Kamis, 07 Mei 2015

Makalah Etos Kerja Faqir dalam Tasawuf 1/Tasawuf Sosial



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Faqir secara istilah bermakna ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang faqir berada dalam kondisi lemah, serba kekurangan sehingga kehidupanya bergantung kepada orang lain. Berbeda pengertian dengan ilmu Tasawuf dalam memaknai fakir. Faqir dalam Ilmu Tasawuf bermakna keadaan dimana diri merasa lemah dihadapan Allah SWT dan hanya Allah sebagai tempat untuk bergantung. Terdapat beberapa pengertian tentang faqir dalam Al-Qur’an, jika ditafsirkan akan berbeda makna.
Beberapa Ulama juga memberikan penafsiran yang tidak sama, misalnya saja penafsiran Hamzah Fazuri tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan maqamat, Faqir menurut imam Syafi’I dan imam Ahmad adalah seseorang yang sama sekali tidak memiliki harta, atau memiliki sedikit harta atau penghasilan dari suatu pekerjaan namun tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
B.    Rumusan Masalah
1.   Apa pengertian Faqir dalam Al-Qur’an?
2.   Bagaimana pendapat Ulama tentang Faqir?
3.   Bagaimana cara menjadi Faqir menurut Tasawuf?
C.    Tujuan
1.   Untuk mengetahui pengertian Faqir dalam Al-Qur’an
2.   Untuk mengetahui pendapat ulama mengenai Faqir
3.   Untuk mengetahui cara menjadi Faqir menurut Tasawuf  


