Jumat, 10 April 2015

Makalah Sejarah Perkembangan Aliran Mistisisme/Mahdzab-Mahdzab Tasawuf

MAKALAH
Pembentukan Aliran-Aliran Mistisisme
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Mehdzab-Mahdzab Tasawuf”

Dosen Pengampu:
Ahmad Sauqi, S.Ag m.Pd.I
 


Disusun Oleh:
                                              AMIDANA HIKMAH      (2833133005 )


USHULUDDIN
TASAWUF PSIKOTERAPI

INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG

2014/2015


KATA PENGANTAR
           
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberi kesempatan bagi kami untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi agung Muhammad s.a.w yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam islamiyah  ini.
    Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, kami selaku penulis mengucapkan terimakasih kepada :
     1.    Bpk Dr. Maftukhin, M. Ag., selaku kepala IAIN TULUNGAGUNG, yang telah memberikan ruang     gerak bagi kami, dan juga dukungan moral.
     2.    Ahmad Fauzan M.Ag.M.Pd.I selaku dosen pembimbing mata kuliah Mahdzab-Mahdzab tasawuf
     3.    Teman-teman mahasiswa yang telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Kami hanya sekedar mengalami proses pembelajaran sebagai mahasiswa yang ingin mendapatkan ilmu seluas-luasnya, maka kritik, saran serta masukan, kami terima dengan ikhlas dan lapang dada, meskipun tidak tertutup kemungkinan masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Terlepas dari kekurangan itu mudah mudahan kerja keras yang telah kami lakukan dapat menuai sedikit pengetahuan serta manfaatnya.
                                                                        Tulungagung, 29 Maret 2015
                                   

                                                                        Penulis



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.................................................................................... i         
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I    PENDAHULUAN
a.    Latar Belakang............................................................................ 1
b.   Rumusan Masalah....................................................................... 1
c.    Tujuan Penulisan........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
a.      Sejarah Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme...................... 3
b.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme................................................................................. 7
c.      Aliran-Aliran Mistisisme.......................................................... 9
BAB III PENUTUP
a.    Kesimpulan................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................10


BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Mistisisme merupakan faham yang berhubungan dengan hal-hal gaib, sesuatu yang abstrak. Mistisisme berasal dari kata Mistis / ghaib. Dalam literature islam, dikenal dengan sebutan Tasawuf. Mereka yang mendalami Tasawuf dinamakan kaum Sufi. Penjelasan mengenai Tasawuf  tidak dijelaskan secara pasti dan mendetail. Alasanya, Tasawuf merupakan perjalanan rohani seseorang menuju Tuhannya, yang dilakukan dengan bermacam-macam cara. Seperti melalui pengetahuan intuisi, latihan-latihan (riyadlah), kontemplasi, perjuangan (mujahadah), dan masih banyak lagi tahapannya. Tahapan atau stasion ini sangat khas dan terdapat persamaan dan perbedaan antara sufi yang satu dengan yang lain.
Untuk itulah Tasawuf bisa dimengerti oleh mereka yang memperoleh pengetahuan batin, dan berhubungan langsung dengan Tuhan. Kemunculan Tasawuf diawali oleh satu tokoh, yang kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lain. Antar tokohpun tidak sama dalam memperoleh pengalaman spiritual. Akan  tetapi mereka mempunyai satu tujuan yang sama yaitu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan kedekatannnya dengan Tuhan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah terbentuknya aliran-aliran Mistisisme?
2.      Apa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya aliran-aliran Mistisisme?
3.      Apa saja aliran-aliran Mistisisme?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah terbentuknya aliran-aliran Mistisisme
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya aliran-aliran Mistisisme
3.      Untuk mengetahui contoh aliran-aliran Mistisisme.


BAB II

Pembahasan

A.    Sejarah Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme
Mistisisme adalah metode tertentu dalam penghampiran kepada realitas (haqiqah sebuah terma khusus sufisme yang lain), dengan memanfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional yang umumnya tidak aktif dan terpendam kecuali bila terimbau untuk aktif melalui pelatian dibawah bimbingan. Pelatihan ini, yang dipandang sebagai penempuhan jalan (salak ath-thariq) bertujuan menyingkapkan tabir yang menyembunyikan diri dari yang real, dengan demikian menjadi tertransformasi atau terserap kedalam unitas yang tidak dapat dibandingkan.[1]
Pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sal/am, kehidupan spiritual yang dipraktekkan kaum Muslimin tidak disebut tasawuf dan orang yang mengamalkannya tidak disebut sufi. Karena, mereka ketika itu disebut “sahabat”, dan sebutan “sahabat Rasulullah” dianggap sebagai sebutan yang paling mulia. Hal yang sama juga terjadi pada masa tabi’in. Sebutan “tabiin” (pengikut para sahabat) adalah sebutan yang paling mulia bagi mereka.
Al-Qusyairi mengatakan, “Tokoh-tokoh masyarakat muslim setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal/am wafat tidak mempunyai panggilan (gelar) khusus selain “sahabat Rasulullah”, karena tidak adalah panggilan yang lebih utama daripada panggilan ini. Mereka itu selanjutnya disebut “sahabat”. Pada masa sesudah itu, orang yang menjadi sahabat para sahabat Rasulullah Sha/lallahu Alaihi wa Sal/am disebut sebagai “tabi’in”. Mereka menganggap panggilan tersebut sebagai panggilan yang paling luhur. Orang yang hidup setelah masa tabi’in pun kemudian disebut sebagai “tabiit tabi’in” (pengikut para tabi’in). Kemudian zaman pun berganti dan derajat orang pun menjadi berbeda. Orang khusus dan yang menekuni masalah agama kemudian disebut zahid (orang yang zuhud) dan abid (orang yang banyak ibadahnya). Selanjutnya muncullah bidah-bid’ah dan klaim-klaim suci dan setiap kelompok. Setiap kelompok mengklaim mempunyai orang zahid. Maka sekelompok Ahlussunnah yang senantiasa mendekatkan din pada Allah dan menjaga hati dan kelalaian mengkhususnya diri dengan sebutan sufi. Sebutan ini mulai dikenal di kalangan orang-orang besar tersebut sebelum abad ke-2 Hijriyah.”[2]
1)      Masa pembentukan tasawuf
Masa pembentukan tasawuf berjalan sekitar abad I - II Hijriyah, yang oleh Taftazani disebut sebagai fase zuhud (eskatisme) dengan ditandai munculnya individu­-individu yang memusatkan dirinya pada kehidupan akhirat. Mereka menekankan pentingnya peribadahan dengan konsepsi asketis dalam kehidupan yang dijalani dengan tidak mementingkan makanan, pakaian ataupun tempat tinggal.
Pada abad-abad ini tokoh-tokoh spiritualis Islam yang terkemuka menjadi sandaran dan pusat pembelajaran untuk menempuh jalan menuju pengetahuan dan hubungan dengan Tuhan. Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan, tetapi tidak terikat oleh tali upacara tapabrata atau baiat apapun. Proses pembelajaran tasawuf berjalan sangar longgar dan mobii; para peziarah melaksanakan perjalanan jauh mencari guru-guru dan akhirnya pondasi-pondasi yang berfungsi sebagai pusat-pusat bagi para musyafir ini muncul dalam bentuk tempat-tempat perkumpulan. Di kawasan­-kawasan Arab dikenal pondok-pondok yang disebut Ribath, yang di Khurasan dikaitkan dengan rumah-rumah peristirahatan (khanaqah), sementara yang lain adalah tempat pengucilan diri (khalwah atau zawiyyah) seorang pembimbing spiritual. Kesemuanya ini mengandung maksud biara sufi.
Ribath` yang awal didirikan di Pulau 'Abadan di teluk Persia oleh ‘Abd al­-Wahid ibn Zaid (w.177/793). Sejumlah ribath yang lain didirikan di dekat Bizantium dan di Afrika Utara. Pusat-pusat untuk orang-orang shaleh didirikan di Damaskus sekitar tahun 150/767, di Ramlah Ibukota Palestina, yang didirikan oleh seorang amir Kristen sebelum 800 M., di Khurasan kurang lebih pada waktu yang sama, sementara muncul di Alexandria suatu organisasi (tha'ifah) yang menyebut dirinya ash-shufiyya’ pada tahun 200 H.
Maraknya pertumbuhan pusat-pusat tasawuf di antaranya adalah faktor perpindahan pusat kekuasaan dari Syam ke Irak dan Bagdad yang merupakan pusat-­pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, selain juga karena semakin luasnya jangkauan wilayah Islam, semakin lekat persentuhannya dengan tradisi dan agama­ agama lain.
2)            Masa Pengembangan Tasawuf
Masa Pengembangan Tasawuf dilalui dalam kurun waktu abad III dan IV Hijriyah ditandai dengan beralihnya asketisme Islam kepada pola tasawuf (sufisme), mulai muncul dan berkembang ilmu tasawuf yang semula hanya pengetahuan praktis dan semacam langgam keagamaan menjadi konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq. Terlebih pada masa tersebut dunia Islam tengah dibanjiri berbagai khazanah filsafat Yunani yang diterjemahkan dan menjadi bacaan umum di masyarakat Muslim serta penulisan buku­buku ilmiah. Selain itu juga pada masa ini gerakan Syiah (daulah Fathimiyyah) dan daulah Buwaihi di Persia adalah wilayah yang lekat dengan pandangan mistisisme tradisional, dan hal ini menambah semarak perkembangan tasawuf. Pertentangan para mutakallimin (teolog) dengan pandangan-pandangan teologinya yang sistematis, nampaknya juga memicu kaum sufi menteoritisasikan ajaran-ajaran tasawuf mereka.
Pada abad-abad tersebut muncullah 2 corak tasawuf, yakni pertama, aliran tasawuf sunni yaitu aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat dengan selalu berlandaskan pada syari'ah dengan rujukan Al-Qur'an dan As-Sunah. Dimulai dengan Junayd al-Baghdadi (w. 297 H) yang meletakkan dasar-dasar ajaran tasawuf dan tharekat, cara mengajar dan belajar tasawuf, syekh, mursyid, murid dan murid, sehingga ia digelari Syekh al-Thaifah (ketua rombongan suci). Coraknya lebih Sunni, kompromistis dengan kelompok formalis, dan didasarkan pada ketidakmabukkan yang karenanya corak inilah yang dianggap paling aman. Corak kedua, aliran tasawuf “semi” falsafi yaitu aliran para sufi yang telah terpesona oleh keadaan-keadaan. fana' dengan syathahat, dan di antaranya menunjukkan kecenderungan metafisis. Tokohnya adalah Abu Yazid al-Bistami (w. 261 H) yang pertama memperkenalkan doktrin fana', yang mewakili corak falsafi dengan ciri ghalabah (ekstase), illuminatif, dar sukr (mabuk).
Tasawuf yang semula hanyalah praktek-praktek individual dalam pencapaian hubungan dengan Tuhan, pada masa ini menjadi lebih jelas bentuknya oleh karena upaya teoritisasi ajaran-ajaran tasawuf terutama. oleh tasawuf semi-falsafi, maupun sistem hubungan antara guru dan murid, sebagaimana yang dilakukan oleh Junayd al-­Baghdadi.
3)   Masa Konsolidasi Tasawuf
Masa konsolidasi tasawuf berada pada abad V H. / XI M., dimana dua aliran tasawuf pada masa sebelumnya saling bertentangan yang akhirnya dimenangkan oleh tasawuf Sunni. Kelompok ini terdukung oleh dominasi aliran teologi Ahl Sunnah wal Jama'ah sang dipelopori Abu Hasan al-Asy'ary (w. 324 H) dan keras melakukan kritik terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Busthami, dan al-Hallaj atas ungkapannya maupun penyimpangan lainnya. Oleh karena itu corak tasawuf pada fase ini cenderung mengalami pembaharuan dengan mengembalikan pada landasan al-Qur’an dan as­-Sunah, yang menurut Annemarie Schimmel disebut periode konsolidasi. Hal ini dapat dipahami karena setting politik pada waktu itu dipegang oleh al Mutawakil (memerintah 232-247 H/ 847-861 M) dari Daulah Abbasiyah yang menjadikan. "Aswaja" sebagai ideologi negara.
Pada abad-abad ini, tempat-tempat berkumpulnya para sufi yang membentuk kelompok dengan karakter berlainan tumbuh semakin banyak, di antaranya berkat al-­Ghazali (450-505 H) yang memadukan syari’ah dan tasawuf melalui jalur Ahl Sunah wal Jama'ah sehingga benar-benar bercorak Islam dan menjadikan tasawuf dapat diterima secara lebih luas. Meskipun demikian mereka masih mempertahankan karakter mereka sebagai kumpulan-kumpulan individu yang menempuh jalan mereka sendiri, sesungguhpun mereka dikaitkan dengan dan mencari bimbingan dari orang­-orang yang berpengalaman dan menundukkan diri mereka kepada bimbingan­-bimbingan seperti itu. Aturan-aturan persahabatan (shuhbah) sufi semacam itu pada akhirnya menjadi kewajiban religius, dan menjadi dasar pembentukan tharekat pada abad-abad setelahnya.
4)      Masa Pembentukan Tharekat
Masa pembentukan tharekat pada abad VI H, posisi tasawuf sunni semakin menguat. Meskipun pada masa ini pula tasawuf falsafi kembali muncul dengan mengkompromikan makna term-term filsafat dengan tasawuf, semisal tokohnya Muhyiddin Ibn al-‘Arabi (w. 638) dengan konsep ‘Wahdat al-Wujud, Syihabuddin Surahwardi al-Maqtul (yang terbunuh) (w. 581/590 H) dengan teori Isyraqivah (pancaran, illuminasi), dan sebagainya. Maraknya pusat-pusat sufi ini dapat dipahami dengan melihat setting politik pemerintahan Bani Seljuq saat itu, yang merupakan pendukung sunnah dan memusuhi kelompok Syi'ah. Pusat-pusat tasawuf pada akhirnya membentuk sistem persahabatan yang khas dan mulailah hubungan mursyid dan murid dalam menempuh jalan spiritual (thariq) menjadi baku.
Pada masa sebelum ini kata tharekat, Thariq berarti jalan atau cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang menempuh hidup sufi. Namun setelah abad V-VI H/11 M. tharekat mempunyai pengertian suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan latihan-latihan rohani dan jasmani pada segolongan kaum muslimin menurut ajaran dan keyakinan tertentu.[37] Dalam kasus ini sekelompok atau sejumlah sufi yang bergabung dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan rohaniah yang hidup secara kolektif di berbagai zawiyah, rabath. dan khanaqah, atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, sera mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun rohaniah yang teratur.
Misalnya di Syiraz, kelompok Sufi menampilkan dzikir (yukabir) di dalam masjid-masjid mereka setelah shalat Jumat dan melantunkan shalawat atas Nabi Saw. dari atas mimbar. Bahkan suatu gerakan yang terorganisasi, Karramiyyah pada jaman itu (sekitar 975 M) sangat efektif, dengan mempunyai khanaqah di seluruh Asia Islam, dan tampaknya dari merekalah kaum sufi membangun cistern khanaqah.
Demikian juga dengan terjadinya perubahan sikap kaum legalis Islam yang semula memusuhi sufisme, menjadi mengintegrasikan sufisme dengan kaidah formal agama. Hal ini telah diawali oleh al-Sulami, al-Qusyairi, dan al-Ghazali tentang gagasan kebutuhan-kebutuhan religius selain ritual yang disucikan dan ditetapkan oleh hukum. Hal-hal ini semakin memantapkan corak tasawuf sunni Dan demi mengawasi "jalan" komunikasi dengan Tuhan yang tidak tersesat, maka keberadaan kelompok-­kelompok sufi dengan seorang guru yang telah terkenal 'alim, memiliki hubungan dengan ortodoksi dan menjamin penerimaan atas hukum dan praktek ritual Islam. menjadi lebih dapat diterima.Sementara itu pergolakan penaklukan Mongol atas Baghdad tahun 1258 yang dibarengi dengan migrasi besar-besaran kaum sufi yang dengannya telah menjadi gerakan pedesaan dan perkotaan sekaligus.
Pada masa-masa inilah pertumbuhan tharekat mengalami era keemasannya. Di antara tharekat tersebut adalah Tharekat Suhrawardiyah yang dibangun oleh Diiva' al­-din abu Najib al-Surahwardi (1097-1168 M) yang kemudian dilanjutkan Shihabuddin Suhrawardi az-Zanjani (w. 630 H). Tharekat Rifa'iyyah oleh Ahmad ibn 'Ali al-Rifa'i (1106-1182). Tharekat Qadiriyah oleh Abd al-Qadir Jilani (1077-1166 M). Ketiganya berada di wilayah Mesopotania. Tharekat Mawlawiyah didirikan oleh Jalal ad-Din Rumi yang bergelar Mawlana. Tharekat Naqsyabandiyah yang namanya dinisbatkan pada sebutan tokoh besar tharekat ini Kwaja Baha' al-Din Muhammad bin Muhammad (1318-1389). Keduanya dari wilayah Turki. Bahkan di Asia Timur (India) muncul tharekat Chisytiyyah oleh Mu'in al-Din Hasan Chisyti (lahir di Sijistan 537/1142) dan Suhrawardiyyah India dengan tokohnya Nur al-Din Mubarok Ghaznawi, seorang murid dari Syihab al-Din al-Suhrawardi, dan masih banyak lagi tharekat yang lain .
B.     Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Aliran-Aliran Mistisisme
Para sufi yang meinginkan kemanunggalan dengan Tuhan sebagai tujuan utamanya. Mereka melakukan berbagai ritual yang biasa dilakukan para Sufi sebagai penyucian diri. Ritual itu dilakukan melalui tahapan-tahapan atau “maqamat” yang nantinya berkaitan dengan kondisi psikologis yang disebut keadaan “ahwal”. Jika semua sudah tercapai maka pengetahuan tentang Tuhan diperoleh. Semua itu dilakukan melalui para guru yang sudah mempunyai pengalaman spiritual. Sebagaimana yang dikemukakan J.Speener Timingham, Alirana-aliran itu muncul sebagai bentuk metode gradual Mistisisme kontemplatif dan pelepasan diri. Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru Sufisme terkenal, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan yang awalnya belum mengenal ucapan spesifik dan prosesi baiat apapun.
Peralihan Tasawuf dari yang bersifat personal, kepada tarekat yang bersifat melembaga tidak terlepas dari perkembangan Tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruhnya, semakin banyak pula orang yang memiliki pengetahuan yang dapat menuntun mereka. Belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal adalah suatu keharusan. Seorang guru biasanya menformulasikan suatu system pengajaran yang kemudian menjadi ciri khas dan yang membedakannya dengan tarekat lain.
Karena banyaknya cabang tarekat yang timbul dari setiap induk, sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu secara sistematis dan konseptual. Akan tetapi yang jelas cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru  sebagai perluasan ilmu dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi menunggalkan ribath gurunya dan mendirikan ribath baru. Jadi, dari ribat induk, muncul ribath cabang, lalu ribath ranting dan seterusnya. Namun, kesemua ribath-ribath itu tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan dan awal-awal yang sama.
Menurut John Obert Voll, tarekat semakin besar dan bermunculan setelah kekuasaan Turki menyebar kemana-mana. Tarekat menjadi lambang dan gerakan rakyat secara diam-diam terhadap kekuasaan Turki sendiri, juga Mekah, Mesir, India, dan Indonesia. [3]
C.     Aliran-Aliran Mistisisme
Tarekat Bekhtasiyyah diidentikkan dengan pendirinya yaitu Muhammad Atha bin  Ibrahim Haji Bekhtasyi (w.1335 M). Tarekat ini sangat popular dan pernah memegang peranan penting di Turki yang dikenal dengan Korps Jenissari yang diorganisasikan oleh Murad I pada masa Turki Usmani. Selain itu, terdapat Tarekat Bahramiyyah, didirikan oleh Haji Bahran (w.1430 M). Tarekat ini berkembang dan memperoleh banyak pengikut disekitar Ankara Turki. Beberapa
Diantara beberapa tarekat yang lainnya yaitu Tarekat Qadariyyah, Tarekat Syadziliyyah, Syatariyyah, Naqsabandiyyah, Tijamiyyah, Sanusiyyah, Samaniyyah, Rifa’iyyah, dan yang lainnya.

BAB III

Kesimpulan

Mistisisme merupakan faham yang berhubungan dengan sesuatu yang abstrak. Dalam Islam, istilah Mistisisme digunakan untuk menyebut orang-orang sufi yang dikenal dengan Sufisme. Orang-orang sufi mempunyai pegetahuan yang lebih tentang kehidupan Spiritual. Mereka melakukan usaha-usaha atau mujahadah, yang dilaluinya melalui tahapan-tahapan.
Dalam setiap tahapan atau maqamat itu, mereka memperoleh pengalaman spiritual, dari keadaan-keadaan yang dialaminya hingga mencapai hakikat. Mereka mengalami ekstasi, sebagai bentuk penyatuan diri dengan Tuhan. Hal itu dilakukan dengan bimbingan dari seorang guru atau Mursyid yang telah memiliki pengalaman Ketuhanan. Jadi mereka memperoleh wawasan kebenaran spiritual dari bahaya ilusi-ilusi. Dari situlah awal terbentuknya aliran-aliran mistisisme, dari bimbingan itu, terdapat sekolompok orang yang melakukam perjalanan untuk mencari guru sufisme terkenal. Mereka berkumpul untuk melakukan pelatihan dan bimbingan demi tercapainya kepasrahan diri. Mereka menyebutnya sebagai Tharekat, yaitu perjalanan penyucian. Dua kecenderungan sebagai awal aliran itu diantaranya yaitu Abu Al-Qasim Al-Junaidi yang melakukan ritual dengan kemabukan dan Abu Yazid Thaifur Al-Bisthami dengan ritual tanpa kemabukan.
Dengan perkembanganya, kini banyak dikenal aliran-aliran Mistisisme, seperti Mawlaiyyah, Abhariyyah, Suhrawardiyyah, Kubrawiyyah dan yang lain-lainnya. Mereka mengikuti tradisi Iraqi, dengan Guru besar sufi Abu Al-Junaidi. Sedangkan aliran dari Tradisi Khurasani, dengan Guru besar abu Yazid thaifur Al-Busthami yaitu Khawajangiyyah, Naqsabandiyyah, Yusufiyya dan yang lainnya.


DAFTAR PUSTAKA


Timingham, J.Speencer, 1999.Mahdzab Tasawuf.Bandung, Pustaka
Amin, Samsul Munir, 2012.Ilmu Tasawuf.Jakarta, Amzah
http://marjuki03.blogspot.com/2013/12/perkembangan-tasawuf.html



[1] J.Spencer Timingham, Mahdzab Sufi (Bandung, Pustaka.1999), hal 1-3
[2] http://marjuki03.blogspot.com/2013/12/perkembangan-tasawuf.html

[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf (Jakarta:Amzah, 2012) hal. 299-333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar