yaitu 1) Nafs Amarah, merupakan nafs yang selalu mengajak pada kejahatan dan berada pada tingkatan terendah. 2) Nafs Lawwamah merupakan nafsu yang suka menyesali hilangnya peluang untuk melakukan kebaikan. 3) Nafs Mulhamah, merupakan nafs yang telah mendapat bimbingan dan ilham dari Allah SWT. 4) Nafs Muthma’innah, merupakan Nafs yang takut kepada Allah, dengan cirinya tenang, tenteram dan damai. 5) Nafsu Rodhiyah, merupakan nafsu yang ridho  merasakan cinta karena berada di dekat Allah, dan selalau ridha dalam kedekatannya dengan Allah. 6) Nafsu Mardhiyyah, merupakan nafsu yang diridhoi, karena merasa senang dan puas terhadap kecintaannya kepada Allah. 7) Nafsu Kamilah, merupakan Nafsu yang sempurna, sehingga hana dimiliki oleh Nabi dan Rosul.[2]
Tazkiyah diartikan sebagai 1) ajaran para Rosul kepada manusia, yang jika dipatuhi maka akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan olehnya, 2) mensucikan diri dari jiwa yang kotor, 3) mensucikan dirinya dari syirik, karena dalam Al-Qur’an memandang bahwa syirik adalah perbuatan najis, 4) mengangkat martabat manusia dan mengangkat martabat kaum munafik kemartabat kaum mukhlisin.[3] Seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 151 Allah SWT: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
Al-Ghozali juga memberikan penjelasan mengenai Tazkiyat Al-Nafs. Tazkiyat Al-Nafs diartikan secara sistematik, yaitu sebagai proses penjernihan hati agar menjadi bening seperti kaca sehingga tembus cahaya (Nur) dan tidak menghalangi masuknya cahaya dari Allah. Pandangan ini didasari keyakinannya bahwa hati manusia adalah seperti kaca, sedangkan dosa-dosa atau kejelekan yang dilakukanya adalah ibarat noda yang mengotori kebeningan kaca sehingga kaca tersebut menjadi tidak tembus pandang atau terjadi jebol (terhalang) dari cahaya yang datang dari luar.[4]  Hal ini terdapat dalam surat As-Syams ayat 9-10, yaitu: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (Qs. As-Syams: 9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs. As-Syams: 10).
Spiritualitas memiliki peran yang penting bagi setiap manusia. Beberapa upaya untuk meningkatkan spiritual, maka upaya yang dapat dilakukan yaitu tazkiyatunnafsi. Tazkiyatunnafsi merupakan proses melakukan penyucian jiwa yang tiada pernah henti. Pikiran-pikiran yang tidak baik perlu dihilangkan, bisikan-bisikan setan yang kotor harus dibersihkan. Penyakit ruhani seperti ujub, sombong, hasud, dengki, benci, tidak ridha, mudah tersinggung, mudah marah, serakah, ingin menang sendiri, egois, masa bodoh, dan sejenisnya harus dibersihkan setiap waktu dan setiap saat. Dalam hati harus ditumbuhkan rasa kasih sayang, ditumbuhkan rasa syukur, rasa rahmat, cinta, peduli, simpati, empati, penghargaan atas orang lain, disiplin beribadah dan penerapan disiplin-disiplin dalam hal apapun, maaf dan sebagainya.[5]
B. Konsep Tazkiyah Al-Nafs
Konsep Tazkiyah al-nafs menurut al-Ghazali secara umum didasarkan atas rub-rub yang terdapat dalam kitab ihya’ul ulumuddin yang terdiri dari:
1.   Rub al-ibadah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang ibadah yaitu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT. Rub ini berbicara tentang keutamaan ilmu, aqidah, thaharah, rahasia sholat, puasa, haji dan zikir.
2.   Rub al-adah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Rub ini berbicara tentang tata cara pergaulan, pernikahan, adab mencari penghidupan dan ketentan halal dan haram.
3.   Rub al-muhlikat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri, khususnya membahas tentang akhlak tercela yang harus dihindari oleh setiap orang. Rub ini berbicara tentang penyakit jiwa seperti bahaya lidah, sifat dengki, marah, bakhil, dan bahaya akan kecintaan pada dunia.
4.   Rub al-munjiyat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan dirinya, khususnya membahas tentang sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Ruh ini menjadi obat bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Pembahasan tazkiyah al-nafs dalam kitab ihya’ul ulumuddin yang banyak membahas tentang tazkiyah itu sendiri yaitu kitab tentang ilmu, aqidah, thaharah dalam beribadah, serta kitab tentang keajaiban jiwa dan latihan kejiwaan dalam rub al-muhlikat.
Dari kitab tentang keajaiban jiwa, Al-Gazali mengartikan tazkiyah sebagai jiwa yang sadar akan dirinya dan mau bermakrifat kepada Allah. Sebaliknya tadsiyah al-nafs merupakan jiwa yang lupa akan dirinya dan tidak mau bermakrifat kepada Allah. Jiwa yang pertama disebut zakiyah, thahir, salim, dan mutmainnah. Sebagai balasannya jiwa tersebut memperoleh kemenangan dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Jiwa yang kedua disebut jiwa yang kotor atau sakit. Jiwa ini dalam kehidupannya di dunia dan akhirat mengalami kerugian dan Allah enggan menerimanya. Selanjutnya, menurut Al-Ghazali, jiwa yang dibina dengan proses tazkiyah akan meningkat derajatnya ke tingkat yang tinggi naik ke dalam malakut dan berada dekat dengan Allah. Sementara jiwa yang dibina dengan proses tadsiyah akan meluncur derajatnya ke tingkat yang lebih rendah, turun ke derajat jin setan dan jiwa orang-orang fasiq.[6]
C. Metode-Metode Tazkiyat Al-Nafs
Penyucian jiwa dilakukan sebagai upaya untuk membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan  manusia dengan lingkungan juga dengan dirinya sendiri. Mujahadah dalam melakukan berusaha menjadi faktor utama untuk keberhasilan penyucian jiwa. Al-Ghazali lebih menekanakan pada riyadhoh dengan mengosongkan diri dari perangai tercela, lalu mengisi jiwa dengan akhlak terpuji yang akhirnya membawa jiwa manusia pada kesempurnaan, dengan kedekatanya kepada Allah. Beberapa perangai tercela yang dimaksudkan yaitu 1) kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah 2) kemusyrikan dan riya’ 3) cinta kedudukan dan kepemimpinan 4) kepemimpinan 5) kedengkian 6) ujub 7) kesombongan 8) kebakhilan 9) keterpedayaan 10) amarah yang zalim 11) cinta dunia 12) mengikuti hawa nafsu.
Tujuan utama Tazkiyat Al-Nafs yaitu untuk menyeimbangkan antara ibadah, adat dan akhlak manusia. Diperlukan beberapa cara untuk memperbaiki ketiganya, agar keseimbangan dapat tercapai. Al-Ghozali menjelaskan beberapa metode untuk memperoleh akhlak yang baik. Pertama, mengharap kemurahan Allah. Kedua, bersusah payah melakukan segala kebaikan sehingga menjadi kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan. Ketiga sering bergaul dengan orang-orang yang shaleh.[7]
Metode-metode tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa sarana Tazkiyat Al-Nafs diantaranya yaitu tauhid, taubat, sholat, sedekah atau zakat dan infaq, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, zikir, tafakkur, mengingat kematian dan pendek angan-angan, Muraqabah, muhasabah, mujahadah dan mu’aqabah, amar ma’ruf nahi mungkar, pelayanan dan tawadhu’.
Tauhid dan taubat harus ada dalam hati manusia dan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya menjadi hal pokok untuk dilakukan dalam setiap waktu. Sholat merupakan sarana awal yang digunakan untuk membersihkan jiwa. Sholat juga merupakan ibadah wajib, yang membawa manusia untuk selalu istiqamah dalam setiap ibadahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Ankabut: 45)
Sedekah, zakat, infaq merupakan memberikan harta kepada sesamanya yang sedang membutuhkan karena Allah. Hal ini dapat membersihkan hati manusia dari sifat bahkhil dan kikir. Seperti firman Allah: yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (Qs. Al-Lail: 18)
Puasa merupakan menahan lapar, mengendalikan syahwat. Sehingga dengan demikian merupakan sarana Tazkiyat Al-Nafs. Seperti firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183)
Dzikir merupakan mengingat Allah, sehingga menambah keimanan dan ketauhidan dalam hati manusia.  Seperti firman Allah: ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar-Rad: 28)
Tilawah Al-Qur’an merupakan ibadah sebagai sarana berkomunikasi kepada Allah. Membaca Al-Qur’an dengan mengerti dan menghayati maknanya, tartil membacanya, sesuai dengan tajwidnya, maka akan melunakkan hati manusia yang keras. Selain itu, rahasia kekuasaan Allah dan pengetahuan tentang Allah juga dapat tersingkap. Seperti firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”(Qs. Al-Anfal: 2)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Qs. Ali-Imran: 193) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 192)[8]
D. Manfaat Tazkiyat Al-Nafs
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Orang yang memiliki jiwa yang sudah tersucikan akan menampakkan amaliah-amaliah dalam kehidupannya. Hal nyata yang dapat dirasakan dari manfaat Tazkiyah Al-Nafs adalah mampu mengendalikan lidah dan memiliki adab dalam berhubungan dengan Allah dan sesama manusia. Jadi, jiwa-jiwa tersebut akan selalu haus untuk melakukan kebaikan. Orang tidak akan menilai kesucian jiwa seseorang kecuali jika telah menyaksikan perilakunya secara langsung. Beberapa buah Tazkiyat Al-Nafs:
1.   Dapat Menjaga Lidah
Kewajiban utama dalam urusan lidah adalah menggunakannya dalam dakwah kepada kebaikan, amar-ma’ruf nahi mungkar, mendamaikan persengketaan, menyerukan kebaikan dan takwa. Jiwa yang suci akan selalu bertadabur, atas segala perbuatan termasuk ucapannya. Seperti firman Allah:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”(Qs. Ali Imran: 104)
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”(AL-Mujadilah: 9)
Kelalaian manusia dalam urusan lidah dapat menjerumuskan manusia dalam kehancuran, karena lidah merupakan sumber berbagai perbuatan mingkar. Seperti halnya ghibah, menggunjing, bersumpah palsu, mengfitnah, berdusta, berkata keji, membuka aib oranglain, riya’, ujub, berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, pertengkaran, sanjungan yang berlebihan, dan banyak yang lainnya.
Rosulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang sesuatu apa yang banyak memasukkan orang kedalam surga, lalu Rasul menjawab,”Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Lalu bertanya lagi, tentang sesuatu apa yang banyak yang memasukkan orang kedalam neraka, rasul pun menjawab,” Dua hal yang kosong, mulut dan kemaluan”.[9]
2.   Memiliki Adab Terhadap Lingkungan
Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan manusia terhadap sesama manusia dan alam yang ditempatinya. Adab menjadi kunci utama untuk menciptakan kemaslahatan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Manusia akan membentuk ruang lingkup dalam setiap interaksinya, misalnya ruan lingkup keluarga, ruang lingkup masyarakat, atau tetangga, ruang lingkup profesi, atau pekerjaannya, semua ruang lingkup itu dapat berlangsung harmonis jika manusia yang ada didalamnya memiliki hati yang bersih, jiwa yang suci.
Prinsip dalam berbagai kemanusiaan adalah berbuat ihsan, dan perbuatan politik yang diarahkan oleh amirul mu’minin. Seperti firman Allah: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”. (Qs. Al-Mu’minun: 96)
Selain itu, salah seorang sahabat bertanya kepada Rasul.” Wahai rosul, siapakah orang yang paling utama?”. Lalu, Nabi Muhammad SAW. Bersabda. ”Orang yang paling bertakwa kepada Allah, paling banyak menyambung kerabatnya, paling banyak memerintahkan yang ma’ruf dan paling banyak mencegah yang mungkar”.
Firman Allah dan hadist Rasul tersebut dapat diambil beberapa pelajaran bahwa, setiap interaksi manusia terhadap sesamanya dan lingkunganya harus disertai dengan adab-adab yang baik. Terciptanya kehidupan yang sesuai dengan tatanan Allah merupakan kenikmatan dan hasil penerapan dari penerapan terhadap nilai-nilai ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadis.[10]
Mempelajari dan mangamalkan konsep juga metode Tazkiyat Al-Nafs akan mewujudkan keberhasilan penyucian jiwa. Kesemuanya harus didasari pada kesungguhan, istiqamah, dan perjuangan denagn segala kemampuannya. Semuanya tergantung dari manusia itu sendiri, karena Allah akan memberikan hidayah dan kemenangan bagi setiap hambanya yang berbuat kebaikan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, maka pembaca dapat menerapkan bagaimana upaya-upaya untuk menyucikan jiwa. Setiap manusia tercipta sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan lupa. Untuk itu, penyucian jiwa sangat penting diterapkan untuk membentuk akhlak dan perilaku yang mulia.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran sebagai upaya penulis untuk memperbaiki kekurangan dan kecerobohan penulis dalam menyampaikan pemahaman dari penulis. Semoga pembaca maupun penulis senantiasa menjadi manusia yang selalu menerapkan perbuatan baik, dan dapat menghindarkan diri dari perbuatan mungkar.



[1] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 140
[2] Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi (Yogyakarta: Serambi, 1999) Hal. 84
[3] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 141-143
[4] Gusti Abd. Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012) Hal. 171
[5] Saifudin Aman, Tren Spiritualitas Milenium Ketiga (Banten: Ruhama, 2013). Hal. 91
[6] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 149-152
[7] Gusti Abd. Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012) Hal. 296

[8] Sa’id Hawwa, Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu (Rabbani Press, 1995) Hal. 27-154
[9] Ibid, hal. 459-548
[10] Ibid, hal. 458-481


DAFTAR PUSTAKA


Frager, Robert, 2011. Psikologi Sufi untuk Transformasi Diri, Nafsu dan Jiwa. Yogyakarta: Pt. Serambi Ilmu

Malik, Imam. 2005. Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa). Surabaya: eLKAF

Abd. Rahman, Gusti. 2012. Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Aman, Saifudin. 2013. Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Banten: Ruhama

Hawwa, Sa’id. 1995. Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu. Rabbani Press