Minggu, 03 Januari 2016

Makalah Tazkiyat Al-Nafs

MAKALAH
TAZKIYAT AL-NAFS
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“TERAPI SUFISTIK”
Dosen Pengampu :
AHMAD FAUZAN, S.S, M.PD.I


Disusun Oleh:

                                    AMIDANA HIKMAH   : (2833133005)


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
JURUSAN TASAWUF PSIKOTERAPI  5-A
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
TAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji syukur kehadirat Alloh SWT karena berkat kelimpahan rahmat serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Terapi Sufistik” ini dengan lancar. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyah menuju zaman Islamiyah.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima kasih, kepada:
1.     Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)  Tulungagung yang telah memberikan kesempatan untuk kami menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini.
2.     Ahmad fauzan, S.S, M.Pd.I selaku Dosen Pembimbing matakuliah Terapi Sufistik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung yang telah memberikan pengarahan sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan.
3.     Semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan makalah.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan kepada penulis pada khususnya dan kepada pembaca pada umumnya.

Tulungagung, 18 Desember 2015

                                                                                                      Penulis




DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I      PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang..................................................................................... 1      
B.      Rumusan Masalah................................................................................ 1      
C.      Tujuan                                                                                                   2

BAB II     PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tazkiyat Al-Nafs............................................................... 2
B.    Konsep Tazkiyat Al-Nafs ................................................................... 4
C.    Metode-Metode Tazkiyat Al-Nafs ..................................................... 5
D.    Manfaat Dari Tazkiyat Al-Nafs........................................................... 7

BAB III    PENUTUP
A.      Kesimpulan.......................................................................................... 10
B.      Saran…................................................................................................. 10

DATAR PUSTAKA.................................................................................... iv


                                                                        BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs
Manusia merupakan makhluk yang memilik unsur materi dan immateri. Unsur materi merupakan jasad, sedangkan unsur immateri merupakan akal dan jiwa. Akal menjadikan manusia dapat memahami berbagai pengetahuan sehingga menghasilkan ilmu, sedangkan jiwa dapat mewujudkan kesucian dan etika. Unsur materi dan immateri merupakan unsur yang saling berkaitan, karena jasmani dapat menghasilkan keterampilan jika dibina dengan  baik. Jadi, keseimbangan antara jasmani, akal dan jiwa merupakan hal yang harus ada pada diri manusia. Jika keseimbangan itu tidak ada, maka dalam kehidupannya, manusia sulit untuk mendapatkan ketenangan, kepuasan dan kebahagiaan.
Nafs pada pembahasan ini bermakna jiwa, sebagai sesuatu yang menggerakkan jasmani, dan bisa dididik agar dapat dikendalikan. Ayat Al-Qur’an dalam surat As-Syams ayat 8, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. Dari sepenggal ayat tersebut menjelaskan bahwa, setiap nafs tercipta dalam keadaan sempurna. Tergantung pada manusia sendiri, apakah akan membawa nafs pada jalan taqwa, ataukah pada jalan kebathilan.[1]
Sebagian sufi mengkategorikan Nafs menjadi tujuh tingkatan, yaitu 1) Nafs Amarah, merupakan nafs yang selalu mengajak pada kejahatan dan berada pada tingkatan terendah. 2) Nafs Lawwamah merupakan nafsu yang suka menyesali hilangnya peluang untuk melakukan kebaikan. 3) Nafs Mulhamah, merupakan nafs yang telah mendapat bimbingan dan ilham dari Allah SWT. 4) Nafs Muthma’innah, merupakan Nafs yang takut kepada Allah, dengan cirinya tenang, tenteram dan damai. 5) Nafsu Rodhiyah, merupakan nafsu yang ridho  merasakan cinta karena berada di dekat Allah, dan selalau ridha dalam kedekatannya dengan Allah. 6) Nafsu Mardhiyyah, merupakan nafsu yang diridhoi, karena merasa senang dan puas terhadap kecintaannya kepada Allah. 7) Nafsu Kamilah, merupakan Nafsu yang sempurna, sehingga hana dimiliki oleh Nabi dan Rosul.[2]
Tazkiyah diartikan sebagai 1) ajaran para Rosul kepada manusia, yang jika dipatuhi maka akan menyebabkan jiwa mereka tersucikan olehnya, 2) mensucikan diri dari jiwa yang kotor, 3) mensucikan dirinya dari syirik, karena dalam Al-Qur’an memandang bahwa syirik adalah perbuatan najis, 4) mengangkat martabat manusia dan mengangkat martabat kaum munafik kemartabat kaum mukhlisin.[3] Seperti yang telah difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 151 Allah SWT: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.
Al-Ghozali juga memberikan penjelasan mengenai Tazkiyat Al-Nafs. Tazkiyat Al-Nafs diartikan secara sistematik, yaitu sebagai proses penjernihan hati agar menjadi bening seperti kaca sehingga tembus cahaya (Nur) dan tidak menghalangi masuknya cahaya dari Allah. Pandangan ini didasari keyakinannya bahwa hati manusia adalah seperti kaca, sedangkan dosa-dosa atau kejelekan yang dilakukanya adalah ibarat noda yang mengotori kebeningan kaca sehingga kaca tersebut menjadi tidak tembus pandang atau terjadi jebol (terhalang) dari cahaya yang datang dari luar.[4]  Hal ini terdapat dalam surat As-Syams ayat 9-10, yaitu: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (Qs. As-Syams: 9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (Qs. As-Syams: 10).
Spiritualitas memiliki peran yang penting bagi setiap manusia. Beberapa upaya untuk meningkatkan spiritual, maka upaya yang dapat dilakukan yaitu tazkiyatunnafsi. Tazkiyatunnafsi merupakan proses melakukan penyucian jiwa yang tiada pernah henti. Pikiran-pikiran yang tidak baik perlu dihilangkan, bisikan-bisikan setan yang kotor harus dibersihkan. Penyakit ruhani seperti ujub, sombong, hasud, dengki, benci, tidak ridha, mudah tersinggung, mudah marah, serakah, ingin menang sendiri, egois, masa bodoh, dan sejenisnya harus dibersihkan setiap waktu dan setiap saat. Dalam hati harus ditumbuhkan rasa kasih sayang, ditumbuhkan rasa syukur, rasa rahmat, cinta, peduli, simpati, empati, penghargaan atas orang lain, disiplin beribadah dan penerapan disiplin-disiplin dalam hal apapun, maaf dan sebagainya.[5]
B. Konsep Tazkiyah Al-Nafs
Konsep Tazkiyah al-nafs menurut al-Ghazali secara umum didasarkan atas rub-rub yang terdapat dalam kitab ihya’ul ulumuddin yang terdiri dari:
1.   Rub al-ibadah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang ibadah yaitu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah SWT. Rub ini berbicara tentang keutamaan ilmu, aqidah, thaharah, rahasia sholat, puasa, haji dan zikir.
2.   Rub al-adah yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Rub ini berbicara tentang tata cara pergaulan, pernikahan, adab mencari penghidupan dan ketentan halal dan haram.
3.   Rub al-muhlikat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan dirinya sendiri, khususnya membahas tentang akhlak tercela yang harus dihindari oleh setiap orang. Rub ini berbicara tentang penyakit jiwa seperti bahaya lidah, sifat dengki, marah, bakhil, dan bahaya akan kecintaan pada dunia.
4.   Rub al-munjiyat yaitu bagian-bagian yang membahas tentang hubungan manusia dengan dirinya, khususnya membahas tentang sifat-sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Ruh ini menjadi obat bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
Pembahasan tazkiyah al-nafs dalam kitab ihya’ul ulumuddin yang banyak membahas tentang tazkiyah itu sendiri yaitu kitab tentang ilmu, aqidah, thaharah dalam beribadah, serta kitab tentang keajaiban jiwa dan latihan kejiwaan dalam rub al-muhlikat.
Dari kitab tentang keajaiban jiwa, Al-Gazali mengartikan tazkiyah sebagai jiwa yang sadar akan dirinya dan mau bermakrifat kepada Allah. Sebaliknya tadsiyah al-nafs merupakan jiwa yang lupa akan dirinya dan tidak mau bermakrifat kepada Allah. Jiwa yang pertama disebut zakiyah, thahir, salim, dan mutmainnah. Sebagai balasannya jiwa tersebut memperoleh kemenangan dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Jiwa yang kedua disebut jiwa yang kotor atau sakit. Jiwa ini dalam kehidupannya di dunia dan akhirat mengalami kerugian dan Allah enggan menerimanya. Selanjutnya, menurut Al-Ghazali, jiwa yang dibina dengan proses tazkiyah akan meningkat derajatnya ke tingkat yang tinggi naik ke dalam malakut dan berada dekat dengan Allah. Sementara jiwa yang dibina dengan proses tadsiyah akan meluncur derajatnya ke tingkat yang lebih rendah, turun ke derajat jin setan dan jiwa orang-orang fasiq.[6]
C. Metode-Metode Tazkiyat Al-Nafs
Penyucian jiwa dilakukan sebagai upaya untuk membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia dan  manusia dengan lingkungan juga dengan dirinya sendiri. Mujahadah dalam melakukan berusaha menjadi faktor utama untuk keberhasilan penyucian jiwa. Al-Ghazali lebih menekanakan pada riyadhoh dengan mengosongkan diri dari perangai tercela, lalu mengisi jiwa dengan akhlak terpuji yang akhirnya membawa jiwa manusia pada kesempurnaan, dengan kedekatanya kepada Allah. Beberapa perangai tercela yang dimaksudkan yaitu 1) kufur, nifaq, kefasikan, dan bid’ah 2) kemusyrikan dan riya’ 3) cinta kedudukan dan kepemimpinan 4) kepemimpinan 5) kedengkian 6) ujub 7) kesombongan 8) kebakhilan 9) keterpedayaan 10) amarah yang zalim 11) cinta dunia 12) mengikuti hawa nafsu.
Tujuan utama Tazkiyat Al-Nafs yaitu untuk menyeimbangkan antara ibadah, adat dan akhlak manusia. Diperlukan beberapa cara untuk memperbaiki ketiganya, agar keseimbangan dapat tercapai. Al-Ghozali menjelaskan beberapa metode untuk memperoleh akhlak yang baik. Pertama, mengharap kemurahan Allah. Kedua, bersusah payah melakukan segala kebaikan sehingga menjadi kebiasaan dan sesuatu yang menyenangkan. Ketiga sering bergaul dengan orang-orang yang shaleh.[7]
Metode-metode tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa sarana Tazkiyat Al-Nafs diantaranya yaitu tauhid, taubat, sholat, sedekah atau zakat dan infaq, puasa, haji, tilawah Al-Qur’an, zikir, tafakkur, mengingat kematian dan pendek angan-angan, Muraqabah, muhasabah, mujahadah dan mu’aqabah, amar ma’ruf nahi mungkar, pelayanan dan tawadhu’.
Tauhid dan taubat harus ada dalam hati manusia dan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya menjadi hal pokok untuk dilakukan dalam setiap waktu. Sholat merupakan sarana awal yang digunakan untuk membersihkan jiwa. Sholat juga merupakan ibadah wajib, yang membawa manusia untuk selalu istiqamah dalam setiap ibadahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Ankabut: 45)
Sedekah, zakat, infaq merupakan memberikan harta kepada sesamanya yang sedang membutuhkan karena Allah. Hal ini dapat membersihkan hati manusia dari sifat bahkhil dan kikir. Seperti firman Allah: yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (Qs. Al-Lail: 18)
Puasa merupakan menahan lapar, mengendalikan syahwat. Sehingga dengan demikian merupakan sarana Tazkiyat Al-Nafs. Seperti firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 183)
Dzikir merupakan mengingat Allah, sehingga menambah keimanan dan ketauhidan dalam hati manusia.  Seperti firman Allah: ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar-Rad: 28)
Tilawah Al-Qur’an merupakan ibadah sebagai sarana berkomunikasi kepada Allah. Membaca Al-Qur’an dengan mengerti dan menghayati maknanya, tartil membacanya, sesuai dengan tajwidnya, maka akan melunakkan hati manusia yang keras. Selain itu, rahasia kekuasaan Allah dan pengetahuan tentang Allah juga dapat tersingkap. Seperti firman Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”(Qs. Al-Anfal: 2)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Qs. Ali-Imran: 193) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 192)[8]
D. Manfaat Tazkiyat Al-Nafs
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Orang yang memiliki jiwa yang sudah tersucikan akan menampakkan amaliah-amaliah dalam kehidupannya. Hal nyata yang dapat dirasakan dari manfaat Tazkiyah Al-Nafs adalah mampu mengendalikan lidah dan memiliki adab dalam berhubungan dengan Allah dan sesama manusia. Jadi, jiwa-jiwa tersebut akan selalu haus untuk melakukan kebaikan. Orang tidak akan menilai kesucian jiwa seseorang kecuali jika telah menyaksikan perilakunya secara langsung. Beberapa buah Tazkiyat Al-Nafs:
1.   Dapat Menjaga Lidah
Kewajiban utama dalam urusan lidah adalah menggunakannya dalam dakwah kepada kebaikan, amar-ma’ruf nahi mungkar, mendamaikan persengketaan, menyerukan kebaikan dan takwa. Jiwa yang suci akan selalu bertadabur, atas segala perbuatan termasuk ucapannya. Seperti firman Allah:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”(Qs. Ali Imran: 104)
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan.”(AL-Mujadilah: 9)
Kelalaian manusia dalam urusan lidah dapat menjerumuskan manusia dalam kehancuran, karena lidah merupakan sumber berbagai perbuatan mingkar. Seperti halnya ghibah, menggunjing, bersumpah palsu, mengfitnah, berdusta, berkata keji, membuka aib oranglain, riya’, ujub, berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, pertengkaran, sanjungan yang berlebihan, dan banyak yang lainnya.
Rosulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang sesuatu apa yang banyak memasukkan orang kedalam surga, lalu Rasul menjawab,”Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Lalu bertanya lagi, tentang sesuatu apa yang banyak yang memasukkan orang kedalam neraka, rasul pun menjawab,” Dua hal yang kosong, mulut dan kemaluan”.[9]
2.   Memiliki Adab Terhadap Lingkungan
Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan manusia terhadap sesama manusia dan alam yang ditempatinya. Adab menjadi kunci utama untuk menciptakan kemaslahatan dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Manusia akan membentuk ruang lingkup dalam setiap interaksinya, misalnya ruan lingkup keluarga, ruang lingkup masyarakat, atau tetangga, ruang lingkup profesi, atau pekerjaannya, semua ruang lingkup itu dapat berlangsung harmonis jika manusia yang ada didalamnya memiliki hati yang bersih, jiwa yang suci.
Prinsip dalam berbagai kemanusiaan adalah berbuat ihsan, dan perbuatan politik yang diarahkan oleh amirul mu’minin. Seperti firman Allah: “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”. (Qs. Al-Mu’minun: 96)
Selain itu, salah seorang sahabat bertanya kepada Rasul.” Wahai rosul, siapakah orang yang paling utama?”. Lalu, Nabi Muhammad SAW. Bersabda. ”Orang yang paling bertakwa kepada Allah, paling banyak menyambung kerabatnya, paling banyak memerintahkan yang ma’ruf dan paling banyak mencegah yang mungkar”.
Firman Allah dan hadist Rasul tersebut dapat diambil beberapa pelajaran bahwa, setiap interaksi manusia terhadap sesamanya dan lingkunganya harus disertai dengan adab-adab yang baik. Terciptanya kehidupan yang sesuai dengan tatanan Allah merupakan kenikmatan dan hasil penerapan dari penerapan terhadap nilai-nilai ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadis.[10]
Mempelajari dan mangamalkan konsep juga metode Tazkiyat Al-Nafs akan mewujudkan keberhasilan penyucian jiwa. Kesemuanya harus didasari pada kesungguhan, istiqamah, dan perjuangan denagn segala kemampuannya. Semuanya tergantung dari manusia itu sendiri, karena Allah akan memberikan hidayah dan kemenangan bagi setiap hambanya yang berbuat kebaikan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jiwa yang tersucikan merupakan jiwa-jiwa yang memilik akhlak sesuai apa yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadist, dan teladan utamanya yaitu Nabi Muhammad SAW.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini, maka pembaca dapat menerapkan bagaimana upaya-upaya untuk menyucikan jiwa. Setiap manusia tercipta sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan lupa. Untuk itu, penyucian jiwa sangat penting diterapkan untuk membentuk akhlak dan perilaku yang mulia.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran sebagai upaya penulis untuk memperbaiki kekurangan dan kecerobohan penulis dalam menyampaikan pemahaman dari penulis. Semoga pembaca maupun penulis senantiasa menjadi manusia yang selalu menerapkan perbuatan baik, dan dapat menghindarkan diri dari perbuatan mungkar.



[1] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 140
[2] Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa, Psikologi Sufi untuk Transformasi (Yogyakarta: Serambi, 1999) Hal. 84
[3] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 141-143
[4] Gusti Abd. Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012) Hal. 171
[5] Saifudin Aman, Tren Spiritualitas Milenium Ketiga (Banten: Ruhama, 2013). Hal. 91
[6] Imam Malik, Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa) (Surabaya: eLKAF, 2005). Hal. 149-152
[7] Gusti Abd. Rahman, Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012) Hal. 296

[8] Sa’id Hawwa, Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu (Rabbani Press, 1995) Hal. 27-154
[9] Ibid, hal. 459-548
[10] Ibid, hal. 458-481


DAFTAR PUSTAKA


Frager, Robert, 2011. Psikologi Sufi untuk Transformasi Diri, Nafsu dan Jiwa. Yogyakarta: Pt. Serambi Ilmu

Malik, Imam. 2005. Tazkiyat Al-Nafs (Sebuah Penyucian Jiwa). Surabaya: eLKAF

Abd. Rahman, Gusti. 2012. Terapi Sufistik untuk Penyembuhan Gangguan Kejiwaan. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Aman, Saifudin. 2013. Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Banten: Ruhama

Hawwa, Sa’id. 1995. Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali, Intisari Mensucikan Jiwa Konsep, Mensucikan Jiwa Terpadu. Rabbani Press







Tidak ada komentar:

Posting Komentar