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Faqir dalam Al-Qur’an
Kata faqir dalam istilah bahasa berasal dari akar kata f-q-r, yang dalam bentuk masdarnya bermakna tulang punggung, dan bentuk kerja faqara-yafqaru bermakna patah tulang punggung. Kata faqir sendiri bermakna orang yang patah tulang punggungnya, satu makna dengan bentuk mafqur.
Faqir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan atau orang miskin. Kata faqir mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah SWT.[1]
Sedangkan dalam pandangan kaum sufi fakir adalah tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam term sufi pengertian dari fakir menunjukkan kepada seseorang telah mencapai akhir “ lorong spiritual “ menurut Ibnu Qudamah semua orang itu fakir, karena mereka membutuhkan kepada kemurahan Tuhan.[2]
Makna faqir sendiri menurut al-Isfahani memiliki empat kategori. Pertama, faqir bermakna membutuhkan dalam hal yang paling mendasar, berlaku bagi seluruh manusia dan seluruh makhluk yang ada. Pemaknaan faqir disini memiliki arti tentang kebutuhan manusia kepada Allah. Dan hal ini tentu dialami oleh seluruh manusia, karena hal ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar. Walaupun manusia membutuhkan Tuhannya dengan cara yang berbeda-beda. Berbeda pula dengan orang kafir yang sudah tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. Karena mereka (orang-orang kafir) sudah tidak percaya kepada Allah dan rasulnya, mereka berusaha membujuk manusia yang lain untuk ikut bersama mereka dengan banyak cara yang ditempuhnya supaya para orang-orang muslim ikut bersama mereka dalam keyakinan kepada Tuhannya.
Kedua, faqir dalam makna tidak memiliki kekayaan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pengertian faqir disini sevar substansial satu makna dengan miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah:60 yang artinya; “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dilunakkan hatinya, untuk (memerdekakan) budak untuk (membebaskan), orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Ayat di atas mengintruksikan bagi manusia agar memberikan zakat kepada orang-orang yang telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya tersebut.
Ketiga, kefaqiran jiwa. Ini merupakan sejelek-jeleknya kefaqiran. Kategori ini kebalikan dari sifat qana’ah atau kekayaan hati seperti tergambar pada orang faqir dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:273 yang artinya “(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya Karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.”. Ayat di atas memaparkan tentang jenis orang yang faqir dalam jiwanya bukan dalam kehidupannya di dunia. Seseorang yang fakir dalam jiwanya, tentu dia akan faqir terhadap pertolongan Allah SWT yang merupakan Maha Kaya dan juga penolong bagi umatnya yang benar-benar beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Keempat, kefaqiran terhadap petunjuk dan bimbingan Allah Ta’ala. Jenis faqir di sini dekat pengertiannya dengan jenis orang yang kefaqiran jiwa. Karena masalah kejiwaan yang dialami oleh manusia tentu akan selalu berdampak bagi kehidupan jasmaniyahnya. Yang secara sepontanitas sifat lahiriyahnya dan bathiniyahnya manusia selalu berjalan berdampingan dan tidak bisa berjalan dengan hanya sebelah saja. Penyeimbangan keadaan dua sifat tersebut merupakan hal yang dianjurkan supaya keadaan seseorang berjalan dengan stabil.[3]
B.      Pendapat Ulama Mengenai Faqir
Abu Muhammad Al-Jurairi menyatakan bahwa, “ Faqir ialah hendaknya kamu tidak mencari sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki-rezeki kecuali kamu tidak dapat menegakkan kewajiban.[4]
Ruwaym pernah ditanya tentang tanda-tanda orang miskin, lalu ia menjawab“ Miskin berarti menyerahkan jiwa pada ketentuan-ketentuan Allah SWT. Tanda orang miskin itu ada tiga ; ia melindungi batinnya, ia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya, dan ia menyembunyikan kemiskinanya. [5] Selain itu, Ath-Thusi juga pernah menyatakan, bahwa orang miskin adalah yang terkaya diantara ciptaan Allah. Mereka melepas pemberian demi sang Pemberi.[6]
Pendapat yang dikemukakan oleh Nicholson mengenai konsep kefaqiran (poverty ) adalah sebagai berikut :“ Kefaqiran adalah sedikitnya niat dalam mendapatkan harta kekayaan, bahkan tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk memperoleh harta kekayaan itu. Ini diumpamakan kosongnya hati (untuk mendapatkan kekayaan) sebagaimana kosongnya tangan (karena tidak memegang apapun).[7]
Kefaqiran merupakan ketiadaan niat dan usaha untuk mendapatkan kekayaan. Namun, bisa saja ada orang yang berharta melimpah, tetapi hatinya masih bisa menjaga jarak terhadap kekayaanya. Jadi, kefaqiran mengandung arti peniadaan segala sesuatu yang menjadi keinginan hati, baik yang bersifat lahiriyah manupun batiniyah.
Kyai Achmad menilai kefaqiran (Al-Faqr) tidak hanya sesuatu yang penting,  melainkan juga merupakan maqam yang tertinggi. Menurutnya, Al-faqr adalah selalu menyadari kebutuhan diri kepada Allah SWT. Setiap orang mengerti bahwa dirinya membutuhkan Allah, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Konsepsi al-faqr ini dapat dilihat dari pernyataan kyai Achamad berikut ini : “ Al-Faqr berarti adanya kesadaran bahwa diri ini tidak memiliki sesuatu sama sekali yang patut bernilai dihadapan Allah SWT. Bukan saja kekayaan yang berupa harta benda, kekuasaan, dan kepandaian, tetapi amal ibadah yang dilakukan sepanjang hidup ini juga sama sekali tidak sepatutnya diandalkan, apalagi dibanggakan di hadapan Allah SWT. Tanpa belas kasihnya sgalanya tidak akan ada nilainya sama sekali. Sepenuhnya menyadari ketergantungan kepada Allah SWT, setiap saat, setiap detik, terus menerus tak terputus, segala situasi dan dalam segala cuaca. Inilah arti al-faqr yang sebenar-benarnya.[9]
Konsep Al-faqr ini menunjukkan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari keterlibatan Tuhan dalam segala hal. Dengan kata lain, setiap manusia senantiasa membutuhkan Tuhan. Sehingga seorang sufi selalu menempatkan dirinya sebagai al-faqir. Dengan alasan demikian, Kyai Achmad membuat sebuah ungkapan : “Tasawuf adalah nama yang mencakup dua pengertian, yaitu al-faqr dan az-zuhud.[10] Jadi, tasawuf pada hakikatnya adalah adalah  al-faqr dan az-zuhud itu sendiri.
Menurut Al-Ghazali faqir dibagi dalam dua macam, yaitu :
a.      Fakir secar umum, yaitu hajat manusia kepada yang menciptakan dan menjaga eksistensinya. Faqir seperti ini adalah bentuk faqir seorang hamba kepada Tuhanya. Sikap seperti ini hukumnya wajib.
b.     Faqir muqayyad (terbatas), yaitu kepentingan yang menyangkut kehidupan manusia.
Pandangan tentang faqir menurut Muzayin :
 كا نت الطرق الى الله اكثر من نجوم السماء فما بقي منها طريق الفقر وهو اصح الطرق
Jalan menuju Allah itu lebih banyak dari bilangan bintang di langit, tidak ada yang ketinggalan daripadanya kecuali satu jalan saja, yaitu fakir, itulah yang paling lurus dari segala jalan”.[11]
Sendangkan Al-Nuri mendefinisikan faqir :
  نعت الفقير السكون عند العد م والايثار عند الوجود
Sifat orang faqir itu diam saja ketika tidak punya apa-apa, dan tidak membutuhkan ketika punya apa-apa”.[12]
Sedangkan pandangan Dzunun al-Misri tentang faqir :
  علا مة سخط الله على العبد خوفه من الفقر
Alamat seorang hamba yang akan mendapatkan murka Tuhan adalah orang yang takut fakir”.[13]
Dari semua pendapat ulama’ diatas dapat disimpulkan bahwa faqir yang sesungguhnya tidak memiliki sesuatu, dan di dalam hatinya tidak menginginkan atau membutuhkan sesuatu selain Allah SWT, dan hal yang demikian ini dilakukan untuk menempuh maqamat tasawuf yang bertujuan berada sedekat mungkin dengan Allah.
C.    Menjadi Faqir menurut Tasawuf
 Kefaqiran (al faqr) merupakan salah satu maqam penting dari sederet maqam lainya dalam kajian tasawuf. Mengingat begitu pentingnya tahapan kefaqiran itu, Ath-Thusi menyebut al Faqr menjadi maqam syarif.[14]
Faqir berarti kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqir penting untuk dimiliki seseorang yang sedang bertujuan dekat dengan Allah. Hal ini dikarenakan jika seseorang terlalu banyak bergelimangan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan atau minimal membuat jiwa tertambat pada selain Allah.
Fakir bermakna tidak menuntut lebih banyak dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental fakir merupakan suatu benteng pertahanan yang kuat dalam mengahadapi pengaruh kehidupan materi. Karena pada dasarnya sikap fakir menghindarkan seseorang dari sifat keserakahan, sifat smbong, dan kufur akan nikmat Allah. Dengan demikian, pada dasarnya sikap mental fakir merupakan rentetan sikap zuhud.
Selain itu sikap fakir dapat memunculkan sikap wara’, yaitu sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Misalnya, apabila bertemu dengan satu persoalan  baik yang bersifat materi maupun non-materi yang tidak pasti hukumnya, lebih baik dihindari saja. Dengan jalan kefaqiran, maka seseorang dapat menempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesabaran dan upaya sungguh-sungguh.


BAB III

PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Fakir secara etimologi artinya membutuhkan atau memerlukan atau orang miskin. Kata fakir mengandung pengertian miskin terhadap spiritual atau hasrat yang sangat besar terhadap pengosongan jiwa untuk menuju kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam pandangan kaum sufi fakir adalah tidak meminta lebih daripada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeki, kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
B.    SARAN
Dalam era yang modern seperti zaman sekarang ini pastilah sulit untuk mengaplikasikan kehidupan tasawuf khususnya maqam fakir ini. Namun, tidak ada salahnya jika kita juga mencoba mempraktikannya dalam kehidupan ini. Karena jika semua diawali dengan niat yang benar dan sungguh-sungguh pasti semua terasa mudah. Karena dunia ini hanyalah sebagai tempat sendau gurau dan main-main, jadi jika penuh dengan kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan. Utuk itu tidak ada salahnya kita sama-sama belajar mengaplikasikan  kehidupan fakir yang ada dalam maqam tasawuf ini dengan tujuan untuk menuju jalan berada dekat dengan Allah SWT.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami mohon maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan maupun isi materi. Untuk itu kritik dan saran bagi kami akan membantu kemajuan dalam makalah ini. Terimakasih


DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ni’am Syamsu, The Wisdom of K.H.Achmad Siddiq : Membumika   Tasawuf.       Erlangga: 2009
Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, PT. RajaGrafindo     Persada : Jakarta, 2002
Drs. Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Amzah : Jakarta, 2012
http://sahwiyadi.blogspot.com/2012/11/fakir-jalan-seseorang-menuju.html



[1] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,  Ilmu Tasawuf, Jakarta : Amzah, 2012, hlm. 172
[2] Ibid, hlm. 173
[3] http://sahwiyadi.blogspot.com/2012/11/fakir-jalan-seseorang-menuju.html
[4] Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li, hlm. 112
[5] Al-Qusyairi, Ar Risalat al Qusyairiyah, hlm. 273
[6] Ath Thusi, Al Luma’ , hlm. 74
[7] Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 37
[8] Nicholson, The Mystics of Islam, hlm. 37
[9] Nahid, Pemikiran K.H.Achmad Siddiq, hlm. 19
[10] Ibid, hlm.20
[11] Simuh, Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, RajaGrafindo Persada : Jakarta,2002, hlm. 60
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ath Thusi, AL-Luma’ , hlm. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar